icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dibeli oleh Pangeran Milyarder

Dibeli oleh Pangeran Milyarder

Theresa Oliver

5.0
Komentar
332.6K
Penayangan
147
Bab

Gadis itu adalah seorang mahasiswi yang ingin menyelamatkan saudara perempuannya. Pria itu berusaha untuk menyelamatkan keluarganya. Bersama-sama, mereka berdua menemukan arti sesungguhnya dari cinta dan pengorbanan…. Mahasiswa Ari Douglas baru saja mengetahui kalau saudara perempuannya, Henley, mengidap leukemia. Tanpa asuransi, mereka tidak punya banyak pilihan dan harapan. Kemudian seorang teman memberitahu Ari tentang AmericanMate, sebuah layanan perjodohan yang elit nan modern. Atas bujukan sahabatnya, Grayson juga memutuskan untuk mencoba AmericanMate. Tetapi dia punya satu syarat: Dia akan serius menjalaninya untuk seumur hidup. Tidak pernah ada sejarah perceraian dalam silsilah keluarga monarki... baik satupun. Dapatkah dua hati yang saling mengorbankan demi kepentingan keluarga mereka jatuh cinta satu sama lain? Dibeli oleh Pangeran Milyuner diciptakan oleh Theresa Oliver, seorang penulis eGlobal Creative Publishing.

Bab 1 No.1

"Hai, bu! Ada apa?" Setelah melihat siapa yang menelepon, Ari Douglas–mahasiswi tahun kedua–langsung mengangkatnya pada dering pertama. "Mau aku bawakan sesuatu untuk makan malam nanti?" Biasanya Ari tinggal di asrama di Universitas New York dan akan pulang kerumah untuk mengunjungi ibu dan adiknya pada akhir pekan. Tapi dia tidak pulang minggu lalu, jadi dia akan pulang malam ini untuk menebusnya.

"Tidak perlu khawatir tentang itu sekarang." Suara ibunya terdengar lembut, sama seperti ketika dia masih kecil dan ibunya tidak ingin membuat dia khawatir.

"Ada apa, bu?" Ari berhenti di trotoar kampus dan memiringkan kepalanya ke arah ponsel untuk mendengarkan dengan lebih jelas.

Ibunya menghela napas. "Ari, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi Henley pingsan di lintasan lari hari ini."

"Apa?" Suara Ari meninggi beberapa oktaf.

Lintasan lari merupakan olahraga kesukaan adiknya, saat dia tidak ada kelas untuk dihadiri, dia akan menghabiskan setiap waktu berlatih untuk lomba.

Ari memindahkan telepon ke telinganya yang lain dan menggelengkan kepala. "Aku sudah duga suatu hari dia pasti akan pingsan karena terlalu memaksakan diri! Apakah dia baik-baik saja?"

"Dia baik-baik saja." Ari dapat mendengar senyum dalam nada suara ibunya yang berusaha untuk tetap tegar. "Mereka memintanya untuk menginap dan menjalankan beberapa tes, tapi tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Aku akan segera kesana." Ari kembali berjalan ke arah kamar asramanya. "Di kamar mana dia dirawat?"

Ari mendengarkan, dia berusaha mengingat informasi yang diberikan sambil mempercepat langkahnya dan menahan diri untuk tidak berlari. Ketika masuk ke kamar, dia segera mengucapkan selamat tinggal pada ibunya dan mematikan telepon. Dia kemudian mengambil tas duffel miliknya dan mulai memasukkan beberapa barang ke dalam tas, untuk berjaga-jaga, dia mengemasi barang-barang yang cukup untuk beberapa hari.

"Ada kebakaran?" Tanya Vickie. Vickie Thompson dan Ari berteman baik sejak menjadi teman sekamar di tahun pertama mereka. Sekarang mereka sudah di tahun kedua dan sangat menantikan sisa tahun mereka di kampus. Ari berpikir untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang Magister setelah menyelesaikan kuliahnya di jurusan Menulis Kreatif terlebih dahulu.

"Henley pingsan di lintasan lari hari ini." Ari dengan cepat mengambil beberapa barang dari lemari dan laci kemudian melemparkannya ke ranjang.

Mata cokelat Vickie terbelalak, sangat kontras dengan rambut dan kulitnya yang berwarna cokelat muda. "Apakah dia baik-baik saja?"

Ari mengedikkan bahunya tanpa memperlambat langkahnya. "Dia di rumah sakit." Dia kemudian menutup dan menyampirkan tasnya ke bahu. "Tolong beri tahu pada dosen aku tidak akan hadir pada kelas besok. Aku akan mengirimkan pesan padanya ketika sempat." Ari mengikat rambut cokelat panjangnya menjadi kuncir kuda, hal yang biasa dia lakukan ketika sedang terburu-buru.

Vickie memeluknya. "Hati-hati saat menyetir." Dia kemudian melepaskan pelukannya dan menatap Ari, "dan jangan mengebut."

Ari menyeringai. "Baik, bu." Beberapa menit kemudian, Ari sudah berada di dalam perjalanan menuju Queens dengan mobil VW kodok miliknya, berharap tidak ada hal serius yang terjadi.

***

Di rumah sakit, Ari melihat ibunya di dalam ruangan dan segera menghampiri untuk memeluknya. "Bagaimana keadaannya?"

Celeste melepaskan pelukannya dan menuntun Ari ke kursi terdekat di ruang tunggu. "Seperti yang ibu bilang, ini harusnya bukan apa-apa, tapi dokter ingin melakukan beberapa tes."

Ari tidak ingin membuat ibunya lebih khawatir lagi, tapi dia merasa dokter tidak mungkin menyuruh orang tinggal untuk melakukan tes tanpa alasan. "Di mana dia sekarang?"

Ibunya mengedikkan kepalanya ke arah pintu. "Mereka sedang melakukan tes, setelah selesai mereka akan menempatkannya di ruangan."

Ari mengangguk, kemudian menghembuskan napas dalam-dalam.

Ibunya meremas tangan Ari dengan lembut. "Jangan khawatir, kecuali memang ada hal yang perlu kita khawatirkan."

Ari tersenyum lemah, "Aku hanya berharap ada sesuatu yang bisa aku lakukan untuk membantu."

Mereka merasa telah menunggu berhari-hari ketika malam itu dokter membuka pintu. "Nyonya Douglas?"

"Di sini!" Ucap Celeste sambil mengangkat tangannya.

Dokter itu menyeberangi ruangan dengan alis yang menyatu khawatir dan bibir terkatup membentuk garis lurus. "Mari bicara sebentar."

Ibunya mengangguk, namun Ari merasa khawatir. Dokter tidak mungkin mengajak bicara secara pribadi tanpa alasan.

Dokter menunggu mereka masuk ke ruangan dan menutup pintu.

"Bagaimana keadaan Henley?" Tanya Celeste cemas, sebuah kerutan terbentuk diantara alisnya.

Dokter menghela napas. "Hasilnya belum pasti, kita akan tahu secara pasti setelah menjalankan beberapa tes lagi."

"Kira-kira apa hasilnya?" Tanya Ari tanpa dapat menahan ketegangannya. Dia benci saat dokter bicara berbelit-belit, akan lebih baik apabila mereka bicara langsung ke intinya.

"Leukemia," dokter berkata datar.

Celeste membelalak. "Apa Anda yakin?"

"Kami tidak akan tahu pasti sampai tes lain dijalankan," ulang dokter sambil menatap mereka dengan mata sedih. "Tapi, ya, saya khawatir begitu."

Air mata ibunya mengalir, dia tidak bisa berbicara sepatah kata pun.

Ari meremas tangan ibunya untuk memberikan dukungan. "Apa yang dapat kami lakukan?"

Dokter kemudian menghabiskan satu jam berikutnya untuk memberitahu mereka mengenai pengobatan kemoterapi dan Transplantasi Sel Punca setelah masa remisi. Banyaknya informasi membuat Ari pusing.

Setelah dokter meninggalkan ruangan, ibunya menatap Ari dan berkata dengan suara pelan, "Ari, ibu tidak punya asuransi." Setelah ayah Ari meninggalkan mereka enam tahun yang lalu, ibunya bekerja sebagai pelayan di sebuah restoran lokal. Meskipun tipnya lumayan, namun tidak ada keuntungan lainnya. Tentu saja, tidak ada asuransi.

"Jangan khawatir, bu." Dia memeluk ibunya. "Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan pikirkan suatu cara." Saat ia merasakan air mata ibunya di pundaknya, Ari diam-diam bertekad untuk melakukan apapun juga demi membantu adiknya.

***

"Bu, aku ingin ke kantin di bawah untuk minum kopi." Ari berdiri dan merenggangkan tubuhnya di tengah malam, kesulitan untuk tidur. "Ibu mau?"

Celeste menggeleng. "Tidak, Sayang, terima kasih."

Ari mengangkat alisnya. "Apakah ibu akan baik-baik saja sendirian?"

Ibunya mengangguk. "Ya, tentu saja. Ibu akan baik-baik saja." Dia kemudian memaksakan senyum. "Hei! Seharusnya ibu yang mengurus kamu, bukan sebaliknya."

Ari tersenyum. "Ibu, kita pasti bisa melalui ini bersama." Dia kemudian memeluk ibunya dengan singkat. "Lagipula, ibu tidak perlu melindungiku lagi. Aku bukan anak kecil lagi."

Celeste tertawa. "Sayang, kau memang sudah bukan anak kecil lagi dari dulu. Ibu rasa kau terlahir sebagai orang dewasa."

Ari tertawa kecil kemudian turun ke kantin, merenungkan ke mana dia harus mencari uang untuk pengobatan Henley. Kecuali mencuri di bank, tidak ada yang cara lain untuk mendapatkan uang banyak. Dikarenakan harus membayar biaya kuliah Henley dan dirinya, uang yang tersisa tidak banyak. Ari memutuskan untuk membatalkan sisa kelasnya dan berhenti kuliah sampai dia menemukan jalan keluar.

Ari kemudian dengan serius mempertimbangkan untuk merampok bank. Dia bisa berpura-pura membawa pistol dan masuk ke bank. Hanya di sanalah tersedia uang yang dia butuhkan...

Ide-ide bermunculan di kepala Ari dan sebuah rencana sudah mulai terbentuk saat dia memasuki kantin. Normalnya, dia tidak mungkin mempertimbangkan untuk merampok bank, namun situasi yang sulit membutuhkan tindakan yang drastis. Dia berjalan di area antrean kantin, namun dikarenakan di jam-jam sekarang semua harus dilakukan dengan sendiri, Ari membuatkan dirinya segelas kopi dan berjalan ke kasir.

Di depannya tersedia gelas dengan beberapa pensil di dalamnya. "Boleh aku pinjam satu?"

Kasir mengayunkan tangan ke arah pensil dan tersenyum. "Silakan."

Ari mengambil satu pensil dan selembar serbet lalu melihat sekeliling dan tidak menemukan orang satu pun disana. Ari menghela napas lega, dia sedang tidak ingin mengobrol saat ini. Setelah membayar, dia memilih meja di pojok ruangan. Dia membutuhkan waktu untuk berpikir dan membuat rencana.

Ari membuat daftar beberapa cara untuk dirinya bisa mendapatkan uang. Merampok bank. Cek. Mengambil pinjaman. Cek. Dia menatap serbet itu sebentar, membaliknya dan mulai menulis rencana untuk merampok bank, ketika sebuah suara menyadarkannya dari lamunan.

"Maaf mengganggu, apakah ada yang duduk disini?"

Ari mendongak dan menghela napas sambil menutupi tisu tadi dengan tangannya. Ternyata seorang perawat dari ruang gawat darurat. Ari menggeleng dan mengisyaratkan dengan tangannya. "Duduklah." Dia kemudian menghela napas. "Maaf, tapi kurasa aku tidak akan jadi teman mengobrol yang baik malam ini."

Perawat itu memakai tanda pengenal dengan tulisan MELISSA. Dia menyesap kopinya. "Aku harap kamu tidak keberatan, tapi aku mendengar apa yang dokter katakan tadi di ruang tunggu. Aku turut berduka."

Ari memiringkan kepalanya. "Terima kasih, tapi ini belum berakhir."

Melisa mengangkat alis dan menatapnya khawatir. "Yah, jangan lakukan sesuatu yang bodoh. Akan ada jalan keluarnya."

Ari kembali menyesap kopinya. "Begini. Aku menghargai perhatianmu, tapi tidak akan ada yang mau membantu mahasiswi miskin tanpa asuransi."

"Aku harap itu tidak benar." Melissa menatap matanya. "Ini bukan urusanku, tapi apakah kau ada ide bagaimana mendapatkan uang?"

Ari tersenyum sinis. "Selain merampok bank? Tidak ada."

"Jangan lakukan itu." Melissa tersenyum dan mencondongkan badannya sambil berkata penuh konspirasi. "Aku punya ide."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Theresa Oliver

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku