Dua belas tahun lamanya dalam pernikahan. Lami dan juga Deni tak di berikan momongan. Gunjingan keluarga, ketidaksukaan selalu memojokan Lami seorang diri. Lami, yang datang dari desa, menikah dengan Deni, selalu mendapat ujian yang berat. Pada suatu ketika, Lami di hadapkan kenyataan terberat, bahwa Deni- sang suami di berikan pilihan untuk me- madu. Hati Lami sakit. Namun, dia yang sebatang kara, tak bisa berbuat apapun. "Kamu tidak bisa memberikan anak saya keturunan. Jadi, izinkan Deni menikah lagi. Deni itu sudah tidak muda lagi, dia butuh keturunan, La. Kamu sebagai istri tidak boleh egois. Dua belas tahun pernikahan kalian itu sia - sia tanpa adanya seorang anak!" Hati Lami teremas mendengar kata Ibu mertuanya. Dia hanya diam, menunduk tak berani membantah apapun. Hal itu tentu membuat ibu mertuanya geram. "Pokoknya, kamu harus terima Deni memadu kamu. Ibu sudah memiliki calon untuk Deni, secepatnya Ibu akan memperkenalkan dengan Deni. Jadi, awas aja kalau kamu sampai melarang Deni!" Pernikahan dengan campur tangan keluarga sang suami. Lami, tak bisa mengutarakan apapun, karena sejak awal pernikahan, bibit ketidak sukaan sudah perlahan mulai tersemai. Lalu, apa yang harus Lami lakukan?
"Kamu tidak bisa memberikan anak saya keturunan. Jadi, izinkan Deni menikah lagi. Deni itu sudah tidak muda lagi, dia butuh keturunan, La. Kamu sebagai istri tidak boleh egois. Dua belas tahun pernikahan kalian itu sia - sia tanpa adanya seorang anak!"
Hati Lami teremas mendengar kata Ibu mertuanya. Dia hanya diam, menunduk tak berani membantah apapun. Hal itu tentu membuat ibu mertuanya geram.
"Pokoknya, kamu harus terima Deni memadu kamu. Ibu sudah memiliki calon untuk Deni, secepatnya Ibu akan memperkenalkan dengan Deni. Jadi, awas aja kalau kamu sampai melarang Deni!"
Pernikahan dengan campur tangan keluarga sang suami. Lami, tak bisa mengutarakan apapun, karena sejak awal pernikahan, bibit ketidak sukaan sudah perlahan mulai tersemai. Lalu, apa yang harus Lami lakukan?
Wanita itu hanya diam. Dia tak berdaya melakukan apapun, selain menuruti apa yang Ibu mertuanya katakan. Lami, dia tak berdaya.
Sepeninggalan sang mertua, Lami lalu terdiam. Bulir air matanya jatuh. Isakan mulai terdengar. Apakah sebuah pernikahan memang memiliki kepahitan, atau hanya Lami saja yang tersudut pada takdir yang pahit?
Matanya terpejam. Hatinya berdenyut. Semua ujaran mertuanya, memenuhi benaknya. Lantas, apa yang harus di lakukan? Yang hanya bisa dia lakukan, menerima, dan juga ikhlas. Dia tak berdaya untuk mengatakan tidak pada kehidupannya.
Ini lah Lami. Wanita yang penuh luka.
Bab 1 Prolog 💜
16/12/2021