icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Beautiful Nerd

Beautiful Nerd

Arthea Edelweis

5.0
Komentar
40.9K
Penayangan
122
Bab

Alena Farron menjalani dua kehidupan sebagai model cantik bernama Leanne Darrel. Tidak ada yang tahu mengenai rahasianya selain keluarga dan orang terdekat. Dalam kehidupan normalnya, ia menjadi gadis biasa yang dikenal kutu buku dan di sisi lain, ia berubah menjadi Leanne Darrel yang cantik dan digilai banyak orang. Kehidupan Alena yang biasanya tertata rapi, kini jadi berantakan sejak Ray Dixon, teman sekelas sekaligus pria tampan dan murid terpintar yang tiba-tiba berubah menjadi partnernya dalam dunia model. Alena melakukan segala cara agar identitasnya sebagai Leanne Darrel tidak terbongkar di saat Ray Dixon mulai masuk ke dalam kehidupannya.

Bab 1 Model Cantik, Leanne Darrel.

Alena melebarkan senyuman saat sang photographer menyuruhnya tersenyum lebih lepas. Mengangkat tangannya ke rambut dan menyibaknya, kepalanya mengarah ke samping kanan agak diangkat.

“Okay! Satu kali lagi,” pinta sang photographer. “Ya. Bagus.”

Kaki Alena disilangkan, bersandar pada meja kayu di belakangnya. Tangannya menyentuh bibir sambil menatap kamera dengan wajah tenangnya.

“Selesai. Kerja bagus Leanne.” Laki-laki berbeda umur 10 tahun dari Alena tersenyum tipis. Meninggalkan kameranya sejenak sebelum melihat hasil fotonya.

“Terima kasih untuk hari ini,”

Sesi pemotretan terakhir yang dijalani oleh Alena telah selesai. Gadis itu berjalan menuju kursi lipat yang tak jauh dari tempatnya berdiri tadi. Seorang gadis berkacamata mendatanginya sambil membawakan air mineral padanya.

“Apa masih ada jadwal pemotretan lagi?” tanya Alena pada Tamara, sang manager.

Tamara membuka buku kegiatan yang selalu ia bawa. “Sepertinya tidak ada. Tersisa wawancara dengan salah satu majalah remaja. Dan setelah itu, kau bisa istirahat selama dua minggu,” jelasnya kemudian. Ia duduk di samping Alena.

“Majalah apa?” Alena meneguk air mineral di tangannya sambil memandang ke arah Tamara.

“Majalah Oricon. Hanya sekedar wawancara biasa untuk bahan majalah mereka.”

Alena menghela napas panjang. “Aku sangat lelah. Bisakah kita pulang sekarang?” Pinta Alena.

“Okay, aku akan berbicara dengan Curtis sebentar. Dia akan mengirimkan hasil foto lewat E-mail. Jika kau penasaran, kau bisa mengeceknya nanti.” Setelah mengatakan hal itu, Tamara pergi untuk menghampiri laki-laki berperawakan tinggi yang tengah berbicara dengan sang photographer.

Alena meneguk kembali air mineralnya, lalu merapikan rambutnya. Seorang lelaki menghampiri Alena, menyapanya. “Hay, Leann. Hari ini kau bekerja dengan bagus.”

“Terima kasih, Daniel.” Alena tersenyum tipis. “Mau duduk?”

Laki-laki yang dipanggil Daniel tertawa kecil. “Tidak. Tidak. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan.” Ia mengangkat dua kamera yang ada di tangannya, memperlihatkannya kepada Alena. “Semua ini harus segera dibereskan sebelum Derek memarahiku.”

“Derek tidak akan melakukan hal itu selama kau masih menjadi teman dekatnya, Daniel,” kata Alena. Ia melihat Tamara berjalan ke arahnya. “Sudah waktunya pulang.”

Daniel menatap ke arah Tamara. “Sampai ketemu nanti, Leann.”

“Sampai jumpa, Daniel.”

Di perjalanan di dalam mobil. Alena melepas wig rambutnya dan menaruhnya di kursi sampingnya. Mengeluarkan ponselnya dan mengecek pesan yang masuk.

“Hari ini aku melihatmu mengobrol dengan Daniel lagi,” kata Tamara. Gadis itu duduk tepat di depan Alena. “Dan sepertinya, dia punya perasaan khusus kepadamu.”

“Apa?” Alena melongo. “Itu tidak mungkin. Kami hanya suka mengobrol. Itu saja.”

“Hey, kau cantik, bukan tidak mungkin jika Daniel menyukaimu.”

“Sebagai Leanne, ya. Tapi, sebagai Alena? Kurasa tidak.” Alena mendengus, lalu tersenyum seperti orang mengejek, lebih kepada untuk dirinya sendiri. “Menjadi Leanne atau menjadi Alena. Kurasa semua orang lebih menyukai Leanne ketimbang Alena,” komentarnya, kemudian.

“Itu karena Leanne gadis yang terbuka, sedangkan Alena cenderung pendiam. Bagaimana kau bisa menjalani dua kehidupan seperti itu? Apa sulit melakukannya?”

Mata biru terang itu hanya menatap Tamara tanpa membuka suara. Kembali pada ponsel yang sejak tadi dipegangnya. Hidup menjadi dua gadis yang berbeda memang menyulitkan. Gadis ceria, ramah, dan disukai banyak orang, Leanne. Dan gadis penyendiri, kutu buku, serta tak banyak diperhatikan orang, Alena. Bagi orang yang memiliki pilihan, pasti akan ada banyak yang memilih untuk menjadi Leanne.

Tapi, bagi Alena, menjadi Leanne hanyalah perannya sebagai model majalah remaja yang sudah ia geluti semenjak usianya 16 tahun. Tak banyak orang yang tahu jika Alena —gadis pendiam dan kutu buku— adalah sosok Leanne yang digemari oleh kalangan remaja laki-laki maupun perempuan.

Rahasia ini hanya diketahui oleh keluarga, serta Tamara yang selalu menjaganya setiap waktu. Dan untuk alasan yang sama, Alena tidak akan pernah mengatakan pada siapapun tentang kebenaran yang tersembunyi itu.

***

Mata Alena mengerjap beberapa kali saat sinar matahari masuk melalui celah jendela kamarnya. Ia melihat ke arah jendela yang tak jauh dari tempat tidurnya. Wajahnya langsung ia tenggelamkan di bantalan yang empuk lalu kembali menatap jendela kamar. Ia menghela napas berat dengan mata sayunya.

Kegiatan yang tak akan pernah bisa Alena tinggalkan selama ia masih menjadi murid di salah satu sekolah di Houston, Amerika serikat. Menjadi murid dan gadis biasa tanpa sesuatu yang istimewa.

“Pagi, Moms.”

“Semangatlah! Hari ini tahun pelajaran baru. Adik-adikmu akan masuk sebagai murid baru di sekolahmu,” sang Ibu berujar lembut. Memperhatikan anak gadisnya yang semata wayang berwajah ngantuk.

“Itu bukan berita gembira,” Keane berujar ketus. “Satu sekolah dengan kakak culun bukanlah sesuatu yang menggembirakan. Haah, aku yakin, aku akan menjadi bahan olok-olok jika teman-temanku tahu, bahwa aku punya kakak kutu buku seperti dirimu.” Mata birunya menyipit tajam pada Alena yang duduk di depannya.

Alena mendengus kesal. “Kalau begitu carilah kakak impianmu itu di luar sana!” ujarnya tak kalah ketus.

Kacamata bulat, rambut yang diikat dikedua sisi, dan membawa buku ke mana-mana bukanlah trend masa kini. Terlebih kota besar seperti Houston. Semua orang akan berpikir bahwa hidup Alena sia-sia karena menjalani hidupnya seperti itu.

“Itu hanya kamuflase, Keane,” Keene berujar lembut. Tersenyum tipis pada Alena. Mereka saudara kembar, tapi Keene satu-satunya adik yang perhatian padanya, ketimbang Keane. “Alena cantik dalam segala hal,” lanjutnya memuji sang kakak. Alena membalas dengan senyum tipis.

“Jangan melindunginya, Keen.” Keane menatap tajam adiknya.

“Aku tidak, hanya berbicara fakta.”

“Terserah kalian saja. Yang jelas, jangan dekat-dekat denganku saat berada di sekolahan.”

***

Suasana di kelas ramai seperti biasanya, sibuk dengan majalah Oricon yang hari ini sudah terbit. Mereka berkumpul untuk melihat Leanne di sana. Wawancara eksklusif tentang kehidupan pribadi Leanne yang sangat dinantikan oleh para penggemarnya, terlebih para laki-laki.

“Cantik seperti biasanya,” gumam satu laki-laki berambut ikal.

“Kurasa kecantikannya tidak akan pernah pudar. Leann anugrah dari langit yang dikirimkan untukku. Malaikatku yang manis,” ucap laki-laki bek pirang.

Alena tertegun. Ia tak pernah merasa tak percaya setiap kali teman kelasnya memuji dirinya sebagai Leanne. Di mata mereka, Leanne adalah sosok gadis impian, malaikat, cantik, manis, dan sempurna. Banyak laki-laki yang mencintainya, dan banyak wanita yang mengidolakannya.

“Kalian bermimpi terlalu tinggi,” cetus Mika —teman sekelas Alena. “Leanne itu tidak selevel dengan kalian. Benar kan, Alena?” Kepalanya menoleh pada Alena yang tertunduk membaca buku di tangannya.

“Oh? Ya, tentu,” jawab Alena gagap. Tangannya menyentuh kacamata untuk membenarkan posisinya.

“Bagaimana menurutmu tentang Leanne? Di majalah dikatakan bahwa Leanne belum punya kekasih,” kata Mika, “mustahil kalau gadis cantik sepertinya belum punya kekasih.”

“Uhm, kupikir dia hanya belum menemukannya saja, atau belum ingin mencari?” Secara fakta, memang Alena mengatakan yang sebenarnya.

“Benarkah? Mungkin saja—”

“Itu karena Leann masih menungguku untuk jadi pacarnya. Itu fakta,” potong laki-laki berambut ikal tadi.

“Dasar, penghayal tinggi,” celetuk Mika. Ia merampas majalah miliknya dari tangan laki-laki berambut ikal. Mengangkatnya ke udara dan mengarahkannya pada satu laki-laki yang tengah tertidur di mejanya. “Hey, Ray! Menurutmu Leanne itu bagaimana?”

Laki-laki yang dipanggil Ray tadi lantas menoleh. Mengangkat kepalanya sedikit. Kedua tangannya berada di atas meja sebagai penyangga kepala. Mata coklatnya yang tenang namun tegas memperhatikan gambar Leanne yang duduk sambil tersenyum. “Biasa saja,” komentar Ray, kemudian. Tegas, jelas, dan tanpa basa-basi sama sekali. Ia kembali tiduran di atas lengannya.

“A-apa? Dia tadi bilang apa?” tanya laki-laki berambut ikal pada Mika. “Dia pasti sudah gila,” celetuknya kemudian.

“Percaya diri dan gila itu hampir tak bisa dibedakan,” sambung laki-laki di sampingnya.

Alena terdiam. Menatap Ray yang tiduran membelakanginya. Meja mereka berdampingan. Tapi tak pernah sekalipun, Alena berbicara dengan Ray. Bahkan untuk menyapa laki-laki pendiam dan dingin itu mustahil ia lakukan.

Ray terkenal sebagai laki-laki yang tak banyak bicara. Lebih suka menyendiri dan menghilang setiap kali ada kerumunan. Tak banyak teman yang ia miliki selain laki-laki bertubuh tinggi di kelas sebelah. Ia satu-satunya laki-laki yang terlihat tak tertarik dengan sosok Leanne. Model yang digemari oleh banyak pria. Dan itu membuat Alena merasa bertanya-tanya.

“Hey, Ray. Bukalah matamu dan lihat lebih jelas. Leanne itu gadis yang sempurna. Bodoh, kalau kau bilang Leanne itu biasa saja!” seru Mika, kesal.

Kepala Ray terangkat. Melotot pada Mika dan yang lainnya, termasuk Alena. “Tidak semua laki-laki harus menyukainya, bukan?” Sudut bibirnya membentuk senyuman mengejek. “Dia cantik karena wajahnya dipoles. Topeng saja.”

Alena berjengit mendengar pernyataan Ray. Tak pernah ia melihat wajah Ray yang marah seperti sekarang.

“Bocah sialan ini. Kalau kau tidak menyukainya, ya sudah! Jangan mengatainya seperti itu!” bentak laki-laki berambut ikal.

“Terserah,” ujarnya ketus. Ia berdiri dan mendorong kursinya dengan kaki hingga mengeluarkan bunyi ‘duk’ yang cukup keras.

“Apa-apaan dia itu. Menyebalkan sekali.”

Sementara Ray pergi, Alena hanya menatap kepergian laki-laki itu dalam diam.

Pelajaran terakhir selesai beberapa menit yang lalu. Beberapa dari murid telah meninggalkan kelas. Hanya tersisa beberapa orang yang sibuk berdandan atau mengobrolkan sesuatu.

“Hey, Alena. Teman-teman akan pergi untuk makan bersama. Kau mau ikut?” tanya Mika. Ia mengambil tas dari lacinya.

“Mungkin lain kali saja. Aku harus mengembalikan buku-buku ini ke perpustakaan,” kata Alena, memperlihatkan setumpuk buku di atas mejanya.

“Oh begitu, ya sudah, kami duluan ya.” Mika berlalu meninggalkan kelas bersama teman-temannya.

Hanya tinggal dirinya yang berada di kelas. Alena segera membawa buku-buku pelajaran yang ia pinjam beberapa waktu lalu untuk dikembalikan ke perpustakaan. Saat melewati lorong yang panjang, ia melihat adiknya Keane tengah menuruni tangga di lantai tiga.

“Keane? Apa yang kau lakukan di sini? Kenapa belum pulang?” tanya Alena. Keane hanya diam, menuruni dua anak tangga terakhir, dan berjalan mendekati Alena. “Keane?”

“Hanya mengantarkan Keene bertemu dengan seorang gadis. Kau sendiri sedang apa?” Seperti biasanya, Keane selalu berkata kasar pada Alena tanpa menggunakan kata-kata yang lembut.

“Mengembalikan buku-buku ini ke perpus—“

“Kemarikan. Biar aku yang bawa.” Keane mengambil semua buku yang dibawa Alena ke tangannya. Alena tersenyum tipis. “Berhentilah tersenyum, dan cepat pergi ke perpustakaan. Akan kubawakan buku-buku sialan ini ke sana.”

“Baiklah. Ngomong-ngomong, apa kau tidak mau ikutan kencan dengan Keene?” tanya Alena penasaran. Kedua saudara kembar itu memiliki wajah yang tampan, bukan hal mustahil jika tidak ada gadis yang menyukai mereka.

“Tidak perlu tahu urusanku, urus saja urusanmu sendiri,” jawab Keane, ketus.

Sambil tersenyum kecil, Alena menyenggol lengan Keane dengan lengannya. Laki-laki itu menggerutu tak suka. Dan itu malah membuat Alena ingin melakukannya lagi dan lagi, hingga membuat Keane berteriak kesal.

“Hentikan! Kau membuatku risih!” seru Keane. Alena tertawa kecil di sepanjang koridor kelas, menuju perpustakaan.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku