Dihapus oleh Kebohongan dan Cintanya

Dihapus oleh Kebohongan dan Cintanya

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
17
Bab

Selama sepuluh tahun, aku memberikan segalanya untuk suamiku, Baskara. Aku bekerja di tiga tempat sekaligus agar dia bisa menyelesaikan S2 bisnisnya dan menjual liontin warisan nenekku untuk mendanai perusahaan rintisannya. Sekarang, di ambang perusahaannya melantai di bursa saham, dia memaksaku menandatangani surat cerai untuk yang ketujuh belas kalinya, menyebutnya sebagai "langkah bisnis sementara." Lalu aku melihatnya di TV, lengannya melingkari wanita lain-investor utamanya, Aurora Wijaya. Dia menyebut wanita itu cinta dalam hidupnya, berterima kasih padanya karena "percaya padanya saat tidak ada orang lain yang melakukannya," menghapus seluruh keberadaanku hanya dengan satu kalimat. Kekejamannya tidak berhenti di situ. Dia menyangkal mengenalku setelah pengawalnya memukuliku hingga pingsan di sebuah mal. Dia mengurungku di gudang bawah tanah yang gelap, padahal dia tahu betul aku fobia ruang sempit yang parah, membiarkanku mengalami serangan panik sendirian. Tapi pukulan terakhir datang saat sebuah penculikan. Ketika penyerang menyuruhnya hanya bisa menyelamatkan salah satu dari kami-aku atau Aurora-Baskara tidak ragu-ragu. Dia memilih wanita itu. Dia meninggalkanku terikat di kursi untuk disiksa sementara dia menyelamatkan kesepakatan berharganya. Terbaring di ranjang rumah sakit untuk kedua kalinya, hancur dan ditinggalkan, aku akhirnya menelepon nomor yang tidak pernah kuhubungi selama lima tahun. "Tante Evelyn," ucapku tercekat, "boleh aku tinggal dengan Tante?" Jawaban dari pengacara paling ditakuti di Jakarta itu datang seketika. "Tentu saja, sayang. Jet pribadiku sudah siap. Dan Aria? Apa pun masalahnya, kita akan menyelesaikannya."

Bab 1

Selama sepuluh tahun, aku memberikan segalanya untuk suamiku, Baskara. Aku bekerja di tiga tempat sekaligus agar dia bisa menyelesaikan S2 bisnisnya dan menjual liontin warisan nenekku untuk mendanai perusahaan rintisannya. Sekarang, di ambang perusahaannya melantai di bursa saham, dia memaksaku menandatangani surat cerai untuk yang ketujuh belas kalinya, menyebutnya sebagai "langkah bisnis sementara."

Lalu aku melihatnya di TV, lengannya melingkari wanita lain-investor utamanya, Aurora Wijaya. Dia menyebut wanita itu cinta dalam hidupnya, berterima kasih padanya karena "percaya padanya saat tidak ada orang lain yang melakukannya," menghapus seluruh keberadaanku hanya dengan satu kalimat.

Kekejamannya tidak berhenti di situ. Dia menyangkal mengenalku setelah pengawalnya memukuliku hingga pingsan di sebuah mal. Dia mengurungku di gudang bawah tanah yang gelap, padahal dia tahu betul aku fobia ruang sempit yang parah, membiarkanku mengalami serangan panik sendirian.

Tapi pukulan terakhir datang saat sebuah penculikan. Ketika penyerang menyuruhnya hanya bisa menyelamatkan salah satu dari kami-aku atau Aurora-Baskara tidak ragu-ragu.

Dia memilih wanita itu. Dia meninggalkanku terikat di kursi untuk disiksa sementara dia menyelamatkan kesepakatan berharganya. Terbaring di ranjang rumah sakit untuk kedua kalinya, hancur dan ditinggalkan, aku akhirnya menelepon nomor yang tidak pernah kuhubungi selama lima tahun.

"Tante Evelyn," ucapku tercekat, "boleh aku tinggal dengan Tante?"

Jawaban dari pengacara paling ditakuti di Jakarta itu datang seketika. "Tentu saja, sayang. Jet pribadiku sudah siap. Dan Aria? Apa pun masalahnya, kita akan menyelesaikannya."

Bab 1

Sudut Pandang Aria Prameswari:

Untuk yang ketujuh belas kalinya, pengacara Baskara mendorong surat cerai itu ke seberang meja makan kami. Kayu jati yang mengilap terasa dingin di bawah lenganku, kontras dengan panasnya rasa maluku yang mendidih.

