Rapat Penting Itu Hanya Dusta

Rapat Penting Itu Hanya Dusta

Gavin

5.0
Komentar
Penayangan
10
Bab

Mobilku hancur menabrak pembatas jalan, kakiku terjepit, dan darah mengucur deras di tengah hujan lebat. Dalam kepanikan antara hidup dan mati, aku menelepon suamiku, Roni, memohon pertolongan. Tapi dia malah mematikan teleponku dengan kasar. "Aku sedang rapat penting! Jangan ganggu aku!" bentaknya sebelum sambungan terputus. Aku pingsan menahan sakit, mengira dia benar-benar sibuk menyelamatkan perusahaan. Namun, kebenaran yang kutemukan kemudian jauh lebih menyakitkan daripada luka fisikku. Di fitur 'Close Friend' Instagram sekretarisnya, Chika, terpampang foto tangan Roni sedang memegang obat kucing. Caption-nya menusuk hati: "Makasih Pak Bos selalu ada di saat genting." Ternyata, 'rapat penting' itu hanyalah menemani selingkuhannya ke dokter hewan. Nyawaku ternyata lebih murah daripada seekor kucing peliharaan pelakor. Saat aku menuntut penjelasan, Roni malah menuduhku egois dan drama. "Kamu selamat kan? Bersyukurlah, jangan lebay," katanya tanpa rasa bersalah sedikitpun. Hingga akhirnya, di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-10, dia malah memberikan proyek impianku pada Chika di depan umum. Cukup sudah. Aku meletakkan surat cerai dan pengunduran diri di atas meja. "Tanda tangani ini, Roni. Aku pergi." Dia tertawa meremehkan, yakin aku tak bisa hidup tanpanya dan akan kembali mengemis. Dia tidak tahu, kali ini aku tidak akan pernah menoleh ke belakang lagi.

Bab 1

Mobilku hancur menabrak pembatas jalan, kakiku terjepit, dan darah mengucur deras di tengah hujan lebat.

Dalam kepanikan antara hidup dan mati, aku menelepon suamiku, Roni, memohon pertolongan.

Tapi dia malah mematikan teleponku dengan kasar.

"Aku sedang rapat penting! Jangan ganggu aku!" bentaknya sebelum sambungan terputus.

Aku pingsan menahan sakit, mengira dia benar-benar sibuk menyelamatkan perusahaan.

Namun, kebenaran yang kutemukan kemudian jauh lebih menyakitkan daripada luka fisikku.

Di fitur 'Close Friend' Instagram sekretarisnya, Chika, terpampang foto tangan Roni sedang memegang obat kucing.

Caption-nya menusuk hati: "Makasih Pak Bos selalu ada di saat genting."

Ternyata, 'rapat penting' itu hanyalah menemani selingkuhannya ke dokter hewan.

Nyawaku ternyata lebih murah daripada seekor kucing peliharaan pelakor.

Saat aku menuntut penjelasan, Roni malah menuduhku egois dan drama.

"Kamu selamat kan? Bersyukurlah, jangan lebay," katanya tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Hingga akhirnya, di hari ulang tahun pernikahan kami yang ke-10, dia malah memberikan proyek impianku pada Chika di depan umum.

Cukup sudah.

Aku meletakkan surat cerai dan pengunduran diri di atas meja.

"Tanda tangani ini, Roni. Aku pergi."

Dia tertawa meremehkan, yakin aku tak bisa hidup tanpanya dan akan kembali mengemis.

Dia tidak tahu, kali ini aku tidak akan pernah menoleh ke belakang lagi.

Bab 1

(Alea Zahra POV)

Aku sedang berbicara di telepon dengan Bibi Rina, bibi dari pihak ibuku yang tinggal di Bali. Suaranya hangat, penuh kasih sayang, dan membuatku merasakan kehangatan yang sudah lama tidak kudapatkan.

"Alea, kamu sungguh-sungguh kali ini? Kamu akan kembali ke Bali?" tanya Bibi Rina, suaranya terdengar antusias.

"Iya, Bi. Aku sudah memikirkannya matang-matang," jawabku, mencoba meyakinkannya dan diriku sendiri.

"Baguslah, Nak. Bali selalu menyambutmu. Lagipula, kamu kan sudah lama tidak pulang. Nanti kan kamu ada pekerjaan juga di sana, kan?" Ada nada ceria dalam suaranya, seolah dia sudah merencanakan segalanya untukku.

Aku tersenyum kecil. "Iya, Bi."

"Ya sudah, nanti kalau sudah sampai, langsung kabari Bibi ya. Bibi akan jemput kamu di bandara."

"Makasih banyak, Bi."

Setelah mengucapkan salam, aku menutup telepon. Rasa lega bercampur haru memenuhi dadaku. Sudah terlalu lama aku tidak merasakan kasih sayang setulus ini. Selama ini, aku hanya berjuang sendirian.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Roni masuk.

Dia baru pulang kerja, tapi ada aroma parfum wanita yang asing, manis dan berlebihan, menempel di tubuhnya, menembus indra penciumanku. Aroma itu bukan milikku.

"Siapa yang telepon?" tanyanya, melirikku sekilas.

Matanya sudah kembali ke layar ponselnya, jemari lincah menari di atas keyboard, seolah percakapan barusan tidak penting.

Aku menatapnya. Ingin sekali aku mengatakan siapa yang barusan menelepon, keinginan yang sudah lama tertahan. Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, ponsel Roni berdering.

Layar ponselnya menampilkan nama "Chika".

Seketika, suara centil Chika Purba memenuhi ruangan, tawa renyahnya terdengar jelas. "Makasih banyak ya, Pak Roni. Kucingku sudah jauh lebih baik sekarang. Pak Roni memang penyelamatku!"

Aku mendengar suara Chika, yang sengaja ditekan seolah sedang merajuk. Roni buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya, menekan tombol volume, dan berkata, "Nanti aku telepon lagi. Ya, Chika. Oke."

Dia berdeham canggung, lalu kembali menghadapku. Aku hanya diam. Berdebat lagi? Untuk apa? Semuanya sudah jelas.

Aku kembali melipat pakaianku, memasukkannya ke dalam koper besar yang tergeletak di lantai. Gerakanku tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Kemudian, aku beranjak ke dapur, mengambil gelas, dan membuatkan diriku secangkir teh herbal. Aroma mint dan lemon langsung menenangkan pikiranku.

Roni selesai menelepon. Dia duduk di sofa ruang tamu, mengambil majalah bisnis yang biasa dibacanya.

Dia meraih meja kopi, mencari-cari sesuatu. Tidak ada. Dia mengerutkan kening.

"Teh hangatku mana, Alea?" tanyanya, suaranya terdengar tidak sabar saat matanya melirikku.

Aku menelan ludah. "Aku cuma bikin untuk diriku sendiri," kataku datar.

Roni mendengus. "Kamu ini kenapa sih? Sejak kecelakaan itu, kamu jadi aneh. Kata terapisku, mungkin itu stres pasca trauma. Kamu harusnya bersyukur kamu selamat, bukannya malah menarik diri begini."

Aku menutup mata sejenak. Sudah kuduga dia akan berbicara seperti ini. Roni selalu begitu. Dia selalu punya alasan untuk segala hal, bahkan untuk mengabaikanku.

"Bersyukur?" tanyaku, suaraku terdengar serak. "Bagaimana aku bisa bersyukur, Roni? Aku hampir mati di jalan tol yang sepi itu. Kakiku terjepit, darah mengucur. Aku meneleponmu berkali-kali, tapi kamu mematikannya."

"Sudah kubilang, aku sedang rapat penting!" Roni membentak, matanya memancarkan kemarahan. "Rapat dengan investor! Apa kamu mau perusahaan kita hancur?!"

Aku hanya menatapnya kosong. Saat itu, aku percaya padanya. Aku benar-benar berpikir dia sedang rapat penting, hingga nyawaku sendiri tidak seberapa dibanding saham perusahaannya.

Kecelakaan itu... saat itu hujan sangat deras. Mobilku oleng, menabrak pembatas jalan. Kakiku terjepit, aku tidak bisa bergerak. Panik, aku menelepon Roni. Satu kali, dua kali, tiga kali. Tidak ada jawaban. Panggilan keempat, teleponnya mati. Aku mencoba lagi, tapi teleponnya sudah tidak aktif. Aku ingat bagaimana rasa takut itu merayapiku, bagaimana rasa sakit di kakiku terasa seperti disayat sembilu. Aku bertahan, terus mencoba menelepon orang lain, sampai akhirnya aku pingsan.

Aku baru tahu kebenarannya beberapa hari kemudian. Saat aku melihat postingan di Instagram Chika, di fitur 'Close Friend'. Sebuah foto tangan Roni yang memegang obat kucing, dengan caption manis, "Makasih Pak Bos selalu ada di saat genting."

"Rapat penting?" ulangku, suaraku nyaris tak terdengar. "Itu kamu bilang rapat penting? Menemani sekretarismu ke dokter hewan untuk kucingnya?"

Roni terdiam, wajahnya pias. Dia tidak bisa membantah.

"Kamu tahu, Roni," kataku, melipat sisa pakaian terakhirku. "Saat itu, aku sadar. Nyawaku tidak lebih berharga daripada kucing peliharaan selingkuhanmu."

Hening. Berat.

"Itu sebabnya aku mengajukan gugatan cerai," lanjutku, suaraku semakin mantap.

Roni tiba-tiba berdiri, wajahnya memerah. "Kamu masih saja membahas itu? Kamu pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja? Setelah semua pengorbananku untukmu?"

Dia melemparkan majalahnya ke meja, membuat suara keras.

"Pengorbanan?" Aku menggeleng pelan. "Aku sudah mengorbankan karierku demi membangun perusahaanmu. Aku yang mendesain semua proyek besar, Roni. Aku yang bekerja siang malam di balik layar. Aku yang mengurus semua detail sampai kamu bisa berdiri seperti sekarang."

"Kamu jangan egois, Alea! Kita bisa bicarakan ini baik-baik!" Roni mencoba meraih tanganku, tapi aku menghindar.

"Terlambat, Roni. Semua sudah terlambat."

Dia mengepalkan tangannya, menatapku dengan mata berapi-api. Dia tahu aku sudah memutuskan. Dia tahu aku tidak akan menyerah.

Roni membanting pintu kamarnya, membuat seluruh ruangan bergetar. Aku hanya memejamkan mata. Aku tidak peduli lagi. Aku tidak akan membiarkan kemarahannya menguasai diriku.

Dengan tenang, aku menyelesaikan tugasku. Aku memasukkan sikat gigi dan pasta gigi ke dalam tas kecil, meletakkannya di atas koper. Aku menyalakan lampu tidur, lalu merebahkan diri di tempat tidur.

Tiba-tiba, ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. Dari Roni.

"Alea, jemput aku sekarang. Aku ada di bar dekat kantor. Jangan lupa bawakan jas dan kunci mobilku."

Aku membaca pesan itu, amarahku kembali membuncah. Dia pikir aku masih istrinya yang akan menuruti semua perintahnya?

Beberapa detik kemudian, ponselku kembali berdering. Pesan lain dari Roni.

"Jemput sekarang, Alea! Aku sudah menunggu lama! Jangan membuatku menunggu, kamu tahu aku tidak suka menunggu! Ini kewajibanmu!"

Aku memejamkan mata, menghela napas panjang. Aku sangat lelah. Aku ingin tidur. Tapi aku tahu, jika aku tidak menjemputnya, dia akan mengamuk.

Dengan enggan, aku bangkit dari tempat tidur. Aku akan menjemputnya. Tapi ini adalah yang terakhir kali.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Gavin

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku