Kamari terjebak pada cinta pertamanya, seorang pemuda tampan yang menjadi tetangga sekaligus teman dikala dirinya bosan di rumah. Namun siapa sangka, cintanya harus kandas karena Sang Pemuda memilih untuk menikah dengan pilihan orangtuanya. Beberapa tahun berpisah, namun perasaan Kamari tidak pernah berubah, dan kini dia dipertemukan kembali dengan Sang Cinta Pertama dalam keadaan yang berbeda. Apa yang terjadi dengan kehidupan Kamari setelah menyadari bahwa pernyataannya untuk menunggu Sang Pemuda hingga menjadi Duda akhirnya terwujud? Bagaimana reaksi Kamari yang dulu mengejar Sang Pemuda, saat menyadari kini dirinya yang sedang di kejar-kejar?
Ruang pameran penuh sesak oleh pengunjung yang datang dari berbagai kalangan. Mobil-mobil mewah dari berbagai merek, tipe, dan tingkatan harga berjejer rapi, memamerkan kilau cat dan teknologi terkini. Di setiap sudut, pengunjung tampak serius mengamati, sebagian sibuk mencoba kursi pengemudi, sementara yang lain berdiskusi dengan rekan atau keluarga. Transaksi bernilai besar terjadi hampir setiap hari, menjadikan pameran ini salah satu yang paling ditunggu di kota.
Di tengah keramaian itu, seorang Sales Promotion Girl (SPG) berseragam biru berdiri di dekat salah satu mobil yang menjadi pusat perhatian. Dengan senyuman ramah, ia menjelaskan fitur-fitur unggulan kendaraan kepada dua pria yang tampak antusias. Mereka melontarkan banyak pertanyaan, mulai dari spesifikasi mesin hingga fitur keselamatan.
Meski suaranya harus bersaing dengan kebisingan pameran, SPG itu tetap menjawab dengan tenang dan penuh keyakinan, memastikan setiap informasi tersampaikan dengan jelas.
"Mobil sedan ini didesain lebih sporty, dengan paddle shift khas mobil balap. Para pria pasti suka dengan kendaraan ini. Mesin juga bertenaga."
"Tapi harganya cukup rnahal." Salah satu laki-laki berpakaian hitam menyela.
Si SPG mengangguk sambil tersenyum. "Dengan harga 300 jutaan, sangat layak mendapatkan sedan segmen C. Bisa untuk bekerja sekaligus bergaya."
Satu laki-laki Iain berkemeja putih berdehem. "Kalau bergaya sama kamu, Abang mau, Dik."
"Ah, terima kasih, Abang. Bagaimana dengan kendaraannya? Ada tertarik untuk membeli?"
Satu kertas kecil diselipkan pada tangan si SPG oleh laki-laki berkemeja putih sambil mengedipkan sebelah mata.
"Tentu saja, 300juta kecil untukku. Itu nomor ponsel Abang, kabari kalau bisa jalan barengan karnu, ya?"
Masih dengan senyum tersungging, si SPG mengantar dua laki-laki itu ke bagian penjualan dan ia kembali berdiri di dekat kendaraan yang dipamerkan. Shiftnya masih satu jam lagi, tidak boleh lelah untuk tetap tersenyum.
Setiap hari, pameran mobil dipenuhi berbagai jenis pengunjung-dari yang sekadar bertanya, melihat-lihat, hingga yang benar-benar berniat membeli. Sebagai seorang SPG, ia harus siap melayani mereka semua dengan senyum ramah dan sikap sopan. Pengetahuan mendalam tentang produk yang ia tawarkan menjadi hal yang wajib, karena setiap pertanyaan harus dijawab dengan teliti dan meyakinkan. Tidak ada ruang untuk kelelahan, karena pekerjaan ini bukan hanya tentang mendapatkan uang, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak terhitung banyaknya-biaya kuliah yang harus dibayar, obat untuk nenek tercinta yang sakit, dan berbagai tagihan lainnya.
Saat jam kerja akhirnya berakhir, ia merasa tubuhnya lelah, tetapi tanggung jawab tetap membebaninya. Dengan cepat, ia menuju ruang ganti. Beberapa rekan SPG sudah ada di sana, sibuk merapikan riasan wajah mereka setelah seharian bekerja. Ruang itu terasa seperti tempat berlindung, meski hanya sementara. Ia menarik napas panjang, bersyukur hari itu telah berakhir, namun di dalam hatinya, ia tahu esok akan membawa rutinitas yang sama.
"Kamari, kamu pulang naik apa?"
Kamari menoleh pada gadis dengan tinggi tubuh 165 cm berambut coklat. "Biasa, ojek. Napa? Kamu mau nebengin aku?"
Gadis itu mengangguk. "Ayo, mobil aku kosong."
"Balqis, jangan tinggalin aku. Ikut juga."
Kali ini, gadis dengan tahi lalat di dagu, menyela percakapan.
"Ikutan aja kamu!" Balqis mencubit dagu cewek itu.
"Biarin, aku maunya pulang sama kalian!"
Gadis bertahi lalat itu bernama Vasthi, sedangkan yang berambut coklat itu Balqis. Kamari mengenal mereka saat sama-sama menjadi SPG di sebuah event fashion. Merasa cocok satu sama lain, mereka berteman dan saling bertukar informasi soal pekerjaan.
Balqis termasuk dari keluarga mampu, menjadi SPG untuk mengisi kekosongan. Jam kerjanya berbeda dengan Kamari yang seharian, gadis itu hanya mengambil satu shift, sekitar empat jam. Begitu pula Vasthi. Hanya Kamari yang mengambil waktu penuh karena butuh uang.
"Kalian dapat apa malam ini?" tanya Balqis saat mereka bertiga melangkah menyeberangi lobi. "Aku dapat tante-tante garang, berambut cepak, dengan celana dan kemeja merek Gucci. Berkali-kali tanya, antara rnobil dan kesetaraan gender. Aku ampe bingung jawabnya."
Vasthi menjawab cepat. "Aku dapat kakek tua yang bilang kalau cucunya tampan."
"Trus?"
"Ngasih nomor ponsel cucunya."
"Hati-hati, jangan-jangan nomor ponsel kakek itu sendiri," ucap Kamari menahan tawa.
"Eh, aku juga ngrasa gitu!" Vasthi mencebik. "Pudar, deh, impian aku punya laki kaya dan ganteng."
Balqis menyikut pinggang Kamari. "Kamu gimana?"
Kamari mengangkat bahu. "Dua laki-laki, yang akhirnya jadi beli sedan setelah sebelumnya maksa aku buat manggil, Abang."
Mereka bertiga saling tatap lalu tertawa bersamaan. Selalu ada hal Iucu untuk diceritakan setiap kali selesai bekerja.
"Abang bakso, mau dong dikuahin. Eh, gimana?" Vasthi berucap asal.
"Dicabein mau nggak?" Balqis mengusulkan.
"Ups, sorry. Di sini udah ada ratu cabe-cabeaan, Pendaaar!"
"Aku ratu cabe-cabean, kamu apaan, Vasthi?"
"Aku, ratu sejagad!" Vasthi menjawab sambil mengibaskan rambut ke belakang.
"Jagad lelembut?" celetuk Balqis.
Mereka kembali tertawa dan terhenti saat melihat sosok pemuda di dekat mobil merah milik Balqis. Mereka mengenali pemuda itu bernama Nata. Salah satu orang yang tergila-gila dengan Balqis dan terlibat hubungan TTM yang aneh.
"Hai, mau naik mobil aku nggak?" Nata menyapa riang.
"Mobil baru?" tanya Balqis.
"Iya, Sayang. Baru beli. Yuk! Vasthi dan Kamari juga ikut."
"Trus, mobil aku diapain?" tanya Balqis.
"Tenang, biar teman aku yang bawa ke rumah Io." Nata bertepuk tangan, datang dua pemuda ke arah mereka. "Eh, kalian bawa mobil Balqis ke rumahnya. Tunggu aku di sana."
Balqis menyerahkan kunci mobil dan mengikuti Nata menuju mobil baru milik pemuda itu. Sebuah sedan mewah hitam model terbaru yang harganya bisa mencapai tiga miliar. Kamari masuk ke jok belakang bersama Vasthi dan berdecak. "Wow, mobil bagus. Aku bingung sama orang-orang yang bisa beli mobil mewah semudah membalikkan telapak tangan. Sebenarnya, kerjaan mereka apaan, sih?"
"Ngepet sih aku tebak," jawab Balqis asal.
Vasthi mencolek punggung Balqis. "Ngepet itu dosa, tahu."
"Oh, yang nggak dosa apaan?"
"Nggak tahu, deh. Nata, bokap kamu kerja apaa?" tanya Vasthi polos.
Nata tersenyum dari balik kemudi. "Hanya pengusaha biasa."
Vasthi mengangguk. "Nah kan, aku bilang juga apa. Camer kamu pengusaha, Balqis. Bukan ngepet!"
"Siapa yang mau kawin sama Nata?" Balqis mencebik. "Aku, sih, ogah!"
"Yah, aku tertolak lagi," gumam Nata. "Gini amat jadi cowok. Serba salah."
"Kamu, sih, jadi cowok. Coba cewek, bisa bestiee kita," celetuk Kamari.
"Emang sekarang kita kurang bestiee kayak gimana, Kamari. Kamu, udah nuang cuka ke luka aku. Sakiit!"
Balqis mencubi pinggang Nata, disusul Kamari dan Vasthi. Malam itu terjadi pengeroyokan yang tidak seimbang antara satu laki-laki melawan tiga perempuan, yang berakhir dengan mereka makan bersama pecel lele di warung tenda.
"Eh, denger-denger besok pemilik showroom datang."
Balqis berucap dengan mata berbinar. "Orangnya masih muda, tapi katanya udah duda."
"Kamu tahu-tahuan info begini," ucap Kamari heran.
"Ye, banyak bergaul makanya."
