Di balik penampilannya yang sederhana, Aria menyimpan tekad kuat untuk bertahan hidup meski bekerja di bawah tekanan seorang atasan kejam, Felicia, yang tak pernah lelah merendahkannya. Namun, hidupnya berubah saat ia bertemu dengan Adrian, pewaris muda kaya raya yang misterius. Adrian, dengan pesona dan kekayaannya, membawa Aria ke dunia yang jauh berbeda dari yang pernah ia kenal. Tapi kehadiran Adrian juga memicu kecemburuan dari Felicia, yang tidak hanya ingin menghancurkan karier Aria, tapi juga berambisi menguasai Adrian. Tetapi, ancaman dari masa lalu Adrian dan dendam orang-orang di sekitarnya tak henti-henti menghantui. Bisakah Aria melawan semuanya, atau justru tenggelam dalam permainan cinta dan kekuasaan?
"Aria, kamu yakin desain ini layak dipresentasikan? Jangan-jangan kamu cuma asal-asalan lagi?" Suara Felicia tajam seperti sembilu, memecah keheningan ruang rapat kecil yang pengap.
Mata Aria terangkat, bertemu dengan tatapan tajam Felicia yang membuatnya seolah ingin lenyap dari tempat itu. Tangannya gemetar saat menggenggam laporan desain yang baru saja ia susun dengan penuh usaha.
"Saya sudah menyesuaikan semua detail sesuai arahan Anda, Bu Felicia," jawabnya dengan suara pelan, berusaha menjaga ketenangannya.
Felicia mendengus, mengambil laporan dari tangan Aria, lalu melemparnya kembali ke meja dengan kasar. "Ini? Detail? Lihat warna ini-terlalu pucat! Dan font ini? Murahan! Kalau kamu tidak bisa membuat sesuatu yang profesional, kenapa kamu masih di sini?"
Ruangan itu hening, hanya diisi oleh napas tertahan beberapa rekan kerja Aria. Beberapa orang saling bertukar pandangan, menahan senyum geli, sementara yang lain pura-pura sibuk dengan laptop mereka, takut menjadi sasaran berikutnya.
Aria menundukkan kepala, mengepalkan tangannya di bawah meja untuk menahan amarah dan rasa malu. Kata-kata Felicia terus berulang di kepalanya seperti gema yang menyakitkan.
"Saya akan memperbaikinya, Bu," ujarnya akhirnya, meski ia tahu permintaan maaf atau janjinya tak akan pernah cukup di mata Felicia.
Felicia hanya melambaikan tangan dengan ekspresi muak. "Cepat lakukan! Jangan tunggu sampai klien melihat hasil kerja seburuk ini!"
Aria mengangguk patuh, lalu kembali ke mejanya dengan langkah berat.
Aria duduk di kursinya, menatap layar laptop yang masih terbuka. Jemarinya bergerak ragu di atas keyboard, mencoba mencari ide untuk memperbaiki desainnya. Namun pikirannya terus terganggu oleh suara Felicia yang menusuk.
"Kenapa selalu aku yang jadi sasaran?" pikir Aria, menahan napas panjang. Ia tahu pekerjaannya tidak sempurna, tapi ia merasa tak pernah diberi kesempatan untuk memperbaiki dirinya.
Beberapa rekan kerja melintas di belakangnya, sengaja melontarkan komentar sinis.
"Kasihan banget si Aria. Selalu kena semprot."
"Ya iyalah, hasil kerjanya biasa-biasa aja. Untung dia nggak langsung dipecat."
Aria tidak menanggapi. Ia hanya mengetatkan rahangnya, mencoba membiarkan semua kata-kata itu berlalu seperti angin. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia merasa terluka.
Sore itu, saat Aria hampir selesai mengerjakan revisi, sebuah notifikasi email masuk. Ia membuka pesan dari Felicia yang hanya berisi satu kalimat:
"Desain revisi harus selesai sebelum pukul 8 malam. Kalau tidak, kamu tahu risikonya."
Aria menahan napas, meremas tangannya di atas meja. Dengan waktu hanya tiga jam, menyelesaikan semua revisi itu nyaris mustahil. Namun ia tidak punya pilihan.
Ia mulai bekerja dengan penuh konsentrasi, jemarinya bergerak cepat di atas keyboard. Beberapa kali ia harus menghapus desainnya sendiri karena merasa belum cukup bagus. Pikirannya terus dihantui kemungkinan terburuk jika ia gagal memenuhi tenggat waktu.
Pukul delapan lewat lima menit, Aria berjalan tergesa-gesa menuju ruang kerja Felicia. Tumpukan kertas desain ada di tangannya. Di tengah perjalanan, ia menabrak seseorang di koridor.
"Maaf!" seru Aria panik, kertas-kertas di tangannya berserakan di lantai.
Pria yang ia tabrak jongkok untuk membantunya mengumpulkan kertas-kertas tersebut. Ia mengenakan jas hitam yang terlihat mahal, dengan rambut rapi dan wajah yang memancarkan aura percaya diri.
"Kamu baik-baik saja?" tanya pria itu dengan nada tenang, memandang Aria dengan tatapan penuh perhatian.
Aria tertegun, sedikit terkejut melihat senyum tipis di wajah pria itu. "Saya baik-baik saja. Terima kasih," jawabnya sambil merapikan kertas-kertasnya.
Pria itu menyerahkan kertas terakhir kepada Aria, lalu berdiri. "Hati-hati kalau jalan. Jangan terlalu sibuk sampai lupa lingkungan sekitar," katanya sebelum melangkah pergi.
Aria hanya bisa memandang punggungnya yang menjauh, bertanya-tanya siapa pria itu. Tapi ia tidak punya waktu untuk mencari tahu. Tugas penting sedang menunggunya.
Saat Aria akhirnya tiba di ruang kerja Felicia, ia disambut dengan tatapan sinis. "Delapan menit terlambat, Aria. Kamu benar-benar tidak punya komitmen, ya," kata Felicia dingin, matanya menyorot penuh kritik.
"Saya minta maaf, Bu. Saya sudah menyelesaikan revisinya," ujar Aria sambil menyerahkan desainnya.
Felicia meliriknya sekilas sebelum melemparkannya ke meja. "Saya akan memeriksanya nanti. Tapi jangan harap ini cukup bagus."
Aria menundukkan kepala, menahan rasa kecewa yang menyesakkan dadanya. Ia keluar dari ruangan itu dengan langkah lemah. Di dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya apakah semua usahanya benar-benar berarti.
Malam itu, Aria tetap di mejanya hingga larut. Lampu kantor sudah banyak yang dimatikan, menyisakan hanya cahaya redup dari layar laptopnya. Ia mengetik dengan lambat, mencoba menyelesaikan revisi lain yang diberikan Felicia beberapa hari sebelumnya.
Namun, pikirannya terus melayang. Ia memikirkan hidupnya yang terasa semakin berat. Tuntutan kerja, tekanan dari atasan, dan rasa tidak dihargai membuatnya merasa terjebak.
"Kenapa aku terus bertahan di sini?" gumamnya pelan, menatap layar kosong di depannya.
Di kejauhan, pria yang ia tabrak sebelumnya berdiri di balik pintu kaca, memperhatikannya dalam diam. Matanya menyiratkan rasa ingin tahu, seolah mencoba memahami siapa wanita yang tampak rapuh tetapi penuh semangat itu.
"Siapa dia?" gumam pria itu pada dirinya sendiri. Setelah beberapa saat, ia berbalik dan pergi, meninggalkan bayangan panjang di koridor yang sepi.
Aria akhirnya menyandarkan kepalanya di meja, tubuhnya terasa lelah. Ia tahu bahwa kehidupan sebagai karyawan biasa di perusahaan besar ini tidak pernah mudah. Namun, ia tak pernah menyangka bahwa beban ini akan begitu menghancurkan.
Di luar sana, sesuatu sedang bergerak. Sebuah perubahan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya mulai mendekat. Ia hanya belum menyadari bahwa malam ini akan menjadi awal dari cerita yang jauh lebih besar dari sekadar pekerjaannya sebagai desainer kecil.
"Aku harus kuat," gumamnya.
Buku lain oleh Nenghally
Selebihnya