Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
7.4K
Penayangan
5
Bab

Pertemuan yang tak disengaja dengan sang mantan suami dan anak kandungnya membuat Sabrina kaget, senang sekaligus sedih. Bagaimana tidak? Anaknya yang dia rindukan dan tidak dia temui selama lima tahun lamanya justru memanggilnya dengan sebutan 'Tante'

Bab 1 Rindu seorang ibu

Pagi itu sedikit terik.

Cahaya pagi menerpa wajah wanita --berdarah Korea - indonesia-- yang kini mengenakan hijab yang menutupi hampir seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Dengan balutan gamis berwarna ungu pastel dan khimar lebar yang memiliki warna senada, memberikan kesan manis dan anggun di saat bersamaan.

Sabrina Hwang

Itulah nama yang diberikan sang ayah pada putri kecilnya. Yang lahir ke dunia ini bersama tangisan kerasnya.

Tapi sayang...

Pria itu yang memberikan nama tersebut, kini telah berada dalam dekapan sang pencipta bersama wanita yang dicintainya --ibunya-- yang memang mengalami ikut bersamanya saat pesawat yang mereka tumpangi jatuh di laut saat mereka hendak berlibur ke luar negeri guna merayakan anniversary yang ke 12 tanpa anak - anak mereka. Karena mereka menitipkan Sabrina dan Dhefin pada pengurus rumah mereka.

Malang tak dapat di tolak, dan itulah yang harus Sabrina dan Dhefin di usianya yang masih belia. Karena saat itu Sabrina masih berusia 12 tahun, dan Dhefin 7 tahun.

Miris memang ...

Diusianya yang di mana anak - anak masih membutuhkan belaian kasih sayang orang tua, dia malah berusaha untuk menjadi ibu sekaligus ayah untuk adiknya, meski dia memiliki paman dari pihak ibunya, Paman Yudha. Yang bekerja mengurus perusahaan sampai salah satu diantara mereka siap untuk memegang kendali usaha yang rintis mendiang ayahnya dari nol itu. Paman Yudha dan istrinya sangat menyayangi mereka dan mencurahkan perhatiannya pada keponakan-keponakan malangnya itu.

Kini adiknya itu telah besar, dia sekarang menempuh pendidikan S2nya di New Zealand, negara yang terkenal dengan sebutan Negeri Awan Putih Panjang.

Sudah 10 tahun dia tinggal di negeri orang. Lama memang. Tapi dia bilang ingin mencari pengalaman di luar negeri dan setelah puas dia akan kembali untuk memegang kendali perusahaan. Dhefin menempuh strata satunya di Australia dan bekerja selama 4 tahun di sana setelah dia lulus. Lalu dia pindah ke New Zealand mengambil program magisternya dan belum lama ini menyelesaikan tesisnya dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Dan untuk saat ini Om Yudhalah yang mengurus perusahaan milik mendiang ayahnya. Dia bersyukur karena dia memiliki paman yang sangat baik padanya dan Dhefin. Tante Rika, istri Om Yudha juga sangat menyayangi kami. Meski mereka memiliki anak sendiri, tapi mereka tidak pernah keberatan membagi kasih sayang mereka pada keponakan-keponakannya. Bahkan hubungannya dengan sepupu-sepupunya juga baik. Paman bukan pria yang tamak dan rakus yang akan mengambil semua keuntungan untuk dirinya sendiri, tapi dia orang yang bertanggung jawab dan amanah. Dia memberikan setengah dari keuntungan yang dia dapat dari hasil penjualan mobil - mobil tersebut untuknya juga, pastinya setelah membaginya dengan para pemegang saham tentunya. Karena itulah salah satu wasiat yang ditulis oleh Tuan. Marcus Hwang sendiri, sebelum beliau meninggal.

Sementara dia sendiri hanya sibuk mengurus butiknya yang di mana dia sendiri yang menjadi Desainernya. Jadi, dia hanya memiliki sedikit kesibukan, karena dia hanya datang sebentar ke butik untuk menemui pelanggan atau memantau perkembangan butiknya.

Sabrina kini menarik kedua sudut bibirnya, tatkala melihat anak - anak yang sedang asik bermain tak jauh dari tempat dia duduk saat ini.

Ada yang sedang asik bermain ayunan bangku dengan ibunya, ada yang tertawa riang saat meluncur bebas di perosotan, dan ada yang sedang asik bermain pasir dengan skop kecil di tangannya, dengan pengawasan ibunya yang sedang mengobrol santai bersama sekumpulan ibu - ibu tak jauh dari tempat anak itu bermain.

Wanita berparas cantik itu tak melepaskan senyumnya dan terus menatap anak yang sedang membuat gundukan pasir dengan skopnya di tangannya.

Sampai kemudian...

Anak laki - laki itu menangis. Karena pasir pasir halus yang tak sengaja masuk ke matanya.

Sabrina berdiri. Naluri keibuannya muncul dan ingin segera bergegas mendekati anak kecil tersebut.

Tapi ...

Langkahnya tertahan. Ketika

Wanita muda yang tadi mengawasinya sudah lebih dahulu bergegas menghampiri anak tersebut, meniup-niup mata anaknya yang memerah, dan menggendong anak laki - laki itu sambil menepuk-nepuk punggungnya sambil berujar 'tidak apa - apa, Nak ... pasirnya sudah hilang. Sekarang berhenti menangis'.

Ada iri dan juga sakit yang dia rasakan saat ini.

Pandangannya berubah sendu.

Melihat interaksi ibu dan anak tersebut.

Disaat wanita lain bisa dengan bebas menyentuh dan memeluk buah hati mereka, Dia di sini hanya bisa memendam kerinduan dan hasrat dalam hatinya pada putranya.

Dia juga ingin seperti para wanita itu, yang bisa menemani dan menjaga anak mereka setiap waktu. Tapi ...

Apalah daya, dia tidak bisa ...

Karena cinta yang dia miliki pada pria yang menjadi pemilik hatinya. Pria yang telah menyelamatkannya dari kematian dan pria yang selalu membayanginya di malam malam sunyi di saat dia terbangun ketika yang lain terlelap tidur.

Ukasya ...

Si Malaikat kecil yang pernah tumbuh di rahimnya, yang tak mampu di dekap meski hatinya menginginkannya.

Dia memejamkan matanya pedih ...

Kemudian, membukanya.

Hatinya kini berujar lirih..

Ya Allah...

Aku merindukannya..

bisakah aku melihatnya sekali saja, hanya melihatnya agar hati ini tenang dan agar rindu ini bisa tersampaikan.

Dering ponsel membuatnya tersadar. Dia mengambil ponsel di dalam tas selempangnya dan segera mengangkatnya. "Iya, Tan. ada apa?"

Terdengar desahan di ujung telpon sana, "kau di mana? Aku mencarimu ke rumah dan kau tidak ada."

"Di taman," jawabnya singkat.

"Tadi, aku mencarimu di butik ternyata kau tidak ada. Dan aku langsung menduga kau berada di taman, dan ternyata benar." Jeda sejenak. "Akhirnya aku menyusul ke sini. Cepet kemari, aku menunggumu di area parkir."

"Sorry ... " dengan rasa tak enak hati karena membuat sahabatnya mencarinya, "aku akan segera ke sana," jawab Sabrian cepat. Dan bergegas ke tempat parkir.

Sabrina memasuki mobil Tanti dan ketika hendak menutup pintu ia bertanya, "Ada apa kau mencariku?"

Tidak ada apa - apa, aku hanya ingin sarapan bareng," paparnya santai. "Kau pasti belum sarapan kan?"

"Belum," Sabrina menyerngit. "Tumben, kau mengajakku sarapan bareng memangnya Mas Awan kemana?"

Tanti merengut sebentar. Lalu, kemudian berujar. "Dia datang ke kantor lebih pagi, hingga dia tidak sempat sarapan bareng. Dan aku tidak ingin sarapan sendiri, dan karena aku tidak mungkin mengajak Pak satpam untuk menemaniku?

Sabrina tertawa pelan mendengar guyonan sahabatnya itu.

"Jadi, aku mengajakmu." terangnya. Kemudian, Tanti menjalankan mobilnya lalu memutar kemudi dan keluar taman memasuki jalan raya yang lenggang tapi terlihat ramai.

Tanti melihat Sabrina yang mulai mengamati jalan dari balik jendela. Seperti asik dengan dunianya sendiri.

"Bin," panggil Tanti pelan.

"Hmm," gumamnya. Orang-orang terdekatnya memanggilnya Bina. Sedang orang lain memanggilnya Sabrina.

Tanti menghembuskan nafas pelan. "Apa kau ke taman itu untuk melihat anak - anak lagi?"

Tak ada jawaban dari Sabrina. Dia tahu ke mana arah pembicaraan wanita yang sedang berada di balik stir itu. Jadi, dia hanya diam dan berusaha menikmati suasana yang berada di luar jendela di mana banyak mobil dan motor bergerak mendahuluinya.

"Sudah 5 tahun," katanya lelah, "dan kau masih saja berada di tempat yang sama," ada kefrustasian dalam nada bicaranya. "Apa kau menyesali keputusanmu waktu itu?"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku