Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Status WA Mantan Suami

Status WA Mantan Suami

Maulina Fikriyah

5.0
Komentar
4.9K
Penayangan
37
Bab

Hana ... selalu mendapat perlakuan buruk dari suaminya, bahkan saat mereka sudah bercerai, Ari justru semakin ingin membuat Hana hancur. Ada hubungan apa sebenarnya antara Ari dan Risa?

Bab 1 Status WA Ari

Status WA Mantan Suami (1)

______________________

[Janda ngenes, baru kucerai udah kalang kabut aja jualan sayur]

Aku meremas baju yang melekat di dada saat jemariku dengan sengaja membuka status WA Mas Ari, mantan suamiku enam bulan yang lalu.

Ternyata tidak cukup sampai di situ, di bawah status Mas Ari, terpampang jelas nama Mbak Risa, kakak ipar yang kini sudah menguasai rumah Ibu mertua. Mas Ari dua bersaudara. Kakak pertamanya bekerja di luar pulau dan beristrikan Mbak Risa. Sedang anak kedua yakni Mas Ari, mantan suamiku.

[Makanya jadi wanita itu yang nurut. Sok-sokan minta cerai, eh, nggak taunya malah jadi buruh penjual sayur, wkwkwk]

Pada caption yang dia tulis, disertakan pula fotoku yang sedang melayani pembeli.

Flashback on.

"Han, ini jatah belanja kamu sebulan. Cukup-cukupin!"

Mas Ari melempar beberapa lembar uang berwarna merah tepat di depan wajahku. Hatiku sakit? Tentu saja! Tapi aku bisa apa selain mulai memunguti uang itu satu per satu, tanpa menghitungnya lagi karena sudah kupastikan jumlahnya hanya ada lima.

"Kebutuhan dapur semakin naik, Mas, uang ini nggak akan ...."

Brak!

Meja makan di depannya digebrak dengan keras hingga hampir saja sayur yang kutuang dalam mangkuk berhamburan keluar.

"Nggak cukup ... nggak cukup. Selalu nggak cukup! Apa kamu nggak punya bahasan lain selain uang, hah?!" Suara Mas Ari meninggi, jika sudah seperti itu maka jalan satu-satunya yang kupilih adalah diam.

"Harusnya kamu bersyukur selalu kuberi jatah bulanan. Mikir, Han, aku ada Ibu dan Kakak ipar yang menjadi tanggung jawabku. Kamu jadi wanita jangan serakah!"

Dadaku bergemuruh hebat.

Serakah?

"Aku nggak pernah melarang kamu untuk memberikan Ibu uang bulanan, Mas. Tapi untuk Mbak Risa ... dia sudah bersuami, jelas sekali kalau Mbak Risa bukan tanggung jawabmu," jelasku pada Mas Ari lirih.

"Halah! Tau apa kamu tentang tanggung jawab! Masih untung aku memberimu jatah bulanan. Jadi istri kok nggak bersyukur!"

Aku menghela nafas kasar. Selalu saja begini keadaannya kalau Mas Ari sudah menerima gaji. Dia selalu mendahulukan Ibu dan Mbak Risa yang sudah bersuami, padahal aku istrinya ... tapi tidak sedikitpun Mas Ari memberiku kesempatan untuk mengelola keuangan di rumah ini.

"Bisanya juga masak tempe sama sayur bening aja sok-sokan mau jatah bulanan lebih. Mimpi!"

Dia membanting sendok tepat di sisi piring yang masih kosong. Mas Ari melenggang pergi, tanpa menyentuh makanan di meja yang sudah kusediakan.

Apa lagi yang bisa kubeli?

Uang dapur hanya tersisa sepuluh ribu rupiah. Daripada Mas Ari pulang dan meja makan masih kosong, mau tidak mau aku kembali membeli tempe tadi sore untuk lauk makan malam.

Dan sekarang? Uang lima ratus ribu itu kembali dia berikan setelah tiga kali berturut-turut aku terima.

Pernikahan kami baru menginjak usia satu tahun. Aku dan Mas Ari bertemu di sebuah restoran mengingat saat itu dia datang makan malam bersama kawan-kawannya. Saat aku meletakkan makanan di atas meja, Mas Ari menghentikan langkahku dan meminta nomor ponsel padaku. Riuh suara teman-teman Mas Ari menggoda aksinya kala itu hingga membuat pipiku terasa panas.

Sebulan setelah berkenalan, Mas Ari mengatakan ingin bertemu Bapak dan Emak di desa. Dia datang sendiri dan mengatakan ingin menikahiku. Mas Ari meminta restu Emak dan Bapak dan berjanji akan kembali lagi dua bulan yang akan datang.

Benar saja, dua bulan selanjutnya, dia datang bersama beberapa kerabatnya dari Kota. Mas Ari melamarku secara resmi dan kami menikah dua Minggu setelahnya. Tidak ada resepsi mewah di kampung. Hanya akad nikah sederhana saja.

Setelah menikah, esoknya Mas Ari memboyongku ke Kota. Berat tentu saja mengingat Bapak dan Emak hanya berdua di kampung sementara kakak lelakiku bekerja di luar pulau dan pulang tiga bulan sekali, atau bisa lebih lama. Tapi Emak selalu menguatkan dan mengatakan jika aku harus patuh pada perintah suami. Aku menurut, meskipun hatiku sebenarnya tidak rela jauh dari Emak dan Bapak.

Flashback off.

"Han ... Hana...?"

Aku terkesiap saat tepukan lembut mendarat di pundakku. Bu Wira tersenyum dan duduk di depanku dengan menatap lekat kedua manik mata yang mulai berembun ini.

"Kamu dipanggil dari tadi diem aja. Melamun?"

Aku menggeleng samar dan menyerahkan uang setoran jualan sayur pada Bu Wira. Setelah menghitungnya, Bu Wira akan memberiku upah sebesar tujuh puluh lima ribu dalam setiap harinya.

Lumayan bagiku karena uang sebanyak itu bisa kubagi untuk membayar sewa kos dan makan sehari-hari, bila ada sisa, maka akan kumasukkan ke dalam celengan ayam untuk ongkos pulang.

Aku bisa saja menjual ponsel yang kepegang saat ini, tapi selain butuh dana untuk pulang kampung, aku juga butuh hati yang kuat saat berhadapan dengan Emak dan Bapak nanti. Apalagi jika aku pulang dengan menyandang status janda. Aku benar-benar butuh hati yang kokoh dan telinga yang tebal sebab para tetangga akan menggunjingkan status baruku nanti, mungkin sampai mereka bosan dan terganti dengan berita baru yang lebih heboh. Tentu saja aku belum siap dengan itu mengingat pernikahanku dengan Mas Ari baru seumur jagung. Aku takut menambah beban pikiran Emak dan Bapak nantinya.

"Ini gaji kamu." Bu Wira menyerahkan uang seratus ribu di atas meja.

"Saya nggak ada kembalian, Bu. Bisa gajinya uang pas saja," kataku sungkan.

Bu Wira tersenyum tipis, "Udah bawa aja. Hari ini laku banyak, itu bonus buat kamu."

Aku tersenyum meskipun sudut mata sedikit berair. Kuambil uang di atas meja dan mengucapkan terima kasih pada Bu Wira sebanyak-banyaknya. Wanita itu menepuk pundakku lembut, "Kalau butuh teman bercerita, kamu bisa datang kesini, Han."

Hampir saja aku menangis. Bu Wira adalah juragan sayur di kota ini. Dia memiliki empat karyawan yang salah satunya adalah aku. Meskipun aku mendapat jatah berkeliling di kompleks rumah mantan Ibu Mertua, mau tidak mau aku tetap menjalankan pekerjaan ini dengan baik.

"Terima kasih, Bu. Saya pamit dulu."

________________________

"Karyawan baru, Ma? Boleh juga nih!" celetuk anak sulung Bu Wira yang terkenal suka mabuk-mabukan.

Sudah bukan rahasia umum lagi di komplek sini tentang bobroknya kelakuan anak sulung Bu Wira. Kadang aku menyayangkan, kenapa orang sebaik Bu Wira harus mempunya anak seburuk Kevin.

"Hey, cantik! Mau ena-ena nggak nanti malam, aku jemput."

"Kevin!" teriak Bu Wira dengan wajah memerah. Dia menepis tangan Kevin dengan kasar dan menariknya menjauhiku. Dengan isyarat mata, Bu Wira memintaku segera pergi dari rumahnya.

Aku berlari hingga nafas hampir habis rasanya. Tapi tiba-tiba ....

Tin

Tin

Tin

"Hey, janda miskin, minggir!"

Aku menoleh dan mendapati wajah Mbak Risa melongok dari jendela mobil.

"Kenapa? Kaget ya liat aku bisa pakai mobil. Kamu tau ini siapa yang beliin? A ... ri ....!"

Aku membuang muka, melanjutkan langkah tanpa mendengarkan lagi ocehan dan hinaan yang keluar dari mulut Mbak Risa.

"Bye-bye jandes ... semakin sengsara setelah dicampakkan. Cocok banget sama keadaan kamu sekarang. Ha ... ha ... ha ....!"

Air mata meluncur begitu saja seiring dengan semakin menjauhnya mobil Mbak Risa dari hadapan. Kuraup udara sebanyak mungkin dan menghembuskannya perlahan.

Oke, Hana. Ayo bangkit!

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku