Seorang suami merasa bosan dengan kehidupan pernikahannya dan memulai hubungan dengan rekan kerjanya. Perselingkuhan ini berubah menjadi obsesi, menghancurkan segalanya di sekitar mereka, termasuk rumah tangganya.
Arman duduk di teras rumahnya, menyesap secangkir kopi hitam yang kini terasa hambar. Hujan gerimis membasahi halaman, menciptakan suara ritmis yang biasanya bisa menenangkan pikirannya. Namun, malam itu, tidak ada yang bisa mengusir rasa hampa yang terus menggelayuti hatinya.
Sudah beberapa bulan terakhir ini Arman merasa ada yang salah dalam pernikahannya dengan Lila. Hubungan mereka, yang dulu hangat dan penuh canda, kini terasa dingin dan kaku. Lila semakin sibuk dengan pekerjaannya sebagai manajer di sebuah perusahaan besar. Ketika di rumah, fokusnya lebih banyak terarah pada urusan rumah tangga dan pekerjaan yang masih sering ia bawa pulang.
"Masih di luar?" suara Lila yang datar terdengar dari pintu. Ia berdiri di sana, mengenakan daster sederhana sambil melipat tangannya di dada.
Arman mengangguk tanpa melihatnya. "Cuma butuh udara segar."
Lila mendekat, duduk di sampingnya, tapi jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam. Dulu, Lila adalah pusat dunianya. Senyumnya bisa menghapus lelah setelah seharian bekerja, tawa riangnya selalu menyambut kepulangan Arman. Tapi kini, yang tersisa hanya percakapan singkat dan formalitas.
"Besok kamu ada acara di kantor?" tanya Arman, mencoba memecah kebekuan.
Lila menghela napas panjang. "Iya. Ada rapat besar, dan aku mungkin pulang larut. Kamu sendiri? Ada meeting dengan klien lagi?"
"Ya, seperti biasa," jawab Arman singkat, berusaha menghindari keluhan.
Hening kembali menyelimuti mereka. Hujan masih turun, tapi rasanya lebih sunyi dari sebelumnya. Arman memandangi Lila, mencoba mencari jejak wanita yang dulu begitu ia cintai. Wanita yang selalu bersemangat berbicara tentang mimpi-mimpinya. Tapi yang ada di depannya sekarang hanya sosok yang lelah dan seolah terperangkap dalam rutinitas tanpa akhir.
"Lila, kapan terakhir kali kita punya waktu untuk kita berdua?" tanya Arman tiba-tiba.
Lila menatapnya dengan alis terangkat, seperti tidak mengerti maksud pertanyaannya. "Apa maksudmu?"
"Kita berdua. Kapan terakhir kali kita duduk bersama, bicara tentang sesuatu selain pekerjaan atau urusan rumah?" Suara Arman penuh kegetiran.
Lila terdiam. "Arman, ini bukan soal kita tak punya waktu. Kamu tahu sendiri, pekerjaan semakin menuntut. Aku juga harus menjaga stabilitas rumah ini."
Arman menggeleng pelan. "Tapi rumah ini terasa sepi, Lila. Aku merasa seperti orang asing di sini... denganmu."
Lila tampak kaget dengan pernyataan itu. "Arman, kamu tahu aku melakukan yang terbaik. Semua ini untuk kita berdua. Tapi kenapa kamu selalu merasa tak puas?"
Arman tersenyum pahit. "Karena aku tak tahu lagi apakah ini benar-benar untuk kita. Kadang aku merasa kamu lebih peduli pada pekerjaanmu daripada... aku."
Lila mendesah frustasi, meletakkan kedua tangannya di pangkuan. "Kamu tak mengerti, Arman. Hidup ini bukan cuma soal cinta atau perhatian. Ada tanggung jawab, ada masa depan yang harus kita pikirkan."
"Tapi apa gunanya semua itu kalau kita tidak saling terhubung?" Suara Arman melemah. "Apa gunanya jika aku merasa kehilangan dirimu, Lila?"
Malam semakin larut, namun tak ada jawaban yang memuaskan dari Lila. Hanya keheningan yang menjawab, dan dalam keheningan itu, Arman merasakan sesuatu yang semakin menggerogoti dirinya-kebosanan, kelelahan, dan keraguan. Apakah ini cinta? Ataukah cinta mereka sudah tersesat, hilang di antara kesibukan dan ambisi yang tak lagi bisa mereka kendalikan?
Arman menghela napas panjang. "Aku masuk dulu, besok kita sama-sama sibuk," katanya pelan sebelum berdiri dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Lila sendirian di teras.
Lila menatap punggung suaminya yang menjauh, dan dalam keheningan malam itu, ia mulai merasakan kekosongan yang sama-perasaan yang selama ini ia abaikan karena terjebak dalam rutinitas. Tapi, seperti Arman, ia tidak tahu bagaimana memperbaikinya.
Setelah masuk ke dalam rumah, Arman langsung menuju kamar tidur tanpa banyak bicara. Sepintas ia melirik meja kerja di sudut ruangan, tempat Lila sering duduk hingga larut malam dengan laptop menyala, dikelilingi oleh tumpukan berkas. Lila masih belum masuk. Ia mungkin masih duduk di teras, merenungkan percakapan mereka tadi.
Arman duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya. Kepala terasa penuh, tapi hatinya lebih berat. Rasanya seperti ada sesuatu yang menjauh setiap kali ia mencoba mendekat. Pernikahan yang ia kira akan selalu hangat kini seperti ruangan yang perlahan-lahan mendingin, tak lagi nyaman.
Terdengar suara pintu terbuka. Lila akhirnya masuk. Tanpa sepatah kata, ia berjalan ke lemari, mengambil piyama, lalu menuju kamar mandi. Arman memperhatikannya dalam diam. Wajah Lila tampak lelah, tapi bukan kelelahan yang hanya berasal dari pekerjaan. Seperti ada jarak tak terlihat yang membentang di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dipecahkan hanya dengan percakapan singkat.
Ketika Lila keluar dari kamar mandi, suasana masih sama heningnya. Ia tidak langsung ke tempat tidur, melainkan duduk di meja kerjanya, memeriksa beberapa berkas yang tertinggal. Arman merasa frustrasi. Inikah yang disebut rumah? Di mana kebersamaan yang dulu mereka jaga? Seolah-olah mereka bukan lagi pasangan, melainkan dua orang yang hidup berdampingan tanpa emosi.
"Aku pergi tidur dulu," ucap Arman pelan, tanpa berharap jawaban.
"Hmm," gumam Lila singkat, tanpa menoleh.
Arman membaringkan diri di atas ranjang, tapi matanya sulit terpejam. Pikirannya melayang ke masa lalu, saat pernikahan mereka masih baru. Mereka dulu selalu saling berbagi segalanya-pikiran, perasaan, mimpi. Kini, semua itu seperti bayangan yang memudar.
Rasa jenuh itu semakin kuat. Setiap hari terasa sama, seolah hidup ini tidak lagi punya warna. Ia mencintai Lila, itu pasti, tapi cinta itu terasa seperti tanggung jawab yang terus menerus menguras energinya tanpa pernah mendapat pengisian ulang. Arman berbalik, menatap punggung Lila yang masih fokus pada pekerjaannya. Ia tahu ini bukan salah Lila sepenuhnya, tapi perasaan terasing itu semakin menggerogoti.
Sementara di meja kerja, Lila duduk diam. Ia memandangi layar laptopnya, tapi pikirannya melayang jauh. Percakapan mereka tadi menggema di telinganya, membawa rasa bersalah yang samar. Ia tahu Arman merasa terabaikan, tapi apa yang bisa ia lakukan? Pekerjaannya menuntut begitu banyak waktu dan energi. Tapi di sisi lain, ia menyadari bahwa semakin hari hubungan mereka semakin renggang.
Lila mendesah, menutup laptopnya. Ia melirik jam di dinding-sudah lewat tengah malam. Dengan langkah pelan, ia menuju ranjang dan berbaring di sisi Arman. Tidak ada kata-kata yang terucap. Udara di antara mereka terasa berat, penuh dengan hal-hal yang tak terucapkan. Lila memejamkan matanya, berharap esok hari membawa perubahan. Namun di dalam hatinya, ia tahu, sesuatu telah retak.
Malam itu, Arman terbangun dengan perasaan gelisah. Ia melihat ke samping, Lila tertidur dengan punggung menghadapnya. Dalam kegelapan, Arman merasakan ada yang hilang. Hubungan mereka sudah lama tak terasa seperti dulu. Ia rindu kehangatan, rindu sentuhan, rindu percakapan yang dulu begitu mudah mengalir. Namun kini, setiap kata seolah harus dipikirkan matang-matang, setiap tindakan terasa canggung.
Arman bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke dapur. Ia menuang segelas air, meneguknya dengan perlahan. Dalam diamnya, pikirannya kembali melayang ke perasaan hampa yang terus menghantuinya. Dia mencintai Lila, tentu saja, tapi di sisi lain, ia merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang tak berujung. Apakah ini yang disebut krisis pernikahan? Atau mungkin ini hanyalah bagian dari perjalanan panjang sebuah hubungan?
Namun, di dasar hatinya, ada bisikan lain. Bisikan yang mengarahkannya ke sesuatu yang lebih menggoda, sesuatu yang belum pernah ia rasakan dalam beberapa tahun terakhir. Rasa ingin melarikan diri dari kebosanan. Rasa lapar akan perhatian, akan kegembiraan yang telah lama hilang.
Sementara Arman termenung, suara kecil di dalam dirinya terus tumbuh. Suara yang berbisik tentang kemungkinan lain, tentang kehidupan yang lebih bebas, tanpa beban tanggung jawab yang selalu menekan. Tanpa disadari, ia mulai memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya.
Esok paginya, Lila bergegas berangkat kerja lebih awal. Ia hampir tak sempat berpamitan, hanya sebuah pelukan singkat dan kata-kata formal seperti biasa, "Aku pergi dulu, hati-hati di jalan."
Arman hanya mengangguk sambil duduk di meja makan, menikmati sarapan yang hambar. Saat pintu tertutup, kesunyian kembali mendominasi rumah mereka. Arman memandang meja makan yang kosong di depannya. Lalu, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak asing.
"Good morning! Don't forget, meeting at 11. Can't wait to see you. - Sinta."
Arman menatap pesan itu. Sinta, rekan kerja barunya, selalu berhasil membuatnya tersenyum di kantor. Sinta selalu tampak ceria, penuh perhatian, berbeda dengan kesunyian yang ia rasakan di rumah. Tanpa berpikir panjang, ia mengetik balasan singkat.
"Looking forward to it too. See you soon."
Saat Arman menaruh ponselnya, ia merasakan sedikit percikan kegembiraan yang telah lama hilang. Namun, di balik kegembiraan itu, ada juga rasa bersalah yang perlahan tumbuh di dalam dirinya, seiring dengan kebosanan yang terus menggerogoti.
Bersambung...