Tujuh belas kali.

Itulah berapa kali dalam enam bulan terakhir aku diminta untuk menghapus diriku secara hukum dari kehidupan Baskara Aditama.

Pertama kali, aku berteriak sampai tenggorokanku serak. Kelima kalinya, aku dengan sengaja merobek setiap halaman menjadi potongan-potongan kecil seukuran confetti, tanganku gemetar karena amarah yang terasa asing dan menakutkan. Kesepuluh kalinya, aku menodongkan pecahan piring yang pecah ke pergelangan tanganku sendiri, suaraku berbisik dengan tenang saat aku memberi tahu pengacaranya bahwa jika dia menginginkan tanda tanganku, dia harus mengambil pena itu dari jari-jariku yang dingin dan tak bernyawa.

Pengacaranya, seorang pria bernama Pak Haryono dengan mata kelabu dan tak bernyawa seperti langit musim hujan, benar-benar pucat dan mundur dari rumah hari itu.

Tentu saja dia menelepon Baskara. Baskara bergegas pulang, wajahnya memasang topeng kekhawatiran, dan memelukku selama berjam-jam, membisikkan janji-janji ke rambutku. Janji bahwa ini semua hanya sementara, hanya formalitas untuk para investor, bahwa aku akan selalu menjadi istrinya, satu-satunya.

Aku telah memercayainya. Aku selalu memercayainya.

Tapi sekarang, menatap versi ketujuh belas dari dokumen yang sama, kelelahan yang mendalam dan hampa meresap jauh ke dalam tulangku. Aku lelah. Sangat lelah berkelahi, berteriak, dan percaya.

"Aria," kata Pak Haryono, suaranya rendah dan terlatih, dimaksudkan untuk menenangkan. "Kita sudah membahas ini. Ini adalah langkah strategis. Pembubaran sementara untuk menenangkan dewan direksi sebelum IPO. Tidak akan ada yang benar-benar berubah antara kau dan Baskara."

Aku tidak menatapnya. Pandanganku terpaku pada televisi yang terpasang di dinding ruang tamu, terlihat tepat di atas bahunya. Suaranya dimatikan, tetapi gambarnya sangat jernih. Baskara, Baskaraku, ada di layar, senyumnya seterang dan menyilaukan seperti kilatan kamera yang meledak di sekelilingnya. Dia berdiri di atas panggung, lengannya melingkar posesif di pinggang wanita lain.

Aurora Wijaya.

Seorang pemodal ventura yang brilian dan pragmatis dari firma yang memimpin putaran investasi perusahaannya. Wanita yang oleh media dijuluki sebagai separuh lain dari pasangan kuat baru di SCBD. Senyumnya tenang, posturnya sempurna. Dia pantas berada di sana, di bawah lampu yang gemerlap, di samping pria yang dirayakan dunia sebagai seorang jenius yang membangun segalanya dari nol.

"Dia akan menikahimu lagi begitu perusahaannya stabil," lanjut Pak Haryono, suaranya seperti dengungan yang mengganggu di telingaku. "Ini hanya... bisnis. Keluarga Aurora memiliki pengaruh yang sangat besar. Hubungan publik mereka adalah jaminan keberhasilan IPO."

Sebuah jaminan. Akulah risikonya. Istri rahasia dari masa lalunya yang miskin, peninggalan kehidupan yang sangat ingin dia lupakan.

Aku sudah mendengar kalimat-kalimat ini berkali-kali hingga kehilangan semua artinya. Itu hanyalah suara, udara kosong yang dibentuk menjadi kata-kata yang seharusnya mengatasku, untuk membuatku tetap diam dan patuh dalam bayang-bayang kehidupan yang telah kubantu bangun.

Aku menunduk menatap surat-surat itu. Namaku, Aria Prameswari, tercetak di sebelah garis kosong. Namanya, Baskara Aditama, sudah ditandatangani, goresan tangannya yang ambisius dan kukenal menjadi bukti efisiensinya.

"Baiklah," aku mendengar diriku berkata. Kata itu begitu pelan, begitu hampa emosi, sehingga sejenak aku tidak yakin telah mengucapkannya dengan keras.

Pak Haryono mengerjap, topeng profesionalnya goyah. "Maaf?"

Aku mengambil pena yang telah disediakannya dengan penuh perhatian. Rasanya berat, seolah diukir dari batu. "Kubilang, baiklah. Aku akan menandatanganinya."

Sekilas keterkejutan, yang dengan cepat digantikan oleh kelegaan yang tak terselubung, melintas di wajahnya. Dia mengharapkan pertarungan lain, adegan lain, pertunjukan putus asa dan menyedihkan lainnya dari istri yang merepotkan. Dia mungkin sudah siap menelepon Baskara, siap melaporkan kehancuran terbaru.

Tapi tidak ada lagi yang tersisa dalam diriku untuk hancur. Aku hanyalah cangkang kosong.

Tanganku bahkan tidak gemetar saat aku menandatangani namaku. Tinta mengalir dengan lancar, sungai hitam yang memutuskan ikatan sepuluh tahun. Setiap huruf adalah kematian kecil. A-r-i-a. P-r-a-m-e-s-w-a-r-i. Itu tampak seperti nama orang asing.

Saat pena terangkat dari kertas, Pak Haryono menyambar dokumen itu seolah takut aku akan berubah pikiran. Dia memasukkannya dengan aman ke dalam tas kulitnya, bunyi klik kuncinya bergema seperti tembakan di rumah yang sunyi.

"Kau telah membuat keputusan yang tepat, Aria. Keputusan yang bijaksana," katanya, sudah mundur ke arah pintu, pekerjaannya akhirnya, syukurlah, selesai. "Baskara akan sangat senang."

Dia menutup pintu di belakangnya, meninggalkanku sendirian di rumah besar yang tidak pernah benar-benar terasa seperti rumah.

Untuk sesaat, aku tidak bergerak. Kemudian, tulang-tulangku seakan luluh. Tubuhku merosot ke depan, dahiku bersandar pada permukaan meja yang dingin dan tak kenal ampun. Aku adalah jangkar yang akhirnya dilepaskan, tenggelam ke dalam lautan keputusasaan yang sunyi dan tak berdasar.

Di televisi, tontonan bisu itu berlanjut. Seorang reporter sekarang sedang mewawancarai Baskara. Dia bersinar, magnetis, pria yang kucintai. Dia mencondongkan tubuh ke mikrofon, matanya bertemu dengan mata Aurora di antara kerumunan.

Teks terjemahan muncul di bagian bawah layar.

"Aku berutang segalanya pada satu orang," wajah tersenyum Baskara berkata kepada dunia. "Aurora Wijaya. Dia bukan hanya investor utamaku; dia adalah inspirasiku, pasanganku, dan cinta dalam hidupku. Aku ingin berterima kasih padanya karena telah percaya padaku saat tidak ada orang lain yang melakukannya."

Kata-kata itu menggantung di sana, sebuah nisan digital untuk seluruh keberadaanku.

Percaya padanya saat tidak ada orang lain yang melakukannya.

Tawa pahit tanpa suara keluar dari bibirku. Aku teringat sebuah apartemen sempit dengan satu kamar tidur yang selalu berbau kopi basi dan mi instan. Aku teringat bekerja di tiga tempat-menjadi pelayan, membersihkan kantor, menjadi bartender-tanganku kasar dan tubuhku sakit, hanya agar dia bisa membayar biaya kuliah S2 bisnisnya. Aku teringat menjual liontin warisan nenekku, satu-satunya peninggalan darinya, untuk membayar biaya server ketika perusahaan rintisan teknologinya di ambang kehancuran.

Aku teringat hari kami pergi ke KUA, hanya kami berdua. Dia tidak mampu membeli cincin sungguhan, jadi dia memberiku cincin perak sederhana yang dibelinya dari pedagang kaki lima.

"Suatu hari nanti, Aria," bisiknya, matanya berkilauan dengan air mata yang tertahan saat dia menyelipkannya di jariku, "Aku akan membelikanmu sebuah pulau. Aku akan memberimu seluruh dunia. Ini baru permulaan. Untuk kita."

Sekarang, janjinya tentang seluruh dunia ditawarkan kepada wanita lain, di siaran langsung televisi, untuk dilihat semua orang.

Duniaku baru saja berakhir.

Jari-jariku, mati rasa dan kaku, meraba-raba ponselku. Aku menggulir kontak yang sudah bertahun-tahun tidak kulihat, melewati nama-nama yang terasa seperti hantu. Aku menemukan yang kucari. Evelyn Laksmi. Tante yang sudah lama tak berhubungan denganku. Seorang partner senior yang ditakuti dan dihormati di sebuah firma hukum ternama di Jakarta.

Ibu jariku melayang di atas tombol panggil. Kami tidak berbicara selama lima tahun, tidak sejak pertengkaran sengit tentang Baskara, seorang pria yang disebutnya sosiopat menawan sejak pertama kali bertemu dengannya.

Aku menekan tombol itu.

Dia menjawab pada dering kedua, suaranya setajam dan setepat yang kuingat. "Aria?"

Sebuah isakan, suara nyata pertama yang kubuat sepanjang hari, pecah dari dadaku. "Tante Evelyn," ucapku tercekat. "Bolehkah aku... bolehkah aku tinggal dengan Tante?"

Tidak ada keraguan, tidak ada 'Sudah kubilang.' Hanya kehangatan tiba-tiba yang menembus kabut es di pembuluh darahku. "Tentu saja, sayang. Aku sedang rapat sekarang, tapi hampir selesai. Jet pribadiku sudah siaga. Aku akan menyuruhnya menjemputmu dalam tiga jam. Kemasi saja tasmu. Kemasi semua yang ingin kau simpan."

Suaranya tenang, memerintah, sebuah tali penyelamat di tengah reruntuhan. "Dan Aria? Apa pun itu, kita akan menyelesaikannya. Aku sedang dalam perjalanan."

---

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya
Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

Penipuan Lima Tahun, Pembalasan Seumur Hidup

xuanhuan

5.0

Aku adalah Alina Wijaya, pewaris tunggal keluarga Wijaya yang telah lama hilang, akhirnya kembali ke rumah setelah masa kecilku kuhabiskan di panti asuhan. Orang tuaku memujaku, suamiku menyayangiku, dan wanita yang mencoba menghancurkan hidupku, Kiara Anindita, dikurung di fasilitas rehabilitasi mental. Aku aman. Aku dicintai. Di hari ulang tahunku, aku memutuskan untuk memberi kejutan pada suamiku, Bram, di kantornya. Tapi dia tidak ada di sana. Aku menemukannya di sebuah galeri seni pribadi di seberang kota. Dia bersama Kiara. Dia tidak berada di fasilitas rehabilitasi. Dia tampak bersinar, tertawa saat berdiri di samping suamiku dan putra mereka yang berusia lima tahun. Aku mengintip dari balik kaca saat Bram menciumnya, sebuah gestur mesra yang familier, yang baru pagi tadi ia lakukan padaku. Aku merayap mendekat dan tak sengaja mendengar percakapan mereka. Permintaan ulang tahunku untuk pergi ke Dunia Fantasi ditolak karena dia sudah menjanjikan seluruh taman hiburan itu untuk putra mereka—yang hari ulang tahunnya sama denganku. "Dia begitu bersyukur punya keluarga, dia akan percaya apa pun yang kita katakan," kata Bram, suaranya dipenuhi kekejaman yang membuat napasku tercekat. "Hampir menyedihkan." Seluruh realitasku—orang tua penyayang yang mendanai kehidupan rahasia ini, suamiku yang setia—ternyata adalah kebohongan selama lima tahun. Aku hanyalah orang bodoh yang mereka pajang di atas panggung. Ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Bram, dikirim saat dia sedang berdiri bersama keluarga aslinya. "Baru selesai rapat. Capek banget. Aku kangen kamu." Kebohongan santai itu adalah pukulan telak terakhir. Mereka pikir aku adalah anak yatim piatu menyedihkan dan penurut yang bisa mereka kendalikan. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Perhitungan Pahit Seorang Istri

Romantis

5.0

Suamiku, Banyu, dan aku adalah pasangan emas Jakarta. Tapi pernikahan sempurna kami adalah kebohongan, tanpa anak karena kondisi genetik langka yang katanya akan membunuh wanita mana pun yang mengandung bayinya. Ketika ayahnya yang sekarat menuntut seorang ahli waris, Banyu mengusulkan sebuah solusi: seorang ibu pengganti. Wanita yang dipilihnya, Arini, adalah versi diriku yang lebih muda dan lebih bersemangat. Tiba-tiba, Banyu selalu sibuk, menemaninya melalui "siklus bayi tabung yang sulit." Dia melewatkan hari ulang tahunku. Dia melupakan hari jadi pernikahan kami. Aku mencoba memercayainya, sampai aku mendengarnya di sebuah pesta. Dia mengaku kepada teman-temannya bahwa cintanya padaku adalah "koneksi yang dalam," tetapi dengan Arini, itu adalah "gairah" dan "bara api." Dia merencanakan pernikahan rahasia dengannya di Labuan Bajo, di vila yang sama yang dia janjikan padaku untuk hari jadi kami. Dia memberinya pernikahan, keluarga, kehidupan—semua hal yang tidak dia berikan padaku, menggunakan kebohongan tentang kondisi genetik yang mematikan sebagai alasannya. Pengkhianatan itu begitu total hingga terasa seperti sengatan fisik. Ketika dia pulang malam itu, berbohong tentang perjalanan bisnis, aku tersenyum dan memainkan peran sebagai istri yang penuh kasih. Dia tidak tahu aku telah mendengar semuanya. Dia tidak tahu bahwa saat dia merencanakan kehidupan barunya, aku sudah merencanakan pelarianku. Dan dia tentu tidak tahu aku baru saja menelepon sebuah layanan yang berspesialisasi dalam satu hal: membuat orang menghilang.

Buku serupa

Bosku Kenikmatanku

Bosku Kenikmatanku

Juliana
5.0

Aku semakin semangat untuk membuat dia bertekuk lutut, sengaja aku tidak meminta nya untuk membuka pakaian, tanganku masuk kedalam kaosnya dan mencari buah dada yang sering aku curi pandang tetapi aku melepaskan terlebih dulu pengait bh nya Aku elus pelan dari pangkal sampai ujung, aku putar dan sedikit remasan nampak ci jeny mulai menggigit bibir bawahnya.. Terus aku berikan rangsang an dan ketika jari tanganku memilin dan menekan punting nya pelan "Ohhsss... Hemm.. Din.. Desahannya dan kedua kakinya ditekuk dilipat kan dan kedua tangan nya memeluk ku Sekarang sudah terlihat ci jeny terangsang dan nafsu. Tangan kiri ku turun ke bawah melewati perutnya yang masih datar dan halus sampai menemukan bukit yang spertinya lebat ditumbuhi bulu jembut. Jari jariku masih mengelus dan bermain di bulu jembutnya kadang ku tarik Saat aku teruskan kebawah kedalam celah vaginanya.. Yes sudah basah. Aku segera masukan jariku kedalam nya dan kini bibirku sudah menciumi buah dadanya yang montok putih.. " Dinn... Dino... Hhmmm sssttt.. Ohhsss.... Kamu iniii ah sss... Desahannya panjang " Kenapa Ci.. Ga enak ya.. Kataku menghentikan aktifitas tanganku di lobang vaginanya... " Akhhs jangan berhenti begitu katanya dengan mengangkat pinggul nya... " Mau lebih dari ini ga.. Tanyaku " Hemmm.. Terserah kamu saja katanya sepertinya malu " Buka pakaian enci sekarang.. Dan pakaian yang saya pake juga sambil aku kocokan lebih dalam dan aku sedot punting susu nya " Aoww... Dinnnn kamu bikin aku jadi seperti ini.. Sambil bangun ke tika aku udahin aktifitas ku dan dengan cepat dia melepaskan pakaian nya sampai tersisa celana dalamnya Dan setelah itu ci jeny melepaskan pakaian ku dan menyisakan celana dalamnya Aku diam terpaku melihat tubuh nya cantik pasti,putih dan mulus, body nya yang montok.. Aku ga menyangka bisa menikmati tubuh itu " Hai.. Malah diem saja, apa aku cuma jadi bahan tonton nan saja,bukannya ini jadi hayalanmu selama ini. Katanya membuyarkan lamunanku " Pastinya Ci..kenapa celana dalamnya ga di lepas sekalian.. Tanyaku " Kamu saja yang melepaskannya.. Kata dia sambil duduk di sofa bed. Aku lepaskan celana dalamku dan penislku yang sudah berdiri keras mengangguk angguk di depannya. Aku lihat di sempat kagett melihat punyaku untuk ukuran biasa saja dengan panjang 18cm diameter 4cm, setelah aku dekatkan ke wajahnya. Ada rasa ragu ragu " Memang selama ini belum pernah Ci melakukan oral? Tanyaku dan dia menggelengkan kepala

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku