Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
169
Penayangan
18
Bab

Menikah dengan orang Kota bukanlah keinginan Hanna. Semua berjalan begitu saja dan sangat cepat. Hanna terjebak dengan Sultan yang sedang berlibur ke desanya, bermalam di sebuah kemah. Atas desakan sang paman Hanna terpaksa menikah dengan Sultan, dan rela dibawa olehnya ke mana pun dia pergi. Masa depan Hanna hancur saat Sultan mengurungnya di rumah, bahkan tidak memperlakukannya sebagai istri. Sosok Sultan yang baik hati dan lemah lembut hilang. Hanna sangat tertekan harus mengikuti aturan Sultan, termasuk keinginannya yang menganggap Hanna cinta pertamanya yang tidak tergantikan. Arimbi. Istrinya yang mengalami sakit jiwa.

Bab 1 Mansion Sultan

Dengan langkah berat Hanna masuk ke dalam rumah megah yang suram. Bangunannya kokoh dan kuat, cantik, dan terawat. Akan tetapi Hanna bisa merasakan kengerian yang tersembunyi di balik mewahnya istana Sultan Bhayangkari. Seorang lelaki dewasa yang telah menjadi suaminya akibat terjebak hujan di pondok. Hanna menyusuri ruangan dengan kedua mata cokelatnya, dari sudut ke sudut. Hingga pandangannya terhenti pada sebuah foto sepasang pengantin yang tersenyum bahagia. Deg! Aliran darah Hanna berdesir saat mengetahui jika Sultan telah memiliki istri, bukan seorang lajang seperti dugaannya.

"Ayo! Akan aku tunjukkan kamarmu." Sultan berjalan di depannya dengan gagah, melewati beberapa ruangan.

Tidak ada yang bisa Hanna lakukan selain mengikutinya, meskipun rasanya dia ingin sekali melarikan diri. Namun, Hanna tidak memiliki kemampuan. Di saat Sultan berhenti tiba-tiba wanita berkerudung putih itu menabrak dadanya, Hanna langsung menunduk. Dengan perasaan takut Hanna berjengit ketika Sultan memegang kedua pundaknya yang bergetar.

"Kenapa kamu seperti orang ketakutan?" tanya Sultan, mata gelapnya menyala.

Hanna menggeleng lambat. Dia tidak kuasa menahan tangisnya di hadapan Sultan yang tampak mengerikan. Melihat Hanna menangis Sultan jadi naik darah, tanpa berkata apapun ditariknya wanita itu dengan kasar. Lalu, mengempaskannya di sebuah kamar yang bernuansa gelap. Tidak ada cahaya matahari yang masuk, karena semua jendela tertutup rapat.

"Mulai hari ini nama kamu Arimbi." Sultan berkata tegas. Sama sekali tidak ada rasa kasihan terhadap Hanna.

"Arimbi?" tanya Hanna bergetar.

"Ya, Arimbi, istriku satu-satunya. Bukankah sekarang kamu istriku?

"Tapi namaku Hanna, bukan Arimbi."

"Jangan membantah!" bentaknya.

Spontan Hanna terdiam. Sekarang Sultan Bhayangkari adalah suaminya yang wajib dia patuhi. Sekalipun itu permintaan yang di luar nalarnya, Hanna tetap tidak bisa menolak. Di sini Hanna hanya mengikuti apapun yang Sultan inginkan, termasuk mengganti namanya menjadi Arimbi.

"Kita baru saja sampai dari perjalanan yang cukup melelahkan. Tidurlah, aku akan kembali begitu kamu bangun."

Sepeninggal Sultan dengan cepat Hanna bangkit dan berjalan ke arah jendela. Hanna dapat melihat bangunan-bangunan tinggi yang tersusun. Biasanya setiap pagi Hanna sudah berada di sawah, menanam sayur mayur, umbi-umbian, dan padi. Akan tetapi kini Hanna berdiri di suatu kamar asing yang akan menjadi tempat tinggalnya sampai menua nanti.

"Paman ..." lirihnya sedih. Hanna menyeka sudut matanya, saat teringat sang paman yang tinggal di desa.

Tap! Tap! Ketukan sepatu terdengar nyaring. Untuk mendengarkan lebih Hanna pun menempel pada jendela, dan melihat seorang perempuan berambut panjang dengan gaun bewarna merah. Wanita itu berjalan sambil menunduk sehingga Hanna tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ketika Hanna mulai menebak-nebak siapa wanita itu seseorang muncul mengejarnya dengan napas tersenggal. Mungkin pelayan.

"Nyonya Arimbi, tunggu!"

Arimbi? Batin Hanna berteriak. Sultan mengganti namanya dengan nama itu. Sudah Hanna pastikan wanita bergaun merah itu pemilik nama Arimbi. Lalu, kenapa Sultan memberi namanya pada Hanna? Masih bertanya-tanya Hanna berusaha membuka jendela kamarnya yang sepertinya telah terkunci mati.

***

Setelah membersihkan dirinya Sultan membuka kamar ibunda tercinta. Sudah seminggu lebih Sultan tidak mengunjunginya, tentu saja dia rindu. Keadaan Ningsih masih sama seperti kemarin, saat Sultan berpamitan dengannya. Lemah dan tidak berdaya. Peluang untuk sembuh memang tidak ada lagi, tapi Sultan ingin sang bunda hidup lebih lama. Sambil membelai rambut putihnya Sultan bercerita, meski ibunda masih tertidur nyenyak.

"Sultan, apa itu kamu?" tanyanya saat tersentak. Matanya mengerjap cepat.

"Iya, Bunda, ini Sultan."

"Oh, Sayang. Bunda sangat merindukan dirimu. Apa kamu juga membawa Arimbi pulang?" Ningsih bertanya lagi.

Sultan tersenyum miris. Sejak Arimbi kehilangan akalnya, Sultan memang tidak mempertemukan mereka lagi. Ningsih yang sakit-sakitan, lumpuh dan tidak dapat melihat membuat Sultan enggan menghadapi masalah baru. Cukup sudah melihat Arimbi yang gila, dan Sultan tidak ingin kehilangan bundanya. Memberitahu keadaan Arimbi yang sebenarnya tentu akan membuat Ningsih serangan jantung.

"Iya, Bunda, Sultan juga membawa Arimbi pulang," jawabnya mantap.

Sultan membayangkan wajah Hanna. Menikahi wanita itu bukan tanpa tujuan yang jelas. Dialah yang akan menjadi Arimbi. Istri satu-satunya dan menantu kesayangan bundanya.

"Syukurlah! Akhirnya Arimbi kembali. Bunda juga sangat merindukannya. Di mana Arimbi? Kenapa dia tidak datang menjenguk, Bunda?" Ningsih tampak heran. Wajahnya juga berubah sedih.

Sultan pun memakluminya. Istrinya itu memang sangat dekat dengan sang bunda. Bahkan, mereka tidak seperti mertua dan menantu, tetapi bagaikan ibu dan anak kandung. Maka dari itu hingga sekarang Arimbi mempunyai tempat di hati Sultan. Istrinya Arimbi paling bisa membuat bunda bahagia.

"Dia sedang tidur, Bun. Kita baru saja sampai, jadi Arimbi sangat lelah."

"Katakan pada Arimbi setelah bangun nanti Bunda ingin bertemu. Bunda tidak mau makan jika bukan Arimbi yang menyuapi Bunda," katanya tegas.

Untuk jawaban dari permintaan yang terakhir Sultan menahannya, karena mereka belum berbicara. Sultan tidak akan mengiyakan permintaan bunda sekarang. Sultan perlu membuat kesepakatan terlebih dulu pada Arimbi yang baru, walau kemungkinan ada penolakan dia akan tetap memaksa. Tentu saja butuh waktu yang tidak sebentar, dan Sultan berharap Hanna bukan termasuk wanita pembangkang.

"Sultan tinggal dulu ya, Bun." Sultan pun mengecup kening ibundanya. Dia ingin menemui Arimbi yang pertama.

Senyum Sultan mengembang begitu melihat Arimbi di taman belakang. Wanita cantik itu sedang menikmati senja dan langit yang mendung. Mata indahnya menengadah ke atas, dengan senyuman yang selalu tampak mempesona bagi Sultan. Melihat kedatangannya Ratih bangkit, dan sedikit membungkuk. Selama ini Sultan mempercayakan Ratih yang merawat dan mengurus Arimbi.

"Sore, Tuan." Dia menyapa ramah.

Sultan mengangguk, lalu bertanya. "Bagaimana keadaan Arimbi?"

"Seperti yang Tuan lihat, nyonya Arimbi tampak baik-baik saja, bahkan sekarang dia bertambah aktif."

Seakan mengerti Ratih menyingkir, mempersilakan Sultan duduk di sebelah Arimbi. Cukup lama Sultan tidak mendapat respons apapun. Arimbi hanya fokus memandang ke atas, tidak memedulikannya sama sekali. Dengan lembut Sultan menggenggam tangannya, mengambil perhatian Arimbi seutuhnya. Seperti biasa wanita itu tidak pernah menolak saat Sultan menyentuhnya, bahkan dia malah menatapnya dalam.

"Kamu sudah makan?" tanya Sultan sambil mengusap rambut Arimbi.

Tidak ada jawaban. Semenjak sakit jiwa Arimbi memang jadi banyak diam. Bahkan, Sultan pikir Arimbi tidak mengerti dengan pertanyaannya, tapi sebagai suami dia selalu berusaha mengajak berbicara. Sebenarnya Sultan bisa saja membawa Arimbi ke RSJ untuk perawatan ekstra, yang menjadi masalah dia tidak bisa jauh dari cintanya itu, apalagi harus bolak balik menjenguk. Itu sangat merepotkan.

"Sayang, kamu terlihat sangat cantik hari ini." Masih dengan kata-kata yang sama Sultan menangguhkannya, kemudian mengecup pipi Arimbi mesra.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh indkhrsya

Selebihnya

Buku serupa

Pemuas Nafsu Keponakan

Pemuas Nafsu Keponakan

Romantis

5.0

Warning!!!!! 21++ Dark Adult Novel Aku, Rina, seorang wanita 30 Tahun yang berjuang menghadapi kesepian dalam pernikahan jarak jauh. Suamiku bekerja di kapal pesiar, meninggalkanku untuk sementara tinggal bersama kakakku dan keponakanku, Aldi, yang telah tumbuh menjadi remaja 17 tahun. Kehadiranku di rumah kakakku awalnya membawa harapan untuk menemukan ketenangan, namun perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang menghantui setiap langkahku. Aldi, keponakanku yang dulu polos, kini memiliki perasaan yang lebih dari sekadar hubungan keluarga. Perasaan itu berkembang menjadi pelampiasan hasrat yang memaksaku dalam situasi yang tak pernah kubayangkan. Di antara rasa bersalah dan penyesalan, aku terjebak dalam perang batin yang terus mencengkeramku. Bayang-bayang kenikmatan dan dosa menghantui setiap malam, membuatku bertanya-tanya bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan beban ini. Kakakku, yang tidak menyadari apa yang terjadi di balik pintu tertutup, tetap percaya bahwa segala sesuatu berjalan baik di rumahnya. Kepercayaannya yang besar terhadap Aldi dan cintanya padaku membuatnya buta terhadap konflik dan ketegangan yang sebenarnya terjadi. Setiap kali dia pergi, meninggalkan aku dan Aldi sendirian, ketakutan dan kebingungan semakin menguasai diriku. Di tengah ketegangan ini, aku mencoba berbicara dengan Aldi, berharap bisa menghentikan siklus yang mengerikan ini. Namun, perasaan bingung dan nafsu yang tak terkendali membuat Aldi semakin sulit dikendalikan. Setiap malam adalah perjuangan untuk tetap kuat dan mempertahankan batasan yang semakin tipis. Kisah ini adalah tentang perjuanganku mencari ketenangan di tengah badai emosi dan cinta terlarang. Dalam setiap langkahku, aku berusaha menemukan jalan keluar dari jerat yang mencengkeram hatiku. Akankah aku berhasil menghentikan pelampiasan keponakanku dan kembali menemukan kedamaian dalam hidupku? Atau akankah aku terus terjebak dalam bayang-bayang kesepian dan penyesalan yang tak kunjung usai?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku