/0/24784/coverorgin.jpg?v=2f8224f0742e71367de30d7f48d128c9&imageMogr2/format/webp)
"Kamu gimana sih? Aku nyuruh kamu kerja tapi nggak di perusahaan tempat aku kerja juga. Kamu udah nggak waras ya? Nggak punya otak atau gimana?"
Laras mengerutkan kening usai mendengar ucapan suaminya. "Mas, nyari kerja zaman sekarang itu susah. Lagi pula kenapa emang kalau kita satu kantor? Bukannya malah bagus, kita bisa berangkat sama-sama? Itung-itung hemat biaya, Mas," ucap Laras, ikut protes.
"Apa kamu bilang?" Reza semakin dibuat jengkel. "Jadi maksud kamu, kamu mau ngenalin diri kamu ke teman-teman kantor aku? Kamu bakal datang ke sana dan bilang kalau kamu itu istri aku? Yang bener ajalah, Ras. Udah sinting kali kamu."
"Mas! Sebenarnya mau kamu apa sih? Kamu mau nyuruh aku kerja biar ekonomi kita semakin membaik atau biar kamu bisa bebas? Kata-kata kamu udah nggak masuk akal, Mas. Kamu sadar nggak sih?"
"Halah! Udah deh, Ras, jangan ngajakin ribut mulu." Reza mengibaskan tangan di depan wajah istrinya. "Lebih baik kamu cari kerja lain aja. Kalau kamu nggak mau juga cari yang lain, kalau gitu masuk ke sana tapi jangan kasih tahu sama siapa-siapa kalau kamu itu istri aku. Pokoknya anggap aja kita nggak kenal. Kamu ngerti?"
Laras tercengang tidak habis pikir dengan ucapan suaminya tadi. Perempuan berambut panjang itu menyugar rambutnya begitu kasar, untuk menepis segala kekesalan yang sudah membuncah bak lava dalam dada. Bagaimana bisa suami yang menikahinya enam bulan lalu tega berkata demikian? Apa sebenarnya Reza menyesal telah menikahi Larasati Abania si putri petani dari desa kecil pinggiran kota itu?
"Mas! Kamu malu sama aku?" tanya Laras kala Reza akan beranjak dari hadapannya.
"Menurut kamu? Jangan bodoh deh jadi orang. Mana ada laki-laki yang mau sama kamu, buluk gini! Mending nggak sama sekali," cela Reza menjawab. Tidak punya hati.
"Lalu apa gunanya pernikahan ini, Mas? Kenapa kamu masih bertahan di atas pernikahan kita yang mana kamu sendiri nggak suka sama aku?"
"Ya karena aku masih butuh kamu. Mahar yang aku kasih ke kamu ya harus balik dulu baru aku lepasin kamu. Kalau masih belum balik, mana bisa aku minta lagi kalau udah cerai. Capek yang ada harus ngejar kamu ke kampung. Duh... ribet!" ungkapnya tanpa beban. Wajah yang begitu kentara akan ketidaksukaan itu benar-benar tercetak jelas pada garis rahang Reza.
Usai pria itu melenggang pergi, Laras pun tak kuasa membendung air matanya. Dia sudah terlalu banyak memendam luka. Bahkan rasanya hatinya sudah tidak cukup untuk menyimpan semua kepedihan yang dia rasakan. Apa harus Laras yang menyerah agar semua ini berakhir? Tapi bagaimana dengan orangtuanya di kampung? Akan sangat sedih jika mengetahui keadaannya di kota besar ini. Apalagi harus mengatakan tentang perceraian, mungkin kedua orang tua itu akan jatuh sakit memikirkannya.
**
"Eh, Ras! Kok malah bengong sih? Lagi liatin apa?" Si empunya nama tersentak kala teman satu meja dengannya memukul pundaknya ringan. Laras buru-buru membuang pandangan saat Leli ikut menatap.
"Emang aku ngelamun? Kayaknya nggak?" kilah Laras berusaha menyembunyikan kesedihan.
"Oh ... kamu lagi liatin Pak Reza ya?" ujar Leli tidak menanggapi ucapan Laras.
"Ah? Ah ... nggak kok. Nggak lagi liatin siapa-siapa," jawabnya memaksakan tersenyum.
Leli ikut memutar balik badannya lalu bersandar di dinding kaca transparan sambil memangku tangan. "Bukan Cuma kamu aja kok Ras yang suka liatin pak Reza, kadang aku juga suka, Buk Nia juga. Pak Reza itu orangnya baik dan ramah, ganteng pula. Perempuan mana coba yang nggak tertarik sama dia? Pasti kamu juga suka, 'kan liat wajahnya yang adem?" ungkap Leli mengutarakan segala tentang pesona Reza.
Yang mana kata-kata itu semakin saja menusuk dalam relung hati Laras. Belum lagi dia harus melihat setiap hari suaminya itu di goda oleh perempuan-perempuan yang berbeda. Juga tadi, saat Leli memergoki Laras memandangi Reza yang sedang duduk berduaaan dengan Nia, selaku pengawas mereka. Hal mana lagi yang membuat Laras tetap mempertahankan pernikahannya ini?
"Emang Pak Reza sepopuler itu ya di sini?" pancing Laras, ingin tahu lebih banyak.
/0/16544/coverorgin.jpg?v=7ea7dd48749ca27f4d07d1e89ed37657&imageMogr2/format/webp)
/0/3058/coverorgin.jpg?v=501a380751715c5bad8393c43ad5509a&imageMogr2/format/webp)
/0/16096/coverorgin.jpg?v=15c0e24c8a7ad12a41541555859cb02b&imageMogr2/format/webp)
/0/4822/coverorgin.jpg?v=e9d510ef16f7e302a138846ffa26a335&imageMogr2/format/webp)
/0/10104/coverorgin.jpg?v=8e3d277fbf390d46b876f25adf010ff8&imageMogr2/format/webp)
/0/14988/coverorgin.jpg?v=96649f24eccea481859106330c8752d3&imageMogr2/format/webp)
/0/8081/coverorgin.jpg?v=65a4e1417a8c0bbadf2c2c66896ae835&imageMogr2/format/webp)
/0/5579/coverorgin.jpg?v=8451cc3231d03f5ae1bfcd5aa5500814&imageMogr2/format/webp)
/0/17244/coverorgin.jpg?v=410d268298fe64fbe66826b65da25921&imageMogr2/format/webp)
/0/3258/coverorgin.jpg?v=5fb6465f89cc6c5a46aff9806f1bba29&imageMogr2/format/webp)
/0/6833/coverorgin.jpg?v=99b4abed11a2b5d9895003010bbd8ce3&imageMogr2/format/webp)
/0/12963/coverorgin.jpg?v=308a6ac4b11d4165816f683b8ae466c6&imageMogr2/format/webp)
/0/16206/coverorgin.jpg?v=ed702fe70aa194a1bbb981fbacd27172&imageMogr2/format/webp)
/0/19612/coverorgin.jpg?v=5187ca0f2af6e2fcadc47cb51eb7c409&imageMogr2/format/webp)
/0/19703/coverorgin.jpg?v=86ab5b943739c7e60385623ce1999541&imageMogr2/format/webp)
/0/2975/coverorgin.jpg?v=433628d83c5268e035b62c0c0566d777&imageMogr2/format/webp)
/0/2319/coverorgin.jpg?v=f48cfc372903c56157fecd1b59756e50&imageMogr2/format/webp)
/0/3761/coverorgin.jpg?v=053c837d844ca1c9c4b5a40b04fbaad6&imageMogr2/format/webp)
/0/2909/coverorgin.jpg?v=2e3b0afd87e859fbfb81124480f67c1d&imageMogr2/format/webp)