Vyora Arabelle sosok wanita yang merelakan impian terbesarnya demi menikahi pria yang ia cintai. Pernikahan tanpa restu menjadi bumerang besar untuknya. Awalnya pernikahannya tampak baik-baik saja. Namun, lambat laun suaminya yang terbiasa bergelimang harta. Dengan bujuk rayuan keluarganya ia tega meninggalkan Vyora. Pernikahan yang seharusnya membuatnya bahagia justru menjadi awal kesedihannya. Saat Vyora berada dalam keterpurukkannya. Datang sosok pria tampan yang tiba-tiba menawarkannya bantuan untuk membalas semua keburukan mantan suaminya. Karena rasa sakit dan hinaan yang di terimanya. Vyora tertarik untuk membalaskan semua perbuatannya padanya. Dengan keterlibatannya Vyora dan pria itu. Bagaimana kelanjutan hubungan keduanya? Akankah Vyora jatuh cinta pada sosok pria penolongnya atau justru Vyora masih terjebak dengan mantan suaminya.
Wanita berpenampilan sederhana namun tetap tak bisa menyembunyikan paras cantiknya terlihat menunggu lampu hijau berganti merah. Wanita itu dengan tak sabar ingin segera berlari menemui seseorang. Dengan amplop putih di tangannya. Wanita itu terus memandangnya dengan penuh kebahagiaan. Sebentar lagi ia akan mendapatkan impiannya. Ini seperti mimpi baginya. Sedikit lagi ia mampu menggenggamnya.
"Aku tidak sabar ingin memberitahunya." Wanita itu berbicara dengan dirinya sendiri sambil menatap amplop putih di tangannya.
Waktu telah menghitung mundur. Lampu hijau kini berubah menjadi merah. Banyak pejalan kaki yang berdesakan untuk berebut berjalan di zona Zebra Cross. Tubuhnya yang kurus membuatnya terpontang-panting. Amplop putih yang dipegangnya tanpa sengaja terjatuh. Amplop putih yang sangat berarti untuknya. Wanita itu terlihat menunduk mencarinya. Desakan pejalan kaki membuat amplop putih terus berpindah tempat. Wanita itu terlihat kesulitan mengambilnya. Saat sudah tak terlalu banyak pejalan kaki. Wanita itu akhirnya mendapatkan amplop putihnya.
Amplop putih yang tadinya bersih menjadi kotor. Bukannya langsung menyeberang. Wanita itu terlihat membersihkan amplop putih miliknya dengan mimik sedih. Tanpa ia sadari lampu lalu lintas telah berubah hijau. Ia yang masih berdiri di tengah jalan membuat banyak kendaraan membunyikan klakson.
Setelah menyadari kesalahannya. Wanita itu segera menunduk meminta maaf sebelum akhirnya berjalan meninggalkan jalan raya.
Tanpa wanita itu sadari. Dari tadi terdapat pria misterius yang mengamatinya. Kaca mobilnya yang gelap membuatnya tak terlihat dari luar.
"Kau masih orang yang sama. Hatimu sangat lembut," ucap pria itu dengan mata yang memandang kepergiannya.
Sudah sangat lama ia tidak tahu kabar wanita itu. Semenjak kematian saudaranya ia harus pindah ke luar negeri. Siapa yang akan mengira. Takdir mempertemukannya kembali meski ia tak yakin wanita itu masih mengenalinya.
"Jalan, Pak."
*****
Mimik wajah wanita itu masih terlihat sedih saat melihat amplop putihnya yang tak bisa sebersih awal. Ia menyesali kecerobohannya. Untung saja lembaran di dalamnya masih baik-baik saja.
"Kenapa aku ceroboh sekali. Untung saja aku tidak kehilanganmu," ungkapnya dengan penuh penyesalan.
Setelah memastikan amplop putihnya masih aman. Wanita itu melanjutkan kembali langkahnya. Dengan penuh keyakinan wanita itu memasuki sebuah Cafe. Baru ia membuka pintu Cafe. Ia langsung disambut lambaian tangan seorang pria yang sangat ia cintai. Semenjak kedua orang tuanya yang meninggal dalam kecelakaan. Wanita itu hidup sebatang kara. Saat ini ia hanya memiliki pria itu sebagai keluarganya.
"Vyora!" seru pria itu sambil melambaikan tangan ke arahnya.
Ya, wanita itu bernama Vyora Arabelle. Ia tersenyum dan membalas lambaian pria itu dengan ekspresi bahagianya.
