awas 21+ "Emmhh ... Nikmat Mas ...!" "Sstt ... pelan-pelan, nanti kakakmu dengar," Arga tak pernah mengira, perhatian sederhana Rani, ipar yang selalu ia anggap seperti adik sendiri, bisa berubah menjadi sesuatu yang membuat jantungnya berdebar. Rani pun tak mampu menepis kenyataan, kehadiran Arga perlahan mengguncang pertahanannya. Di balik senyum dan kebersamaan keluarga, keduanya memendam api yang tak terpadamkan. Akankah mereka mampu bertahan menghadapi godaan, atau justru menyerah dan menghancurkan segalanya? Sebuah cerita penuh hasrat, dosa, dan keputusan yang mengubah hidup.
Arga berjalan masuk ke rumah dengan langkah lelah. Jam di dinding ruang tamu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Rumah terasa sepi, lampu-lampu sebagian besar telah dimatikan. Ia berpikir semua orang pasti sudah tidur.
Namun, langkahnya terhenti ketika melihat cahaya remang dari arah dapur. Dia berjalan mendekat, menemukan seorang perempuan berdiri di depan wastafel, mencuci tangan dengan gerakan pelan. Tubuhnya ramping, rambutnya tergerai. Arga tersenyum kecil. Ia mengira itu istrinya.
Tanpa berpikir panjang, ia mendekat dan memeluk perempuan itu dari belakang.
"Sayang, masih bangun?" bisiknya lembut.
Namun, tubuh di pelukannya menegang seketika. Perempuan itu berbalik, dan seketika wajahnya tersentak. Itu bukan istrinya. Itu Rani, adik iparnya.
"Mas Arga?" suara Rani terdengar pelan, namun sarat keterkejutan.
Arga segera melepaskan pelukannya, langkahnya mundur canggung. "Rani? Maaf... aku pikir kamu..." Ucapannya menggantung di udara. Wajahnya memerah, entah karena malu atau kaget.
"Enggak apa-apa, Mas," jawab Rani dengan senyum kaku, meski pipinya ikut bersemu. Suasana jadi canggung. Keduanya hanya berdiri di sana, saling menatap dalam keheningan yang tiba-tiba terasa berat.
Arga menggaruk tengkuknya, bingung harus berkata apa. Situasi ini terlalu aneh, dan dia merasa bodoh karena refleks tadi.
"Ngapain masih di dapur malam-malam?" tanyanya akhirnya, mencoba mencairkan suasana.
Rani menunduk sambil mengeringkan tangannya dengan lap kain. "Tadi aku haus, Mas. Mau ambil air, sekalian cuci tangan."
Arga mengangguk pelan, tetapi matanya tak bisa lepas dari wajah Rani. Dia mencoba mengalihkan pandangannya ke wastafel, ke gelas di tangan Rani, ke mana saja selain ke adik iparnya itu. Namun, wangi samar dari sabun yang dipakai Rani terasa begitu menyengat-mengganggu pikirannya.
"Kamu... ngapain pulang malam banget, Mas? Mbak udah tidur dari tadi," tanya Rani, nada suaranya lembut, tapi ada sedikit gugup di sana.
Arga menghela napas. "Kerjaan, biasa. Banyak yang harus diselesaikan." Dia melirik pintu kamar di ujung lorong. "Istriku udah tidur?" tanyanya sambil mencoba mengakhiri pembicaraan.
Rani mengangguk kecil. "Iya, mungkin capek juga. Tapi, Mas... tadi peluk aku kenapa?" tanya Rani tiba-tiba, tanpa jeda.
Arga membelalakkan mata. Pertanyaan itu seperti petir di malam tenang. "Aku-aku kira kamu istri aku..." katanya tergagap. "Maaf, enggak sengaja."
Rani tersenyum kecil, samar. Tapi di balik senyuman itu, ada sesuatu di matanya yang sulit diterjemahkan. "Mas Arga, kalau aku bilang aku enggak keberatan tadi, Mas bakal gimana?" tanyanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Arga terdiam. Kata-kata itu membuat dadanya bergetar, tapi juga memunculkan rasa bersalah yang dalam. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Rani masih berdiri di sana, memandangnya, menunggu reaksinya.
"Rani... kita enggak boleh ngomong kayak gitu," jawabnya akhirnya, suaranya pelan namun tegas. "Aku kakak ipar kamu. Kamu tahu ini salah, kan?"
Rani menunduk lagi, tersenyum getir. "Aku tahu, Mas. Maaf kalau aku lancang."
Tanpa menunggu jawaban, Rani mengambil gelasnya dan melangkah pergi, meninggalkan Arga dengan perasaan kacau yang sulit dijelaskan. Dia hanya bisa berdiri di sana, menatap bayangan adik iparnya yang menjauh, sambil bertanya-tanya apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam hatinya.
Malam itu, Arga sulit memejamkan mata. Ia berbaring di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamar. Wajah Rani terus muncul di benaknya, bersama pertanyaan terakhir yang masih menggema di pikirannya.
"Kalau aku bilang aku enggak keberatan tadi, Mas bakal gimana?"
Pertanyaan itu bukan hanya mengejutkan, tapi juga menimbulkan perasaan yang tak seharusnya ada. Arga menggigit bibirnya, mencoba mengusir pikiran itu. Dia menoleh ke istrinya yang tidur nyenyak di sampingnya. Perasaan bersalah mulai menyelimuti hatinya.
Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa canggung. Rani sedang menyiapkan sarapan, sementara istrinya duduk santai sambil membaca pesan di ponselnya.
"Mas Arga, kopinya," ucap Rani lembut, meletakkan secangkir kopi di depannya.
Arga menegakkan duduknya, mencoba bersikap biasa. "Makasih."
Namun, saat jemari mereka tak sengaja bersentuhan, Arga merasakan ada sesuatu-seperti aliran listrik yang membuatnya mendadak salah tingkah. Dia buru-buru menarik tangannya, sementara Rani hanya tersenyum kecil.
Istrinya, yang tak menyadari apa pun, melirik Arga sambil berkata santai, "Rani itu perhatian banget, ya? Untung ada dia di rumah. Kalau enggak, aku pasti repot ngurus semuanya."
Arga hanya tersenyum tipis, tak berani menatap Rani lagi. Namun, dia bisa merasakan tatapan lembut dari adik iparnya itu. Ada sesuatu di antara mereka-sesuatu yang tak pernah direncanakan, tapi kini mulai tumbuh tanpa bisa dihentikan.
Saat istrinya kembali sibuk dengan ponselnya, Rani berbisik pelan sambil menaruh piring lain di meja.
"Mas, semalam... maafin aku ya, kalau ucapanku bikin Mas enggak nyaman."
Arga menoleh sekilas, lalu buru-buru menunduk. "Enggak apa-apa. Lupakan aja, Rani."
Namun, mereka berdua tahu, melupakan bukanlah hal yang mudah. Apalagi ketika mereka terus berada di bawah atap yang sama.
Arga sedang mengenakan dasinya di depan cermin ketika Ayu, istrinya, masuk ke kamar sambil membawa secangkir teh.
"Mas, aku udah ngomong sama Rani. Mulai hari ini, dia bakal tinggal di sini," ujar Ayu santai sambil duduk di sisi ranjang.
Gerakan tangan Arga terhenti. Dia menatap Ayu melalui pantulan cermin dengan alis terangkat. "Tunggu... apa?"
Ayu tersenyum, seolah berita itu adalah hal biasa. "Iya, Mas. Aku kasihan lihat dia. Dia kan lagi butuh tempat tinggal sementara, apalagi sekarang dia sibuk cari kerja. Aku pikir, enggak ada salahnya dia tinggal di sini."
Arga berbalik, masih memegang dasinya yang belum terikat rapi. "Tapi kenapa enggak ngomong dulu sama aku? Ini rumah kita, Ayu, keputusan kayak gitu harusnya kita bicarain bareng."
Ayu mengerutkan dahi. "Aku pikir Mas enggak bakal masalah. Dia adikku sendiri, Mas. Lagi pula, bukannya selama ini Mas baik-baik aja sama dia?"
Arga terdiam, mencari kata-kata yang tepat. "Bukan soal itu, Ayu. Aku cuma... kaget aja."
Ayu menghela napas sambil memegang tangan Arga. "Mas, aku tahu kamu capek. Tapi, tolong ngerti ya, Rani itu enggak punya tempat lain. Lagian, dia juga bantu-bantu aku di rumah. Beban kita malah jadi lebih ringan."
Arga menelan ludah, pikirannya mendadak kacau. Bagaimana tidak? Setelah kejadian di dapur malam itu, ia merasa hubungan mereka jadi canggung. Dan sekarang, Rani akan tinggal di rumah mereka-setiap hari, setiap malam.
Ayu berdiri dan mencium pipi Arga. "Mas, tenang aja. Rani enggak bakal merepotkan. Aku yakin ini keputusan terbaik."
Sebelum Arga bisa berkata apa-apa lagi, Ayu sudah keluar dari kamar. Dia terduduk di tepi ranjang, menatap dasinya yang kini terasa seperti belenggu di tangannya.
"Mulai hari ini..." gumamnya pelan. Pikiran itu menghantam keras. Bagaimana ia akan menjalani hari-hari dengan Rani berada begitu dekat, sementara ia sendiri berjuang untuk mengabaikan perasaan yang mulai menguasai hatinya?
Bab 1 1
13/01/2025
Buku lain oleh Penulis Gabut
Selebihnya