Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Kutunggu Jandamu

Kutunggu Jandamu

Cheline

5.0
Komentar
3.6K
Penayangan
23
Bab

Benara tidak menyadari kalau perempuan yang dia jadikan pacar pura-pura didepan ayahnya rupanya istri orang. Akan tetapi, setelah tahu bagaimana cara laki-laki yang bersama Laras tidak begitu baik untuknya, kesempatan pula untuk Benara mendekati Laras dengan cara ugal-ugalan.

Bab 1 Perkenalan

"Kamu gimana sih? Aku nyuruh kamu kerja tapi nggak di perusahaan tempat aku kerja juga. Kamu udah nggak waras ya? Nggak punya otak atau gimana?"

Laras mengerutkan kening usai mendengar ucapan suaminya. "Mas, nyari kerja zaman sekarang itu susah. Lagi pula kenapa emang kalau kita satu kantor? Bukannya malah bagus, kita bisa berangkat sama-sama? Itung-itung hemat biaya, Mas," ucap Laras, ikut protes.

"Apa kamu bilang?" Reza semakin dibuat jengkel. "Jadi maksud kamu, kamu mau ngenalin diri kamu ke teman-teman kantor aku? Kamu bakal datang ke sana dan bilang kalau kamu itu istri aku? Yang bener ajalah, Ras. Udah sinting kali kamu."

"Mas! Sebenarnya mau kamu apa sih? Kamu mau nyuruh aku kerja biar ekonomi kita semakin membaik atau biar kamu bisa bebas? Kata-kata kamu udah nggak masuk akal, Mas. Kamu sadar nggak sih?"

"Halah! Udah deh, Ras, jangan ngajakin ribut mulu." Reza mengibaskan tangan di depan wajah istrinya. "Lebih baik kamu cari kerja lain aja. Kalau kamu nggak mau juga cari yang lain, kalau gitu masuk ke sana tapi jangan kasih tahu sama siapa-siapa kalau kamu itu istri aku. Pokoknya anggap aja kita nggak kenal. Kamu ngerti?"

Laras tercengang tidak habis pikir dengan ucapan suaminya tadi. Perempuan berambut panjang itu menyugar rambutnya begitu kasar, untuk menepis segala kekesalan yang sudah membuncah bak lava dalam dada. Bagaimana bisa suami yang menikahinya enam bulan lalu tega berkata demikian? Apa sebenarnya Reza menyesal telah menikahi Larasati Abania si putri petani dari desa kecil pinggiran kota itu?

"Mas! Kamu malu sama aku?" tanya Laras kala Reza akan beranjak dari hadapannya.

"Menurut kamu? Jangan bodoh deh jadi orang. Mana ada laki-laki yang mau sama kamu, buluk gini! Mending nggak sama sekali," cela Reza menjawab. Tidak punya hati.

"Lalu apa gunanya pernikahan ini, Mas? Kenapa kamu masih bertahan di atas pernikahan kita yang mana kamu sendiri nggak suka sama aku?"

"Ya karena aku masih butuh kamu. Mahar yang aku kasih ke kamu ya harus balik dulu baru aku lepasin kamu. Kalau masih belum balik, mana bisa aku minta lagi kalau udah cerai. Capek yang ada harus ngejar kamu ke kampung. Duh... ribet!" ungkapnya tanpa beban. Wajah yang begitu kentara akan ketidaksukaan itu benar-benar tercetak jelas pada garis rahang Reza.

Usai pria itu melenggang pergi, Laras pun tak kuasa membendung air matanya. Dia sudah terlalu banyak memendam luka. Bahkan rasanya hatinya sudah tidak cukup untuk menyimpan semua kepedihan yang dia rasakan. Apa harus Laras yang menyerah agar semua ini berakhir? Tapi bagaimana dengan orangtuanya di kampung? Akan sangat sedih jika mengetahui keadaannya di kota besar ini. Apalagi harus mengatakan tentang perceraian, mungkin kedua orang tua itu akan jatuh sakit memikirkannya.

**

"Eh, Ras! Kok malah bengong sih? Lagi liatin apa?" Si empunya nama tersentak kala teman satu meja dengannya memukul pundaknya ringan. Laras buru-buru membuang pandangan saat Leli ikut menatap.

"Emang aku ngelamun? Kayaknya nggak?" kilah Laras berusaha menyembunyikan kesedihan.

"Oh ... kamu lagi liatin Pak Reza ya?" ujar Leli tidak menanggapi ucapan Laras.

"Ah? Ah ... nggak kok. Nggak lagi liatin siapa-siapa," jawabnya memaksakan tersenyum.

Leli ikut memutar balik badannya lalu bersandar di dinding kaca transparan sambil memangku tangan. "Bukan Cuma kamu aja kok Ras yang suka liatin pak Reza, kadang aku juga suka, Buk Nia juga. Pak Reza itu orangnya baik dan ramah, ganteng pula. Perempuan mana coba yang nggak tertarik sama dia? Pasti kamu juga suka, 'kan liat wajahnya yang adem?" ungkap Leli mengutarakan segala tentang pesona Reza.

Yang mana kata-kata itu semakin saja menusuk dalam relung hati Laras. Belum lagi dia harus melihat setiap hari suaminya itu di goda oleh perempuan-perempuan yang berbeda. Juga tadi, saat Leli memergoki Laras memandangi Reza yang sedang duduk berduaaan dengan Nia, selaku pengawas mereka. Hal mana lagi yang membuat Laras tetap mempertahankan pernikahannya ini?

