Seorang wanita harus memilih antara kekasih rahasianya yang penuh gairah atau suami yang selalu mendukungnya. Saat ia terjebak dalam kebingungan, ia menyadari bahwa pilihannya akan mengubah hidup semua orang di sekitarnya.
Lina duduk di pinggir jendela, memandangi hujan yang turun dengan lembut, membasahi taman kecil di halaman rumahnya. Rumah itu begitu tenang, hanya terdengar bunyi rintik-rintik hujan di luar. Ia merasa hampa, seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Hidupnya bersama Arman tampak sempurna. Arman adalah suami yang baik-penuh perhatian dan tidak pernah membiarkannya merasa kekurangan. Setiap pagi, Arman selalu menyiapkan teh hangat untuknya sebelum berangkat kerja, mengantarnya dengan ciuman lembut di dahi. Namun, entah sejak kapan, Lina mulai merasa ada kekosongan yang semakin besar.
Malam itu, Arman pulang agak terlambat dari biasanya. Lina, yang sedang menonton televisi di ruang keluarga, menoleh saat mendengar pintu depan dibuka.
"Sayang, aku pulang," sapa Arman dengan senyum hangat yang biasa.
Lina tersenyum tipis. "Selamat datang, Mas. Capek ya?"
Arman menghela napas panjang, melepas dasi dan melemparkan diri ke sofa di samping Lina. "Lumayan. Hari ini banyak sekali urusan di kantor." Ia mengusap punggung tangan Lina lembut. "Tapi bertemu kamu selalu jadi obat capekku."
Lina hanya tersenyum kecil, meskipun di dalam hatinya ia merasa ucapan Arman terdengar datar. Tidak ada kehangatan seperti dulu. "Mas mau minum? Aku buatkan teh hangat."
Arman menggeleng. "Sudah, Sayang. Aku cuma mau istirahat sebentar." Ia mengusap pundak Lina dengan kasih, lalu beralih ke telepon genggamnya, mengecek email yang terus berdatangan.
Hati Lina terasa hambar. Setiap kali mereka berbincang, ada jarak yang terasa. Sebuah jurang yang semakin lebar dan membuatnya merasa semakin kesepian, meskipun Arman duduk di sisinya.
Setelah beberapa menit terdiam, Lina memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. "Mas, kamu merasa... hubungan kita masih seperti dulu nggak?"
Arman menoleh, tampak sedikit bingung. "Maksudmu, Sayang?"
"Entahlah... Rasanya kita hanya menjalani rutinitas saja," ucap Lina pelan, mencoba menahan nada suaranya agar tidak terdengar mengeluh.
Arman menghela napas. "Memangnya, kamu merasa kita kurang apa, Lin? Aku selalu berusaha menjaga kamu, memberikan yang terbaik. Apa ada yang kurang?"
"Bukan masalah kurang atau lebih, Mas." Lina mengusap wajahnya, seakan-akan kata-katanya sulit terungkap. "Hanya saja... rasanya ada sesuatu yang hilang."
Arman terdiam, menatap Lina dalam-dalam. "Lina, kamu tahu kan aku selalu berusaha untuk kita? Mungkin ini hanya perasaanmu saja, sayang."
Mata Lina mulai terasa panas. Ia tidak ingin menangis, tapi perasaan hampa itu seolah semakin menusuk. "Mas, aku bukan hanya ingin ada di rumah dan menunggumu pulang setiap hari... Aku juga ingin merasa... merasa lebih hidup."
Arman mengerutkan kening, tampak berpikir sejenak. "Mungkin kita bisa coba jalan-jalan akhir pekan ini, seperti waktu kita baru menikah dulu. Gimana? Mungkin itu bisa membantumu merasa lebih baik?"
Lina menatap Arman dan mengangguk kecil. "Baik, Mas... Mungkin aku yang terlalu berlebihan."
Namun, jauh di dalam hatinya, Lina tahu bahwa bukan sekadar liburan yang ia butuhkan. Ia menginginkan sesuatu yang lebih, sesuatu yang bisa membuat hidupnya terasa berwarna kembali.
Setelah perbincangan itu, Arman kembali fokus pada layar teleponnya, sementara Lina kembali terjebak dalam pikirannya. Hujan di luar masih terus turun, membawa rasa tenang yang mengganggu, seolah menyanyikan sebuah melodi sedih yang hanya bisa ia dengar sendiri.
Setelah perbincangan mereka yang singkat dan dingin, Lina kembali memandang keluar jendela. Hujan telah berhenti, menyisakan embun tipis di kaca jendela. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.
Keesokan paginya, Arman seperti biasa bangun lebih dulu. Ia menyiapkan teh hangat untuk Lina, meletakkannya di samping tempat tidur sebelum berangkat bekerja. Lina hanya bisa tersenyum tipis saat bangun dan menemukan secangkir teh itu. "Arman memang suami yang baik," pikirnya. Tapi kebaikan itu semakin hari terasa seperti rutinitas kosong. Ada rindu dalam hatinya untuk merasakan kehangatan yang lebih hidup, lebih nyata.
Di tempat kerja, pikiran Lina terus melayang. Rekan kerjanya, Sari, yang duduk di meja sebelah, menyadari Lina yang lebih pendiam dari biasanya.
"Kamu kenapa, Lin?" tanya Sari sambil mengetik di komputer. "Kok kelihatannya melamun terus?"
Lina tersentak dari lamunannya. "Ah, nggak apa-apa, Sar. Cuma lagi banyak pikiran aja."
Sari tersenyum kecil. "Mikirin apa, tuh? Atau... mikirin siapa?"
Lina menggeleng sambil tersenyum hambar. "Nggak mikirin siapa-siapa. Cuma lagi ngerasa... kayak ada yang kurang aja."
Sari meletakkan tangannya di bahu Lina. "Lin, kamu boleh cerita kalau ada apa-apa. Kadang kita memang butuh ngomongin sesuatu biar lega, lho."
Lina menatap Sari sejenak, merasa sedikit lega ada seseorang yang mau mendengarkan. "Sar, kamu pernah nggak... merasa jenuh sama rutinitas yang itu-itu aja?"
Sari mengangguk penuh pengertian. "Pernah banget. Kadang-kadang aku juga ngerasa kayak robot yang cuma menjalankan perintah, bangun, kerja, pulang, terus tidur lagi. Tapi... hidup kan memang gitu ya, Lin? Kadang kita hanya perlu cari kesenangan kecil yang bikin hati kita hidup lagi."
Lina mengangguk pelan, mencerna kata-kata Sari. Namun, meskipun ia paham maksudnya, kesenangan kecil yang diinginkannya terasa lebih dalam dari sekadar hiburan. Ada sesuatu di dalam hatinya yang terus memberontak, yang mendambakan perubahan lebih besar.
Saat pulang kerja, ia menanti Arman dengan harapan baru. Mungkin mereka bisa berbincang lagi malam ini, mencoba menyelami apa yang salah di antara mereka. Namun, ketika Arman tiba, ia membawa kabar yang tak Lina duga.
"Sayang, aku dapat kesempatan untuk proyek di luar kota selama dua minggu," kata Arman dengan semangat saat mereka duduk di ruang makan.
"Oh..." Lina mencoba menyembunyikan kekecewaannya. "Kapan berangkat, Mas?"
"Lusa," jawab Arman. "Proyek ini penting, dan aku sudah lama menunggu kesempatan seperti ini. Lagipula, selesai proyek ini, kita bisa merencanakan liburan yang aku janjiin minggu lalu, kan?"
Lina tersenyum kecil, tapi hatinya terasa hampa. Setiap kali ia ingin mendekatkan diri dengan Arman, selalu saja ada sesuatu yang menghalangi. Dua minggu terasa seperti waktu yang lama, terutama ketika ia merasa begitu sendirian dalam pernikahan ini.
Malam itu, Lina hanya terbaring di ranjang sambil menatap langit-langit, bertanya-tanya kapan perasaan kosong ini akan berlalu. Namun, di balik rasa hampa itu, terselip keinginan untuk menemukan kebahagiaan baru yang bisa mengisi kekosongan yang semakin besar di hatinya.
Saat tidur mulai menjemput, Lina berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin aku butuh perubahan. Aku nggak tahu apa, tapi aku butuh sesuatu yang bisa buatku merasa hidup lagi."
Malam berganti pagi dengan cepat. Saat Lina terbangun, ia merasakan kelelahan mental yang tak berkesudahan. Sisa-sisa percakapan semalam masih terngiang di telinganya, membuatnya merasa semakin gelisah. Hari ini adalah hari terakhir Arman di rumah sebelum berangkat ke luar kota. Lina ingin memberikan sesuatu yang berarti, mencoba membuat jarak di antara mereka terasa lebih dekat sebelum Arman pergi.
Dia menyiapkan sarapan khusus untuk mereka berdua, menggoreng telur, membuat roti panggang, dan menyeduh kopi favorit Arman. Ketika Arman akhirnya turun dari kamar, Lina menyambutnya dengan senyum yang tulus, berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesepiannya.
"Selamat pagi, Sayang," sapa Lina dengan lembut.
Arman tampak terkejut melihat meja yang sudah tertata rapi. "Wah, apa nih? Spesial banget sarapannya hari ini."
Lina tersenyum sambil menyendokkan telur ke piring Arman. "Ya... aku pikir ini kesempatan terakhir kita sarapan bareng sebelum kamu pergi."
Arman menatap Lina sejenak, lalu meraih tangannya. "Aku bakal kangen kamu, Lin. Dua minggu ini pasti bakal terasa lama tanpa kamu."
Lina mengangguk pelan. "Aku juga, Mas..." jawabnya, walaupun di hatinya, ada kebimbangan yang tak bisa ia ungkapkan.
Sepanjang sarapan, mereka bercakap-cakap tentang hal-hal ringan-tentang proyek Arman, rencana-rencana yang mereka buat bersama. Namun, tak lama setelah itu, Arman harus segera berangkat untuk menyelesaikan persiapannya. Dengan ciuman cepat di pipi Lina, ia berpamitan, meninggalkan Lina berdiri di ambang pintu, menatap punggung suaminya yang semakin jauh.
Saat Arman sudah benar-benar pergi, Lina kembali ke ruang tamu dan terdiam di sana. Rumah terasa sangat sepi. Ia melirik ponselnya, ingin mencari hiburan atau melakukan sesuatu yang bisa mengisi waktunya. Namun, tidak ada pesan, tidak ada panggilan, hanya layar kosong yang menatap balik ke arahnya.
Beberapa hari berlalu, dan Lina mencoba mengisi kekosongan itu dengan aktivitas. Ia pergi ke gym, mengikuti kelas yoga, bahkan mencoba menonton film di bioskop sendirian. Namun, semuanya terasa tak ada artinya.
Sampai suatu sore, ketika Lina sedang menghabiskan waktu di kafe favoritnya, ia bertemu seseorang yang sudah lama tak ia jumpai-Bram, teman lama dari masa kuliahnya. Bram adalah sosok yang dulu sempat dekat dengannya sebelum ia bertemu Arman. Dengan senyum hangat dan tatapan yang tak berubah, Bram menyapanya.
"Lina?" panggil Bram dari arah meja di seberang. "Ini benar kamu?"
Lina menoleh, terkejut. "Bram? Ya ampun, udah lama banget! Kamu di sini juga?"
Bram tersenyum dan berjalan mendekat, menarik kursi di depan Lina. "Iya, aku baru balik dari luar negeri. Kayaknya terakhir kali kita ketemu waktu reuni kampus, ya?"
Lina tertawa kecil. "Iya, sudah lama banget. Kamu sekarang gimana, Bram?"
Obrolan mengalir begitu saja di antara mereka. Mereka berbicara tentang kehidupan setelah kuliah, pekerjaan, dan banyak hal lain. Bram selalu punya cara membuat Lina tertawa, sesuatu yang sudah jarang ia rasakan belakangan ini. Di antara obrolan dan tawa mereka, ada perasaan hangat yang tumbuh di hati Lina-perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Saat mereka berpisah di depan kafe, Bram menggenggam tangan Lina sejenak. "Lin, aku tahu ini mungkin mendadak, tapi... kalau kamu mau, kita bisa ketemuan lagi. Ngobrol kayak gini, aku suka banget."
Lina terdiam, hatinya berdebar-debar. Ia tidak ingin memberi harapan, tetapi tak bisa menolak perasaan yang mulai muncul. "Ya, mungkin... mungkin kita bisa ketemu lagi," jawab Lina dengan senyum ragu.
Bram tersenyum hangat. "Bagus. Aku tunggu kabarmu, ya."
Setelah Bram pergi, Lina berdiri di sana, merasakan hatinya berdenyut lebih cepat. Rasa bersalah muncul di dalam dirinya, tetapi bersama rasa bersalah itu, ada percikan yang selama ini ia rindukan. Mungkin ini yang bisa membuat hidupnya terasa lebih hidup.
Namun, Lina tahu bahwa perasaan ini bukan tanpa risiko. Hubungan dengan Bram mungkin bisa membawa kebahagiaan baru, tapi ia sadar bahwa pilihan ini akan membawa perubahan besar dalam hidupnya dan Arman.
Bersambung...
Buku lain oleh EMBUN ABADI
Selebihnya