Seorang pria yang selalu merasa dirinya setia ternyata menjalin hubungan rahasia dengan wanita lain. Perselingkuhan ini membuatnya merasakan cinta sejati untuk pertama kalinya, tetapi di sisi lain, ia harus menghancurkan hati istrinya.
Adrian duduk di kursi kayu di teras rumahnya, menatap halaman yang tertata rapi. Pagi itu, sinar matahari menyinari segalanya, membuat dedaunan tampak berkilau. Dia merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu wajahnya, tetapi hatinya terasa berat. Dalam pikirannya, ada keraguan yang terus membayangi.
"Mia!" teriaknya, berharap istrinya mendengar. "Kau sudah bangun?"
"Ya, sebentar!" jawab Mia dari dalam rumah. Suara lembutnya selalu bisa membuat hati Adrian bergetar, meskipun kini terasa seperti jarum yang menggores permukaan air yang tenang.
Tak lama kemudian, Mia muncul, mengenakan apron berwarna cerah dengan rambut yang terikat rapi. Senyumannya yang manis seakan menghapus semua keraguan dalam benak Adrian, namun di sudut hatinya, ketidakpuasan itu masih bertahan.
"Pagi, Sayang! Apa yang kau pikirkan?" tanya Mia, sambil menuangkan kopi ke dalam cangkir.
"Hmm, tidak ada apa-apa. Hanya menikmati pagi," jawab Adrian, berusaha terlihat santai. "Kau masak apa hari ini?"
Mia tersenyum lebih lebar. "Aku berencana membuat pancake kesukaanmu. Ayo, kita sarapan bersama!"
Adrian berusaha menikmati momen itu, tetapi rasa hampa tetap menggigit. Ia menatap Mia, yang tampak ceria, dan teringat ketika mereka pertama kali bertemu di sebuah kafe kecil. Saat itu, semuanya terasa lebih mudah, lebih bahagia.
"Kau ingat, kan? Saat kita pertama kali bertemu di kafe itu?" tanya Adrian, mencoba mengalihkan pikirannya.
"Siapa yang bisa lupa? Kau berusaha membujuk pelayan untuk memberi diskon karena kau merasa 'cinta pada pandangan pertama'!" jawab Mia sambil tertawa.
Adrian ikut tertawa, tetapi dalam hatinya, ada suara yang berbisik, mengingatkan bahwa tidak semua kenangan itu manis. Ia terjebak dalam rutinitas yang monoton, dan rasa ketidakpuasan itu mulai menggerogoti jiwanya.
"Adrian?" panggil Mia dengan nada curiga, melihat suaminya melamun.
"Hmm? Ya, sayang?" ia terbangun dari lamunan.
"Kau tampak jauh. Apa ada yang mengganggumu?" tanyanya, mencemaskan.
"Tidak, aku baik-baik saja," jawab Adrian, berusaha meyakinkan. "Hanya sedikit lelah dengan pekerjaan."
Mia menatapnya dengan penuh perhatian. "Kau tahu, aku selalu ada untukmu. Jika ada yang ingin kau bicarakan, jangan ragu."
"Terima kasih, Mia. Aku akan mengingatnya," ucap Adrian sambil mengalihkan pandangan, merasakan rasa bersalah menyelinap ke dalam dirinya.
Hari berlalu, dan saat Adrian pergi ke kantor, perasaan hampa itu kembali. Ia merasa terkurung dalam rutinitas yang tidak ada habisnya. Setiap detik terasa seperti beban, meskipun Mia selalu ada di sisinya, memberikan cinta dan perhatian.
Di kantor, Adrian berusaha berkonsentrasi pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Ia teringat pertemuannya dengan Clara, seorang rekan baru yang telah memicu rasa ingin tahunya. Clara, dengan senyum cerah dan tawa menularnya, membuatnya merasa hidup kembali.
"Adrian! Kenapa wajahmu kelihatan seperti baru saja melihat hantu?" tanya Rudi, sahabat sekaligus rekan kerjanya, sambil menepuk bahunya.
"Ah, tidak apa-apa. Hanya sedikit stres," jawab Adrian, berpura-pura tidak peduli.
Rudi mengernyitkan dahi. "Kau harus keluar dan bersenang-senang sedikit. Hidup hanya sekali, bro!"
Adrian hanya tersenyum tipis, tahu bahwa kehidupannya yang penuh tanggung jawab membuatnya sulit untuk bersenang-senang. Namun, hatinya bergetar setiap kali ia memikirkan Clara. Ketertarikan itu membuatnya meragukan semua yang dia percayai tentang cinta dan kesetiaan.
Ketika pulang ke rumah, Adrian merasakan ketegangan dalam dadanya. Mia sedang menunggu dengan masakan kesukaan Adrian di meja. Senyum Mia seolah menuntut kesetiaan, tetapi Adrian merasakan ada bagian dari dirinya yang mulai meragukan.
"Makanlah, Sayang. Ini semua untukmu," ucap Mia dengan tulus.
Adrian mengangguk, tetapi pikiran tentang Clara mengganggu fokusnya. "Terima kasih, Mia. Ini sangat enak."
Selama makan malam, Mia bercerita tentang harinya, sementara Adrian berusaha mendengarkan. Namun, di dalam hatinya, pertanyaan-pertanyaan mulai membara: Apakah ia bisa terus menjalani hidup ini dengan ketidakpuasan yang terus mengganggu? Apakah cinta yang ia miliki untuk Mia cukup untuk menutupi rasa ingin tahunya yang tak terpuaskan?
"Mia, aku..." Adrian terhenti, merasakan kesulitan untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam hatinya.
"Ada apa, Adrian? Kau tampak bingung," tanya Mia, menatapnya penuh perhatian.
"Tidak ada, Sayang. Aku hanya berpikir tentang pekerjaan," jawab Adrian, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Mia mengangguk, tetapi Adrian bisa melihat kekecewaan di matanya. Dia tahu bahwa sesuatu telah berubah, dan di balik semua senyum yang terlihat, ada luka yang semakin dalam.
Malam itu, Adrian terjaga dari tidurnya, terbangun oleh suara dering ponselnya. Melihat jam di dinding, ia terkejut karena sudah larut malam. Dengan malas, ia meraih ponsel dan melihat nama yang muncul di layar-Clara. Hatinya berdebar sejenak.
"Ya, halo?" ia menjawab, berusaha terdengar santai meskipun suara Clara terdengar ceria.
"Adrian! Aku baru saja ingin menghubungimu. Apakah kau punya waktu sebentar?" suara Clara menggoda, menciptakan rasa hangat di dalam hati Adrian.
"Uh, iya. Aku punya sedikit waktu. Ada apa?" tanya Adrian, tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Bagaimana kalau kita bertemu sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan," Clara menjawab.
Adrian terdiam sejenak. Ia tahu bahwa pertemuan ini bisa berbahaya, tetapi ada sesuatu yang memanggilnya untuk setuju. "Baiklah, di mana kita bisa bertemu?"
"Di kafe dekat kantor. Jam delapan, bagaimana?" Clara menjawab, suaranya penuh semangat.
"Ok, aku akan ke sana," ucap Adrian, berusaha menenangkan diri sebelum mengakhiri panggilan.
Dia berpikir sejenak. Bagaimana jika Mia mengetahuinya? Tetapi perasaan penasaran dan ketertarikan pada Clara tampaknya lebih kuat daripada rasa takutnya.
Pagi harinya, saat Mia bersiap-siap untuk pergi kerja, Adrian menyadari betapa berbedanya suasana hati mereka. Mia mengatur rambutnya di depan cermin, memeriksa penampilannya dengan teliti. "Adrian, kau sudah siap?" tanyanya, memandang suaminya.
"Iya, aku siap," jawab Adrian, meskipun hatinya terasa berat.
Mia menatapnya sejenak, seolah mencari sesuatu di dalam mata Adrian. "Kau tampak tidak enak. Apa ada yang mengganggumu?"
"Tidak, sayang. Hanya sedikit lelah," jawab Adrian sambil tersenyum palsu.
"Jangan terlalu memaksakan diri. Jika perlu, ambil cuti," Mia menyarankan dengan penuh perhatian.
Adrian mengangguk. "Terima kasih, Mia. Aku akan mengingatnya."
Setelah sarapan, mereka berpisah untuk menjalani hari mereka. Di dalam mobil, Adrian merasa pikiran tentang Clara mulai mengisi kepalanya. Meskipun ada rasa bersalah, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan senyuman Clara.
Setibanya di kantor, Adrian berusaha fokus pada pekerjaan, tetapi setiap kali ponselnya bergetar, hatinya berdebar. Dia tahu bahwa waktu pertemuan dengan Clara semakin dekat.
Sekitar jam delapan malam, Adrian sampai di kafe yang telah disepakati. Hatinya berdebar lebih cepat saat melihat Clara duduk di pojok, tersenyum lebar. Wanita itu mengenakan gaun sederhana yang membuatnya terlihat anggun dan menawan.
"Adrian! Kau datang!" Clara menyapa, melambai dengan antusias.
"Ya, aku datang. Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Adrian, mencoba untuk tidak terlihat gugup.
Clara memesan dua cangkir kopi dan mulai berbicara. "Aku hanya ingin berbagi beberapa ide tentang proyek yang kita kerjakan. Tapi juga... aku merindukan kita bercanda seperti dulu."
Adrian merasa hangat mendengar ungkapannya. "Iya, kita memang sering melakukannya. Rasanya lebih menyenangkan saat kau ada."
Clara mengangguk, lalu beralih ke topik yang lebih serius. "Adrian, aku merasa kita memiliki koneksi yang spesial. Kau tahu, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."
Mendengar pernyataan itu, jantung Adrian berdegup kencang. "Clara, aku..."
"Aku tahu kau sudah menikah, tapi... aku merasa ada sesuatu di antara kita yang tidak bisa kita abaikan," Clara menyela, matanya bersinar penuh harapan.
Adrian terdiam. Di satu sisi, ia ingin mengakui perasaannya, tetapi di sisi lain, rasa bersalah kepada Mia merasuk ke dalam pikirannya.
"Clara, aku... aku tidak tahu harus bagaimana," kata Adrian, suaranya bergetar. "Aku mencintai Mia."
Clara tersenyum lemah. "Aku tidak ingin menghancurkan pernikahanmu, Adrian. Tapi, aku juga tidak bisa menahan perasaanku."
Adrian merasakan konflik yang hebat di dalam dirinya. Cinta dan kesetiaan yang ia percayai mulai terasa rapuh. Ia berjuang untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Kau tahu aku merasa terjebak. Aku ingin bersamamu, tetapi aku juga tidak ingin menyakiti Mia."
"Cinta tidak selalu sederhana. Terkadang, kita harus berani mengambil risiko," Clara menjawab, suaranya penuh keyakinan.
Adrian menatap Clara, melihat harapan di mata wanita itu. Dia menyadari bahwa perasaannya kepada Clara bukanlah sekadar ketertarikan. Namun, membayangkan hidup tanpa Mia membuatnya merasa terjepit.
"Biarkan aku berpikir dulu," ucap Adrian, berusaha mencari cara untuk menenangkan hatinya.
"Baiklah, tetapi ingat, aku di sini jika kau butuh bicara," Clara menjawab, senyumnya tidak menghilang meskipun ada kesedihan di dalamnya.
Pertemuan itu berakhir dengan keheningan yang berat. Adrian pulang dengan perasaan campur aduk, menyadari bahwa jalan yang harus ia tempuh akan lebih sulit dari yang ia bayangkan. Kembali ke rumah, ia menemukan Mia sedang menunggu dengan senyuman ceria.
"Bagaimana harimu, Sayang?" tanya Mia, matanya berbinar penuh harapan.
"Baik, hanya sibuk dengan pekerjaan," jawab Adrian, berusaha menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi.
Mia meraih tangan Adrian. "Kita perlu lebih banyak waktu bersama, mungkin akhir pekan ini kita bisa pergi berdua."
Adrian tersenyum lemah, tetapi dalam hati, ia merasakan perasaan bersalah yang semakin mendalam. Di balik senyuman dan cinta yang terlihat, luka di dalam hatinya semakin dalam.
Malam itu, ketika Adrian berbaring di tempat tidur, ia menatap langit-langit, berpikir tentang pilihan-pilihannya. Ia mencintai Mia, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang baru dan menggairahkan yang muncul dalam hidupnya. Luka di balik kesetiaan mulai menggerogoti jiwanya, dan ia tahu, suatu hari, ia harus memilih antara dua cinta yang berbeda.
Bersambung...
Buku lain oleh dete
Selebihnya