"Emang Pak Reza sepopuler itu ya di sini?" pancing Laras, ingin tahu lebih banyak.

Leli mengangguk mantab. "Populer banget di kalangan anak desain kayak kita. Dia yang paling care ke semua orang sih. Uh ... kalau boleh minta nih ya sama Tuhan, aku mau calon suami yang kayak Pak Reza. Tapi ya aku sadar diri lagi, mana mungkin upik abu kayak aku berjodoh sama pangeran kayak Pak Reza. Mustahil!" cerocosnya dengan kecepatan maksimal.

Laras hanya bisa mengulas senyum kecut yang tidak akan ada yang paham tentang itu. Sebelum kembali ke meja kerjanya, Laras satu kali lagi menoleh ke arah Reza, yang mana saat yang bersamaan Reza menangkap pandangannya. Dalam tatapan dalam yang sempat di tangkap oleh Reza, Laras seakan memaki dengan tatapan itu. Mencaci begitu lugasnya dan mengutuk Reza yang benar-benar tidak punya cela buruk sedikitpun di tempatnya berpijak. Beruntung sekali nasib laki-laki sialan itu!

Sudah nyaris dua bulan lamanya Laras ikut bergabung dengan perusahaan Kosmetik yang di pimpin oleh Owner bernama Benara Atmaja ini. Cosmetic Chielie adalah yang terdepan di tahun ini. Sudah banyak BA terkenal yang mempromosikan brand-brand yang ada di bawah naungan Chielie. Namun, sebagaimana meroketnya perusahaan ini, Laras hanya bisa menduduki posisi sebagai desainer produk. Itu juga yang paling bawah. Hanya sebagai cadangan saja untuk dijadikan bahan inspirasi para pendesain senior untuk membuat inovasi lebih berkesan.

Lalu apa? Ya begitulah. Gajinya hanya sebatas UMR tanpa pemasukan lain. Mengingat suaminya sudah tidak mau menafkahi juga terjerat dengan mertua yang muluk-muluk, membuat uang tiga juta tiga ratus ribu itu hanya sebatas angin lalu.

Setelah berbincang sejenak menghabiskan waktu makan siang, tiba-tiba saja Nia, selaku pengawas para anak desain, mendatangi meja Laras sambil bertanya,

"Udah dapat apa aja satu hari ini, Ras?"

Laras sontak bangun dari duduknya begitu suara tidak asing itu menyapa rungunya dan langsung saja menjawab,

"Ada beberapa yang saya buat, Mbak. Kenapa ya, Mbak? Tumben datang ke meja saya. Harusnya panggil saja, Mbak, saya bisa datang ke ruangan Mbak."

Nia menggeleng kecil. "Nggak sopan rasanya, Ras. Saya ke sini mau bilang hal penting."

"Ada apa ya, Mbak?"

Nia sedikit resah. Terlihat dari raut wajahnya yang tidak biasa. Laras jadi ikut penasaran, ada apa ya?

"Ras, kamu bisa nggak yang persentasi ke bos hari ini? Jujur, saya nggak bisa mikir yang lain lagi Ras? Rekan senior kamu lagi izin hari ini. Dan saya juga belum paham penuh apa aja yang kamu buat. Jadi kamu aja ya yang presentasi tentang inovasi baru ini? Mau ya, Ras?"

Laras mendadak keringat dingin begitu mendengar pernyataan Nia. Dia juga ikut meragu akan hal yang hendak di ajukan terhadapnya. Bagaimana bisa Laras mempresentasikan hasil desainnya yang mana notabenenya dia hanya sebagai junior? Apa pantas? Sepertinya tidak.

"Mbak, mana bisa saya yang presentasi. Saya juga masih pemula, Mbak. Belum paham banget sama semua ini. Suruh orang lain aja deh, Mbak. Saya nggak bisa, Mbak." Jelas saja Laras menolak.

"Nggak ada siapa-siapa lagi selain kamu. Udah Ras, satu kali ini aja. Kalau pun harus di marahain sama bos, ya anggap aja ini semacam ujian. Kan selama kamu di sini nggak pernah ada yang protes. Itung-itung biar lebih jago buat desain kalau emang di komplain. Tapi kalau di puji itu beda lagi ceritanya. Bisa-bisa kamu di angkat jadi desainer di kelas senior kamu."

"Tapi, Mbak..."

"Udah, saya nggak mau tahu lagi." Nia melirik arlojinya. "Empat puluh menit lagi udah harus siap-siap ya, Ras. Kita ketemu sama bos di ruang rapat biasa. Susun aja dulu poin-poin yang akan kamu jabarkan. Habis itu datang ke ruangan. Ingat, sebelum bos datang, kamu udah di sana duluan. Bisa berabe kalau dia yang duluan duduk. Nggak sopan! Ingat, 'kan?"

Karena tidak punya wewenang untuk menolak, akhirnya Laras pun mengangguk meski masih ragu. Tidak terasa kalau telapak tangan juga kakinya sudah basah akan keringat efek gugup yang datang tiba-tiba. Apalagi jantungnya yang ikut-ikutan memompa cepat. Duh, bikin ketar-ketir aja nih kerjaan!

Mana Laras belum pernah bertemu dengan si bos yang sering di ceritakan oleh rekan-rekannya. Kata mereka, bos ini adalah tipe laki-laki yang hangat juga terkesan bersahabat. Akan tetapi memerhatikan setiap kesalahan kecil. Sering mendikte hal-hal yang diluar nalar. Bagaimana cara Laras mengatasi ini?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Cheline

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku