Kamari terjebak pada cinta pertamanya, seorang pemuda tampan yang menjadi tetangga sekaligus teman dikala dirinya bosan di rumah. Namun siapa sangka, cintanya harus kandas karena Sang Pemuda memilih untuk menikah dengan pilihan orangtuanya. Beberapa tahun berpisah, namun perasaan Kamari tidak pernah berubah, dan kini dia dipertemukan kembali dengan Sang Cinta Pertama dalam keadaan yang berbeda. Apa yang terjadi dengan kehidupan Kamari setelah menyadari bahwa pernyataannya untuk menunggu Sang Pemuda hingga menjadi Duda akhirnya terwujud? Bagaimana reaksi Kamari yang dulu mengejar Sang Pemuda, saat menyadari kini dirinya yang sedang di kejar-kejar?
Ruang pameran tumpah ruah oleh para pengunjung. Maket-maket Gedung bertingkat hingga cluster-cluster perumahan dari berbagai perusahan pengembang raksasa, dengan berbagai tingkatan harga, dipajang dan dipamerkan. Setiap harinya, transaksi besar terjadi di sini.
Di tengah kesibukan orang-orang dalam pameran, seorang SPG berseragam biru menjelaskan dengan detil tentang cluster hunian minimalis modern dari salah satu pengembang property bonafied, berbekal brosur yang dipegangnya kepada dua pengunjung laki-laki. Mereka banyak bertanya, dan SPG itu menjelaskan semampunya.
"Cluster hunian ini di-design untuk generasi muda yang ingin berinvestasi pada property, dengan design modern minimalis, namun sudah dilengkapi dengan kitchen set. Keluarga muda yang banyak menghabiskan waktu di luar rumah akan sangat cocok dengan konsep cluster ini."
"Tapi harganya cukup mahal." Salah satu laki-laki berpakaian hitam menyela.
Si SPG mengangguk sambil tersenyum. "Dengan harga 700 jutaan, sangat layak mendapatkan hunian baru dengan konsep cluster. Lokasinya juga sangat dekat dengan akses jalan tol."
Satu laki-laki lain berkemeja putih berdehem. "Kalau tinggalnya sama kamu, Abang mau, Dik."
"Ah, terima kasih, Abang. Bagaimana dengan huniannya? Ada tertarik untuk membeli?"
Satu kertas kecil diselipkan pada tangan si SPG oleh laki-laki berkemeja putih sambil mengedipkan sebelah mata. "Tentu saja, 700 juta kecil untukku. Itu nomor ponsel Abang, kabari kalau bisa jalan barengan kamu, ya?"
Masih dengan senyum tersungging, si SPG mengantar dua laki-laki itu ke bagian penjualan dan ia kembali berdiri di dekat maket perumahan yang dipamerkan. Shiftnya masih satu jam lagi, tidak boleh lelah untuk tetap tersenyum.
Banyak pengunjung yang sekadar bertanya, melihat-Iihat, atau benar-benar membeli, ia harus siap melayani. Senyum ramah, sikap sopan, dan penjelasan yang teliti diperlukan untuk pekerjaan ini. Tidak boleh ada kata lelah demi uang yang layak.
Untuk saat ini, tidak ada yang perlu ia utamakan selain mendapatkan tambahan uang lebih banyak lagi. Di usianya yang masih muda, Ia harus membayar biaya kuliah lanjutannya, biaya obat neneknya dan banyak lagi.
Saat jam kerja berakhir, ia terburu-buru beranjak ke ruang ganti. Di sana sudah ada beberapa SPG lainnya yang sedang merapikan riasan. Ada yang sudah berganti dengan pakaian lain, karena memang shift-nya telah usai. Wangi aroma parfum memenuhi ruangan ganti untuk para SPG itu.
"Kamari, kamu pulang naik apa?"
Kamari menoleh sekilas pada gadis dengan tinggi tubuh 170 cm berambut sebahu. "Biasa, ojek. Napa? Kamu mau nebengin aku?" Tanpa menoleh ia menjawab, tangannya masih sibuk mengemasi barang-barangnya ke dalam tas ransel miliknya.
Gadis itu mengangguk. "Ayo, mobil aku kosong. Sekalian kita cari makan ya." Antusian mengajak rekan sekaligus sahabatnya untuk menghabiskan waktu malam mereka.
"Balqis, jangan tinggalin aku. Ikut juga, dong." Kali ini, gadis dengan lesung pipi di kedua sisi pipinya, menyela percakapan sambil menyenggolkan pundaknya pada gadis yang dipanggil Balqis.
"Ikut-ikutan aja kamu!" Balqis mencubit dagu perempuan itu.
"Biarin, aku memang maunya pulang sama kalian!"
Gadis berlesung pip itu bernama Vasthi, sedangkan yang berambut sebahu itu Balqis. Tubuh keduanya sama tinggi dan langsingnya dengan Kamari. Jika tidak sedang menggunkan seragan SPG, mereka lebih terlihat seperti model catwalk. Cantik, langsing dan dengan tinggi yang proposional.
Kamari mengenal mereka saat sama-sama mendaftar di Program Pascasarjana Manajemen. Merasa cocok satu sama lain, mereka berteman dan kebetulan Sella juga sudah terbiasa untuk mencari biaya sendiri untuk memenuhi gaya hidupnya. Ketiganya saling bertukar informasi soal pekerjaan, meskipun Balqis sendiri hanya ikut-ikutan saja dengan kedua temannya.
Balqis termasuk dari keluarga mampu, menjadi SPG untuk mengisi kekosongan sekaligus bermain dengan kedua temannya. Jam kerjanya berbeda dengan Kamari yang seharian, gadis itu hanya mengambil satu shift, sekitar empat jam. Begitu pula Vasthi. Hanya Kamari yang mengambil waktu penuh karena butuh uang.
"Kalian dapat apa malam ini?" tanya Balqis saat mereka bertiga melangkah menyeberangi lobi Convention Center Mall. "Aku dapat tante-tante sosialita, sanggul dan sasaknya udah setinggi harapan orangtua, belum lagi tentengannya, yang seharga sama dengan apertemen yang aku tawarkan. Sepertinya dia mencari hunian private, antara memilih apartemen atau cluster one gate. Aku sampe bingung jawabnya."
Vasthi menjawab cepat. "Aku dapat kakek tua dengan dandanan perlente, yang bilang kalau cucunya tampan dan mapan."
"Trus?"
"Ngasih nomor ponsel cucunya. Minta aku untuk menelepon dan memberikan penawaran apartemen ke cucunya."
"Hati-hati, jangan-jangan itu nomor ponsel kakek itu sendiri. Ngakunya aja kalau punya cucunya," ucap Kamari sambil berusaha menahan tawanya yang ingin keluar.
"Eh, aku kok juga ngerasa gitu!" Vasthi mencebik. "Sirnah, deh, impian aku punya pacar kaya dan ganteng. Padahal tadi sudah sempat menghayal jadi mantu orang kaya."
Balqis menyikut pinggang Kamari. "Kamu sendiri gimana?"
Kamari mengangkat bahu. "Dua laki-laki, yang akhirnya jadi beli 1 unit hunian di cluster baru setelah sebelumnya maksa aku buat manggil, Abang. Aku jadi ngerasa seperti manggil Abang Bakso, iya nggak sih?"
Mereka bertiga saling tatap lalu tertawa bersamaan. Selalu ada hal lucu untuk diceritakan setiap kali selesai bekerja.
"Abang bakso, mau dong ditambahin kuahnya. Eh, gimana?" Vasthi berucap centil sambil menirukan gaya anak-anak.
"Dicabein mau nggak?" Balqis mengusulkan.
"Ups, sorry. Di sini udah ada ratu cabe-cabeaan, Kamariii!"
"Aku ratu cabe-cabean, kalau kamu apaan, Vasthi?"
"Aku, ratu sejagad!" Vasthi menjawab sambil mengibaskan rambut ke belakang.
"Jagad lelembut?" celetuk Balqis tak mau kalah.
Mereka kembali tertawa dan terhenti saat melihat sosok pemuda di dekat mobil Jazz merah milik Balqis. Mereka mengenali pemuda itu bernama Nata. Salah satu pemuda tampan dan cerdas, yang tergila-gila dengan Balqis sejak awal perkuliahan. Keduanya terlibat pada hubungan pertemanan yang aneh, berteman namun perhatian dan Bahasa tubuhnya menunjukkan lebih dari sekedar teman.
"Hai, kalian mau naik mobil aku nggak?" Nata menyapa riang.
"Mobil baru?" tanya Balqis.
"Iya, Sayang. Baru beli, hasil nabung selama 4 tahun. Yuk! Vasthi dan Kamari juga ikut."
"Trus, mobil aku diapain?" tanya Balqis sambil menatap nanar mobilnya.
"Tenang aja, ada teman aku nih. Nanti dia yang akan bawa mobil kamu ke rumah." Nata bersiul kecil, datang dua pemuda sebaya mereka, berjalan ke arah mereka dengan menenteng plastik berisi gorengan yang terlihat masih hangat. "Eh, kalian tolong bawa mobil Balqis ke rumahnya. Tunggu aku di sana."
Balqis menyerahkan kunci mobil dan mengikuti Nata menuju mobil baru milik pemuda itu. Sebuah SUV hitam bergaya sporty model terbaru yang harganya bisa mencapai empat ratus jutaan. Kamari masuk ke jok belakang bersama Vasthi dan berdecak.
"Wow, interior yang bagus. Aku bingung sama orang-orang yang bisa beli mobil mahal semudah membalikkan telapak tangan. Sebenarnya, mereka itu kerjanya ngapain, sih?"
"Ngepet sih aku tebak. Kalau nggak ya pesugihan piara tuyul," jawab Balqis asal.
Vasthi mencolek punggung Balqis. "Pesugihan itu dosa, tahu. Sama saja dengan bersekutu dengan setan." Jawaban yang sangat serius dari seorang Vasthi yang lugu.
"Oh, yang nggak dosa apaan?" Tanya Balqis masih dengan gaya santainya.
"Nggak tahu, deh," ucap Vasthi. "Nata, bokap kamu kerja apaa?" tanya Vasthi polos.
Nata tersenyum dari balik kemudi, melirik ke belakang melalui spion tengah. "Hanya pengusaha biasa. Bukan konlomerat kok, Vash."
Vasthi mengangguk. "Nah kan, aku bilang juga apa, Qis. Camer kamu itu pengusaha, bukan ngepet atau pesugihan!"
"Siapa coba yang mau kawin sama Nata?" Balqis mencebik. "Aku, sih, ogah!"
"Yah, aku tertolak lagi," gumam Nata. "Gini amat jadi laki-laki. Serba salah." Ia melontarkan kalimat dengan nada menggoda yang jebaka pada Balqis.
"Kamu, sih, jadi laki-laki, Nat. Coba kalau kamu itu perempuan, bisa jadi bestiee kita," celetuk Kamari.
"Emangnya sekarang kita kurang bestiee kayak gimana, Kamari. Kamu ihh... udah nuang cuka ke luka aku. Sakiit!" Kembali Nata melontarkan lelucon dengan gayanya yang tengil.
Balqis mencubit pinggang Nata, disusul Kamari dan Vasthi. Malam itu terjadi pengeroyokan yang tidak seimbang antara satu laki-laki melawan tiga perempuan, yang berakhir dengan mereka makan bersama pecel lele di warung tenda.
Buku lain oleh LucioLucas
Selebihnya