Alina menatap cermin besar di kamarnya. Wajah cantik dengan riasan yang tebal, rambut terurai, dan pakaian serba mahal. Segala hal yang dimiliki Alina adalah impian banyak gadis seusianya, namun di balik semua itu, ia menyembunyikan perasaan tertekan. Kehidupan Alina selama ini dipenuhi dengan kebebasan tanpa batas, namun juga diwarnai oleh keributan yang tiada henti. Di sekolah, dia dikenal sebagai pembuat onar, selalu memimpin kerumunan dalam aksi-aksi yang membuat guru-guru mengelus dada. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Alina menatap cermin besar di kamarnya. Wajah cantik dengan riasan yang tebal, rambut terurai, dan pakaian serba mahal. Segala hal yang dimiliki Alina adalah impian banyak gadis seusianya, namun di balik semua itu, ia menyembunyikan perasaan tertekan.
Kehidupan Alina selama ini dipenuhi dengan kebebasan tanpa batas, namun juga diwarnai oleh keributan yang tiada henti. Di sekolah, dia dikenal sebagai pembuat onar, selalu memimpin kerumunan dalam aksi-aksi yang membuat guru-guru mengelus dada. Namun, ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Pagi ini, ketika dia turun ke ruang makan, orang tuanya sudah menunggunya dengan wajah serius. Sang ayah, Tuan Hadi, meletakkan surat di depan Alina saat dia duduk.
"Alina, kamu harus pergi ke pesantren," kata ayahnya dengan suara tegas yang tidak bisa ditawar.
Alina terperanjat, menatap surat di hadapannya dengan pandangan bingung. "Apa? Apa maksud Papa?" suaranya naik, menunjukkan kemarahan yang biasa dia gunakan untuk melawan keputusan yang tidak disukainya.
"Apa yang kamu dengar, Na," ibunya, Ny. Hadi, ikut menimpali. "Kamu akan tinggal di pesantren mulai minggu depan. Ini keputusan final."
Alina berdiri dari kursinya dengan kasar, matanya menyala marah. "Tidak, aku tidak mau! Aku tidak akan tinggal di tempat seperti itu!" teriaknya.
"Kamu tidak punya pilihan, Alina," Tuan Hadi berkata dengan nada yang lebih tegas. "Ini sudah terlalu jauh. Kami sudah memberikanmu kebebasan terlalu banyak, dan lihat apa yang kamu lakukan dengan itu. Sekolah sudah berkali-kali melapor bahwa kamu menyebabkan masalah."
Alina menggeleng, menolak mentah-mentah. "Aku tidak peduli! Aku bukan anak kecil lagi, aku bisa mengurus diriku sendiri! Pesantren itu bukan tempat untukku!"
Ny. Hadi mendekati putrinya, mencoba meredakan ketegangan, tetapi suaranya tetap tegas. "Alina, ini demi kebaikanmu. Kamu butuh disiplin, kamu perlu belajar tanggung jawab. Pesantren akan mengajarkan itu padamu."
Alina tertawa sinis, "Disiplin? Tangggung jawab? Aku tidak perlu itu. Yang aku butuhkan hanyalah kebebasan, dan kalian berdua sepertinya tidak bisa memberikannya padaku!"
"Tidak, Alina. Kamu butuh aturan. Kamu perlu mengerti bahwa hidup ini bukan tentang apa yang kamu mau saja. Di pesantren, kamu akan belajar tentang itu," tegas Tuan Hadi, menyudahi perdebatan.
Dengan napas terengah-engah, Alina melihat kedua orang tuanya bergantian. Air mata amarah menggenang di matanya, namun ia menahannya. Dia tidak akan menunjukkan kelemahan.
"Baik," katanya dingin. "Jika itu yang kalian mau, aku akan pergi. Tapi jangan pernah harap aku akan menjadi anak yang kalian inginkan." Alina lalu berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah cepat, membanting pintu di belakangnya.
Orang tuanya hanya bisa saling pandang, berharap keputusan ini bisa mengubah Alina menjadi lebih baik. Namun, dalam hati, mereka tahu ini akan menjadi perjuangan yang panjang.
**
Di dalam kamar, Alina membanting segala barang yang ada di dekatnya, frustrasi dengan kenyataan yang harus dihadapinya. Selama ini, dia selalu bisa lolos dari berbagai aturan, tapi kali ini, sepertinya tak ada jalan keluar.
"Pesantren...," gumamnya sinis. "Tempat untuk para malaikat palsu yang pura-pura baik."
Pikirannya berkecamuk. Kehidupan di pesantren adalah bayangan yang suram dan membosankan baginya. Dia membayangkan seragam yang serba tertutup, aturan yang ketat, dan kehidupan yang monoton. Semua itu membuat darahnya mendidih. Dia tak akan pernah cocok di tempat seperti itu.
"Jika mereka berpikir bisa mengubahku, mereka salah besar," Alina berkata pada dirinya sendiri. Dia merencanakan sesuatu dalam diam, sesuatu yang akan membuat orang tuanya menyesal mengirimnya ke sana. "Aku akan menunjukkan pada mereka bahwa Alina yang mereka kenal tak akan pernah hilang."
**
Dengan babak ini, Alina mulai menapaki jalan penuh liku yang akan membawa perubahan besar dalam hidupnya, baik yang ia inginkan maupun yang tidak. Sebuah perjalanan di mana dia akan menghadapi bukan hanya aturan baru, tetapi juga dirinya sendiri.
**