"Ganteng nggak? Kalau kaya udah pasti." Vasthi ikut nimbrung.
"Kalau dari bisik-bisik yang aku dengar, katanya tampaaan. Soalnya jadi idola di kantor mereka. Tapi, dengar-dengar galak." Balqis menambahkan dengan dramatis.
Vasthi menghela napas panjang dan bicara sambil melamun. "Kaya, tampan, dan galak. Kayak CEO di drama-drama gitu. Semoga, dia nglirik aku ntar."
Kamari mendengarkan percakapan mereka tanpa banyak kata. la tidak tertarik untuk mengenal laki-laki di saat seperti ini. Beban hidupnya sedang banyak, Iebih enak mencari uang daripada memikirkan soal laki-laki. Balqis dan Vasthi ada orang tua untuk bersandar, sedangkan dirinya sendirian.
Saat berbaring di atas ranjang kamar kosnya, pikiran Kamari menerawang pada masa lalu. Saat ia begitu naif, dan memiliki kehidupan yang sangat bahagia. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama dengan laki-laki muda yang mengontrak di rumah besar tak jauh dari rumahnya. Saat itu usianya 15 tahun, dan laki-laki itu kemungkinan sudah 26 tahun. Saat itu, tanpa malu ia mengejar, merayu, dan mendekati dengan membabi buta, hingga akhirnya hatinya dipatahkan oleh kenyaataan. Laki-laki itu memilih perempuan cantik dan mapan untuk menjadi istri dan mereka menikah di hari ulang tahunya yang ke 16 tahun. Sekarang, di usianya yang menginjak 23 tahun, Kamari tidak pernah bisa melupakan cinta pertamanya.
Ada banyak laki-laki mendekatinya, mengajak berkencan, dengan pekerjaannya sebagai SPG, mudah sekali mendapatkan pasangan. Sayangnya, kehidupan membuatnya menyingkirkan cinta. Ia tidak percaya kalau di dunia ini ada laki-laki tulus, tentu saja selain papanya.
Menghela napas panjang, Kamari mematikan lampu dan mencoba tidur. "Jangan banyak ngayal, besok harus kerja lagi buat makan," gumamnya pada diri sendiri di tengah kegelapan sambil memeluk boneka kecil.
Kabar tentang kedatangan pemilik sekaligus CEO, menguar di antara para pegawai. Reputasi sang pemilik yang cukup tinggi di kalangan para pegawai perernpuan, membuat para SPG penasaran. Dari pagi, sebelum pameran dimulai, mereka sudah bergosip di ruang ganti.
"Semoga bisa ketemu sama dia."
"Aduh, aku jadi deg-degan."
Vasthi menghela napas dramatis, mencolek lengan Kamari. "Saingannya banyak ternyata. Sialnya, aku shift pagi hari ini. Jadi, nggak bisa ketemu."
Kamari tersenyum, menutup bedak dan mencolek hidung Vasthi. "Kerja, ayo, jangan mimpi terus!"
Semakin siang, ia bisa merasakan atmosfir yang berbeda di pameran. Para SPG memoles make-up mereka dengan lebih rajin, begitu pula para pegawai perempuan. Ia mendengar bisik-bisik kalau sang pimpinan jarang datang ke pameran. Kamari sendiri, merasa tidaka ada yang harus ditunggu. Bekerja seperti biasa dan hari ini menghadapi godaan bapak-bapak setengah baya yang jarinya terus menerus ingin meremas tangannya. Untung saja ia bisa menahan diri untuk tidak menendang kemaluannya.
Pukul 20.55 atau lima menit sebelum pameran tutup, para pegawai berkumpul. Mereka mengikuti seorang laki-laki berkeliling. Penclar menduga itu adalah sang CEO, tapi tidak dapat melihat wajahnya karena banyaknya orang menutupi. Ia sedang berjongkok di samping mobil, untuk mengelap noda di pintu. Saat orang-orang itu mendekat tanpa ia menyadarinya.
"Pak, SPG ini bernama Kamari. Dan Kamari ini sudah dua kali ikut event kita. Eh, Kamari, kamu lagi ngapain?" tanya sang manajer.
Kamari bangkit sambil menepuk-nepuk tangan. "Bersihin noda, Pak. Untung bukan goresan." Ia membalikkan tubuh, terbelalak saat melihat banyak orang sedang menatapnya.
"Kamari, sapa Pak Liam."
Kamari nyaris pingsan di tempatnya berdiri saat laki-laki tinggi dan tampan dengan dagu sedikit terbelah itu menatapnya. Ia mengenali siapa Iaki-Iaki itu dan mulutnyamendadak terkunci.
Liam maju sambil tersenyum, menghampiri Kamari dan menyapa riang. "Calon istriku? Kenapa kamu kerja di sini nggak bilang-bilang?"
Suasana yang tadi ramai, senyap seketika. Orang-orang saling pandang dengan bingung. Tidak terkecuali Balqis yang berada di antara para SPG.
Buku lain oleh LucioLucas
Selebihnya