"Apa kau sudah lama menungguku?" tanya Vyora.
"Tidak, aku baru saja datang," ucapnya.
"Apa yang membuatmu tiba-tiba ingin bertemu denganku? Apa semua baik-baik saja, Vin?" tanya Vyora khawatir pada sosok kekasihnya yang sering dipanggilnya Kevin Diaskara.
Wajah Kevin terlihat murung. Semenjak kedatangannya. Kevin terus menekuk wajahnya.
Vyora memegang lengannya. "Vin, aku sedang bertanya padamu. Apa semuanya baik-baik saja?"
Kevin menghembuskan nafas berat sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.
"Aku habis bertengkar dengan papa," ucapnya.
Saat Kevin mengatakannya. Vyora merasa bersalah padanya. Ini pasti karenanya. Dari dulu orang tua Kevin tak pernah merestui hubungannya. Vyora sempat ingin menyerah. Vyora yang tak ingin memisahkan anak dan orang tuanya. Vyora mengalah. Namun, karena keyakinan dan keteguhan hati Kevin. Akhirnya Vyora tak menyerah begitu saja. Kevin memberinya keyakinan jika nantinya orang tuanya pasti merestuinya.
"Apa karena hubungan kita lagi?" tanya Vyora sedih.
Melihat kesedihan di mata Vyora membuatnya tak tega. Kevin yang sangat mencintainya. Tak mungkin ia ingin melepaskannya begitu saja. Tak ingin membuatnya sedih. Kevin mencoba mengelak. Melihat amplop putih yang dipegangnya. Kevin tampak penasaran.
"Amplop apa itu?" tanya Kevin.
Vyora yang tadinya penuh semangat ingin memberitahunya. Melihat situasi yang tidak baik-baik saja. Tiba-tiba ia ingin mengurungkannya. Ia pikir ini bukan waktu yang tepat memberitahunya. Mungkin ia bisa memberitahunya di lain waktu.
"Ah, ini. Tidak, ini bukan apa-apa. Itu tidak penting." Vyora segera menyembunyikan amplop putih miliknya di dalam tasnya.
"Kamu tadi belum menjawabku. Apa benar kau bertengkar karena hubungan kita?" Kevin yang tak menjawab membuatnya harus bertanya lagi.
"Kau tidak perlu memikirkannya. Lebih baik kita pesan makanan. Aku sangat lapar." Tak ingin Vyora yang ke pikiran. Kevin tak ingin membahas lagi permasalahannya.
Mereka memutuskan menyudahi pembicaraannya. Keduanya menikmati makanannya dengan penuh bahagia. Meski di wajah keduanya tak dapat menampik jika mereka masih memikirkannya.
*****
"Maaf, aku tidak bisa mengantarmu." Kevin sangat menyesali tak bisa mengantar Vyora pulang. Karena dirinya yang tiba-tiba mendapat telepon dari sekretarisnya. Terpaksa ia harus kembali ke perusahaan.
"Tidak apa, kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku bisa memesan Taksi," ucap Vyora.
"Tetap saja aku merasa bersalah padamu. Aku yang mengajakmu bertemu. Tapi, aku harus segera pergi," sesalnya.
Karena kesibukannya di perusahaan. Membuat Kevin jarang dapat bertemu dengan Vyora. Entah kenapa Kevin mencurigai ayahnya. Bisa saja ayahnya sengaja membuatnya sibuk agar tidak bisa menemui Vyora.
"Aku masih sangat merindukanmu," ucap Kevin.
Mendengar itu Vyora tersenyum. Tidak hanya Kevin yang merindukannya. Begitu pula dengan dirinya. Ia juga sangat merindukannya. Namun, karena kesibukan sang kekasih. Vyora tak ingin menambah bebannya. Vyora harus bisa memahaminya.
"Beri aku pelukan." Vyora merentangkan kedua tangannya. Tak lama Kevin datang memeluknya. Keduanya yang merasakan kenyamanan. Mereka terlihat saling tak ingin melepaskan pelukan.
"Kau harus segera pergi," ucap Vyora meski keduanya masih saling berpelukan. Mereka tampak tak rela melepaskannya.
"Lima menit lagi," ucap Kevin menenggelamkan pelukannya di leher Vyora.
"Tidak, nanti kau terlambat. Jangan buat papamu marah lagi padamu."
Mendengar kata yang keluar dari mulut Vyora membuatnya melepaskan pelukannya.
"Baiklah." Kevin melepaskan pelukannya dengan perasaan berat.
Seperti masih sulit melepaskannya. Perlahan Kevin melepaskan genggaman tangannya padanya.
"Aku pergi?!"
"Ya, hati-hati. Jangan ngebut," ucap Vyora.
"Em."
Kevin melambaikan tangannya. Setelah kepergian Kevin. Vyora tampak menekuk wajahnya menyesal. Ia yang tadinya ingin memberitahu kabar baik padanya. Karena waktunya yang tak tepat ia harus mengurungkannya.
Dengan memaksa dirinya tersenyum. "Masih banyak waktu. Aku masih bisa memberitahunya lain kali."
*****
Waktu kepergiannya ke Jerman tinggal tiga hari lagi. Kesibukan Kevin membuatnya kesulitan mencari waktu yang tepat. Ia tak tahu ekspresi apa yang akan ditunjukkan Kevin nantinya.
"Vyora, maaf aku terlambat." Vyora membalas dengan senyuman.
Melihatnya yang tampak kelelahan membuatnya kasihan. Kevin pasti banyak pekerjaan. Karena pertemuannya, Kevin harus meninggalkan pekerjaannya. Vyora tampak menyesalinya.
"Tidak apa, kau pasti sangat capek. Maaf, tak seharusnya aku mengganggumu," ucap Vyora.
"Kau tidak perlu meminta maaf, Vio. Lagian, aku juga ingin membicarakan suatu yang penting padamu," kata Kevin.
Kevin yang mengingat tujuan awal bertemu dengan Vyora. "Bukankah kau ingin bertemu denganku karena ingin membicarakan sesuatu juga?"
"Benar, tapi kau bisa memberitahuku terlebih dulu. Sebenarnya apa yang ingin kau katakan, Vin. Sepertinya itu sangat penting," ucap Vyora penasaran.
"Ya, ini sangat penting. Tapi kau bisa memberitahuku dulu. Sebenarnya ada apa tiba-tiba ingin bertemu denganku."
Vyora dengan ragu mengambil amplop putih di tasnya. Tak langsung menyerahkannya.
"Sebenarnya sudah lama aku ingin memberitahumu. Namun, aku rasa ini waktu yang paling tepat."
Kevin menatap amplop putih. Itu sebuah amplop yang sama saat dilihatnya waktu itu. Dengan perlahan Vyora menyerahkan amplop putih itu padanya.
"Sebenarnya apa ini?" tanya Kevin penasaran. Di luar amplop putih tertulis nama salah satu Universitas terbaik di Jerman. Kevin tahu negara Jerman terkenal dengan kampus seni. Terutama musiknya.
"Kau bisa membukanya," ujar Vyora.
Dengan perlahan Kevin mulai membuka lembaran di dalamnya. Dan benar saja. Sesuai dugaannya. Kevin sangat tahu menjadi pianis merupakan cita-cita terbesarnya. Tapi, kenapa harus sekarang. Kenapa di saat ia telah mengambil keputusan besar justru Vyora akan meninggalkannya.
"Tiga hari lagi?" Kevin menyipitkan matanya.
"I-iya," jawabnya.
"Kenapa baru memberitahuku sekarang?" ucap Kevin kecewa.
"Maaf, aku sudah ingin memberitahumu dari lama. Tapi, selalu saja waktunya tak tepat." Vyora mencoba menjelaskannya.
"Lalu, apa kau pikir sekarang waktu yang tepat untuk memberitahuku?" Suara Kevin agak mengeras.
"Ma-maaf." Vyora tidak tahu harus berkata apa selain meminta maaf.
"Kau tahu apa yang ingin aku katakan padamu?"
Vyora yang tak tahu hanya menunduk dan menggeleng.
"Orang tuaku ingin menjodohkanku dengan rekan bisnisnya," ungkap Kevin.
Vyora yang tadinya menunduk berganti menatapnya.
"A-apa?"
"Ya, mereka ingin menjodohkanku. Dan kau tahu apa yang aku katakan padanya?" Sekali lagi Kevin mengajukan pertanyaan yang tak mampu dijawabnya.
"Aku menolaknya, Vyora. Bukan hanya itu. Aku bahkan rela meninggalkan semuanya demi mempertahankan hubungan kita." Kevin mengusap wajahnya kecewa. Vyora tak tahu harus berkata apa. Vyora hanya menangis.
"Dan tinggal tiga hari lagi kau baru mengatakannya," lanjut Kevin dengan penuh kekecewaan.
"Kalau begitu, kau bisa pergi bersamaku." Entah kenapa Vyora tiba-tiba ke pikiran ingin mengajak pergi bersamanya.
Masalahnya, itu bukan solusi yang mudah. Jika saja Vyora memberitahunya dari awal Kevin bisa menyiapkannya. Namun, saat ia benar-benar telah menyerahkan semua fasilitas yang diberikan orang tuanya padanya. Itu tidak memungkinkan.
"Jika saja kau mengatakannya dari awal. Mungkin aku bisa memikirkannya. Orang tuaku telah memblokir semua kartu kreditku. Aku bahkan tak yakin uang tabunganku cukup untuk mencukupi kehidupanku."
Vyora sangat ingin pergi ke Jerman. Impiannya yang sudah di depan mata tak mungkin ia melepaskannya begitu saja.
"Kalau kau berpikir ingin menjalin hubungan jarak jauh. Maaf, Vyora. Aku tidak bisa. Lebih baik aku melepaskanmu daripada tetap berhubungan tapi kita berjauhan," ucap Kevin.
"Jika kau ingin tetap mempertahankan hubungan kita. Lepaskan impianmu. Dan menikahlah denganku," lanjutnya.
"Jika kau memilihku. Temui aku."
Kevin meninggalkannya begitu saja. Vyora tak bisa menahan lagi tangisnya. Kevin sangat penting baginya. Tapi impiannya juga sangat penting untuknya. Seandainya ia bisa memilih. Vyora ingin memiliki keduanya. Mungkin itu terdengar egois. Tapi, kalau disuruh memilih salah satu. Ia tidak bisa. Keduanya sangat penting untuknya.
Dengan sisa air matanya. Vyora dengan terburu-buru mengambil amplop putihnya dan memasukkannya asal ke dalam tas. Saat dalam perjalanan pergi. Tanpa sengaja Vyora menabrak seseorang.
"Maaf." Vyora menunduk meminta maaf tanpa melihatnya. Dengan terburu-buru Vyora pergi. Tanpa ia sadari amplop putihnya yang dimasukkan asal ke dalam tasnya terjatuh.
Pria itu yang menyadari amplop putih terjatuh di depannya ia mengambilnya. Itu pasti milik wanita yang menabraknya. Pria itu segera memanggilnya.
"Tunggu!"
Mendengar suara pria itu memanggilnya. Vyora berhenti. Pikiran negatif tiba-tiba terlintas di benaknya. Vyora menghapus sisa air matanya. Ia terlalu malu untuk memperlihatkan air matanya di depan orang tak dikenalnya.
"Iya."
Pria itu menghampirinya dan memberikan kembali amplop putih miliknya.
"Kau menjatuhkannya."
Vyora menerimanya. "Terima kasih."
Setelah menerima kembali amplop putihnya. Vyora melangkah pergi meninggalkannya.
"Dia benar-benar tidak mengenalku," ucap pria itu dengan sendu.
"Jerman? Apa dia akan pergi ke Jerman?" Pria itu terlihat tersenyum miris. Baru saja takdir mempertemukannya kembali. Tapi, karena takdir pula ia harus mengetahui fakta jika wanita yang diam-diam ia kagumi akan pergi ke Jerman. Sungguh sangat menyakitkan takdir yang harus ia terima.
Bab 1 Prolog
18/11/2023
Bab 2 Kehidupan Baru
18/11/2023
Bab 3 Masalah Datang
18/11/2023
Bab 4 Awal Perubahan
18/11/2023
Bab 5 Peri Piano
18/11/2023
Bab 6 Pekerjaan Baru untuk Vyora
18/11/2023
Bab 7 Bertemu Tanpa Sengaja
18/11/2023
Bab 8 Penyesalan
18/11/2023
Bab 9 Perubahan Sikap Kevin
18/11/2023
Bab 10 Ibu mertua
18/11/2023
Bab 11 Kesabaran seorang Vyora
20/11/2023
Bab 12 Pertemuan Isaac dan Peri Piano
20/11/2023
Bab 13 Makan Bersama Peri Piano
21/11/2023
Bab 14 Air Mata Vyora
21/11/2023
Bab 15 Denting Melodi Kesedihan
25/11/2023
Bab 16 Pergi
27/11/2023
Bab 17 Perpisahan
30/11/2023
Bab 18 Nama masa kecilku
01/12/2023
Bab 19 Rumah Sakit
05/12/2023