Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Jatuh Cinta Pada Ibu Susu Anak ku

Jatuh Cinta Pada Ibu Susu Anak ku

anyelir hijau

5.0
Komentar
449
Penayangan
6
Bab

"Jangan menghindari ku." Hans seolah memperingatkan Nina. Gadis yang menjalani status sebagai wet nurse, mahasiswi tingkat akhir sekaligus calon anak angkat dari suami ibunya yang akan menikah lagi. Dan, siapa sangka Ruth yang sebelumnya mengetahui pekerjaan putrinya, bahwa bayi yang disusui adalah anak dari calon suaminya. Hans, pria matang dengan usia 39 tahun menduda sepeninggalan mendiang isterinya. Warning 🔞Di setiap bab mengandung unsur dewasa!! Harap bijak

Bab 1 1

Nina mencoba bernegosiasi dengan Axelle bayi laki-laki yang kini berusia 7 bulan, nampak serius menyesap nipple-nya setelah lelah mengoceh dan bermain memutar-balikan tubuh kecilnya mulai belajar merangkak di atas kasur. Sejengkal atau tiga jengkal, ia belum terlalu masif bebas menumpu lutut dan tangannya. Sekali-kali ia menjatuhkan dadanya karena gagal mengulangi uji cobanya merangkak.

"Tidak apa, pelan-pelan saja Axelle."

Nina menghiburnya. Karena Axelle kesal dan menangis usahanya belum begitu gigih untuk bisa merangkak.

Awalnya hanya rengekan kecil, lama kelamaan berubah menjadi tangisan kencang. Suaranya memenuhi seisi kamar. Nina tak langsung menggendong Axelle mengganti tangisannya dengan asi. Ia harus selesaikan dulu melipat menata baju-baju Axelle ke dalam lemari. Tadi pagi bi Marni mencucinya.

"Sudah olahraganya? Haus banget ya?" Axelle tak sabaran mencari ujung susunya. Dua bukit kembar penghasil ASI-nya sudah penuh dan kencang akibat setengah harian Nina tak memberikan ASI-nya. Akhir-akhir ini ia tengah sibuk mengurus skripsinya. Jadi ia harus meninggalkan Axelle beberapa jam menitipkannya pada bi Marni, asisten rumah tangga yang bekerja di rumah orang tua Axelle hampir belasan tahun.

Bayi itu lebih suka minum asi secara langsung ketimbang meminum asi yang disimpan terlebih dahulu karena Nina meninggalkannya, ia harus menyimpan stok asi terlebih dahulu.

"Den Axelle sepertinya tidak suka tuan kalau ASI-nya di hangatkan." Bi Marni memberikan penjelasan pada Hans, ayah Axelle. Pria matang berusia 39 tahun yang menduda karena ditinggal istrinya sejak Axelle lahir.

"Apa Nina sudah pulang?" Pria itu harus lebih awal pulang ke rumahnya setelah mendengar penjelasan bi Marni dari ujung telpon. Axelle rewel dan terus-menerus gumoh tidak cocok minum asi yang diawetkan.

"Tuan sudah pulang?"

"Heemmm." Seperti biasa wajahnya datar, dingin dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Masuk dengan pakaian kantor dan tas jinjing hitam ditangannya.

Pokoknya, jika berhubungan dengan anak semata wayangnya Hans selalu nomor satu dan mengutamakanya. Ia tidak mau Axelle kenapa-napa. Itulah makanya ia sering rewel dan overprotektif.

"Dimana mereka bi?" Hans masuk ke ruang kerjanya maneuh tas dan terlihat melonggarkan dasi serta menaikan lengan kemeja birunya ke atas siku.

"Di kamar tuan." Jelas bi Marni mengantarnya.

"Tidak usah bi. Aku saja, bibi kembali saja bekerja."

Masalahnya bukan itu bi Marni hanya berjaga-jaga kalau tuannya itu tidak sembarangan masuk kamar saat Nina menyusui bayinya. Setidaknya jika bi Marni yang masuk terlebih dahulu Nina bisa merapikan pakaiannya sebelum Hans memergoki ibu asi bayinya dengan payudara kemana-mana.

"Mau saya buatkan minum, tuan?" Tawarnya.

"Nanti saja, bi." Hans menolak semua tawaran bi Marni berjalan menaiki tangga menuju kamar bayinya yang berada di lantai dua bersama Nina.

"Repot kalau begini." Jengah bi Marni melihat tuannya mendekati pintu kamar Nina yang tertutup namun entah di kunci atau tidak.

.

.

.

Hans meraih kenop pintu kamar Nina. Tidak terkunci rupanya, tidak ada niat macam-macam ia hanya ingin melihat kondisi bayinya setelah Nina tinggal setengah harian. Bukannya bersalah atau memukul kepalanya agar amnesia permanen, pemandangan pertama yang Hans lihat ketika membuka pintu kamar. Axelle tertidur di sebelah Nina yang juga tertidur masih dengan mulut menyusu.

Alih-alih segera keluar atau malu mendapati pemandangan 18 +, Hans berlagak jika hasratnya tidak akan tergoda. Ia malah berjalan ke sisi ranjang memeriksa bayinya sudah tak rewel lagi karena langsung menyusu dari pabriknya secara langsung.

'Syukurlah Axelle kalau kamu tidak rewel lagi'

"Dasar bayi pemilih." Seringai Hans seraya mengelus-elus pucuk kepala lucu Axelle yang tidur. Lalu mencium kulit kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut-rambut kecil.

Sengaja atau bagaimana, ia tidak hanya mengelus bayinya. Tapi menatap wajah Nina lekat hingga ada Axelle yang memisahkan jarak Hans dengan Nina. Mata hazelnya terpaku pada dua tonjolan besar milik Nina yang terbuka tanpa penutup. Serta wajah ayu gadis yang tengah tertidur bersama puteranya menyita atensinya. Cantik. Batinnya.

"Apa-apa ini?" Umpatnya. Ia tidak pernah memuji wanita secara gamblang sepeninggalan Alya. Wanita yang

telah membuatnya patah hati. Nina Paramitha, gadis yang ia temukan di bank asi saat hendak mencari ibu susu untuk bayinya.

Ia menganalisa setiap inchi wajah Nina yang masih pulas tertidur belum menyadari kehadiran laki-laki yang sekarang sedang mengabsennya.

Hans menelan salivanya. Otaknya tiba-tiba berpikir kotor, sepertinya ia harus memanggil petugas kebersihan untuk membuang pikiran cabulnya mengenai ibu susu di sebelah bayinya. Ia masih single, tapi karena kelebihan hormon prolaktin dan sempat terkena alergi berlebih Nina bisa mengeluarkan asi di usianya yang masih muda belum pernah hamil dan menikah.

Jakpot.

Istilahnya Hans mendapatkan ibu susu untuk bayinya. Rasanya ia ingin menerkam tubuh Nina yang kini terkulai dengan posisi membangkitkan sisi kelaki-lakiannya. Axelle masih menyedot ASI-nya sedangkan satu tangan kirinya menempel ke sisi gumpalan daging kenyal lainnya. Nina. Hans memindahkan tangan imut Axelle tapi tak sengaja malah jari-jari tangannya yang menyentuh bukit terbuka milik Nina.

Sadar ada pergerakan, Nina perlahan membuka matanya.

"Heuuum." Berusaha menetralkan manik matanya yang mengantuk. "Aaauuu." Bersamaan jerit kesakitan karena Axelle menarik nipple-nya berganti posisi tidur.

"Pak, sejak kapan ada disini?" Nina gelabakan, langsung bangun menyimpan pabrik susunya ke dalam bra dan merapikan pakaiannya.

"Sejak kamu tidur." Jawabnya datar.

'Dasar cabul'. Runtuk Nina. Tak ada penyesalan sama sekali setelah melihat benda berharga milik perempuan.

'Atau jangan-jangan dia malah menikmati.'

"Aku hanya mau memastikan Axelle baik-baik saja, Nin. Setelah bi Marni telepon kalau Axelle rewel dan gumoh terus-terusan."

Kebetulan, bonusnya. Ya, melihat Nina menyusui Axelle apalagi Nina selalu menghabiskan waktu menyusui bayinya dengan pakaian yang memudahkan bisa dengan cepat Axelle mengakses payu***anya ketika ia haus dan lapar. Dress ala busui.

"Oh, iya pak." Sahut Nina sembari menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. "Tapi Axelle aman kok pak setelah menyusu tadi." Jawab Nina memandang tuannya yang masih duduk di sisi ranjang dan sekarang sedang menatapnya.

Jujur. Walau sudah 7 bulan bekerja dengan Hans. Nina belum berani menatap laki-laki itu terang-terangan. Banyak alasan selain karena pria itu adalah majikannya, Hans juga tidak selamanya ingin menduda. Dia tidak tahu pasti, ia hanya mendengarnya dari bi Marni dan asisten-asisten rumah tangga lainnya. Dia ingin segera mencari isteri.

"Saya tahu, anak saya tidak cocok dengan asi yang disimpan ya. Pastikan jangan terlalu lama keluar meninggalkannya."

"Iya pak."

"Tapi asi mu lancarkan?"

"Iya pak."

"Heeemm. Jaga pola makan mu, saya tidak mau anak saya kekurangan nutrisi. Jika ada masalah bicarakan dengan saya secepatnya."

"Aiishhh." Nina mendengus kesal. Kenapa harus berbicara soal asi dengan pria sih. Apa tidak ada cara lain?? Risih dan menyebalkan. Tapi ya bagaimana lagi resiko pekerjaan dan sudah terikat perjanjian Nina harus menjalankan pekerjaannya dengan sebaik mungkin. Kalau tidak mau Hans mencak-mencak dan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti beberapa bulan yang lalu ASI-nya macet, mereka harus mengaku sebagai suami istri saat konsultasi ke dokter dan berakhir Hans membantu Nina mengompres payudaranya sedangkan Axelle merangung-raung tak sabaran ingin menyusu. Setelah opsi suami bisa menghisap nipple ibu untuk melancarkan ASI-nya tapi Nina menolaknya karena itu seperti dilecehkan. Lagipula Hans bukan suaminya, beralihlah ke opsi kedua mengompres payudara.

Sedikit gila tapi ini nyata. Tak pernah ada yang memperlakukannya seperti ini apalagi disentuh. Tentu saja Hans menyukai kegiatan mengompres dua bukit kembar milik Nina. Setelah lama menganggur tanpa perempuan disisinya.

.

.

.

"Gak usah bi saya ambil sendiri." Tolak Nina pada bi Marni yang ingin menyendokan nasi. "Pak Hans saja."

Nina berdiri menyandang piringnya, mengambil nasi dan lauk pauknya. Menyusui membuatnya sering lapar dan membutuhkan banyak cemilan. Kali ini ia makan siang bersama Hans setelah memastikan Sulthan kenyang dan tidur.

"Ini tuan."

"Makasih bi."

"Tuan perlu yang lainnya?"

"Cukup bi saya bisa ambil sendiri."

"Baik tuan, kalau begitu saya tinggal dulu." Bi Marni pergi menyisakan mereka berdua, makan dalam keheningan selama beberapa menit.

"Cemilan mu masih banyak?" Hans membuka obrolan kembali.

"Masih pak, roti gandum."

"Yang lainnya?"

"Itu saja."

"Nanti sore kita belanja kebutuhan mu."

"Apa?"

"Tidak punya kuping!"

Nina bukannya tuli tapi dia kaget saja. Kenapa harus berbelanja bareng. Ia bisa sendiri atau menitip mbak Dewi asisten yang biasa belanja kebutuhan rumah.

Hans tidak mau mengulang. Sekali ini perintahnya ya harus dilakukan. Ia tidak suka penolakan. Demi kebutuhan nutrisi dan perkembangan bayinya. Ia tidak mau coba-coba.

"Iya pak."

Sahut Nina menghabiskan makanannya. Ia tidak terlalu banyak makan, ia akan makan lagi jika lapar. Selesai menaruh piring kotornya di wastafel Nina ingin minum air dingin yang sudah disimpan di kulkas. Ia hanya minum jika dia ingin karena khawatir Axelle batuk dan pilek jika terlalu banyak minum air es.

'Haahhh'

Lega rasanya. Ia kembalikan botol air ke dalam tatakan kulkas setelah mengambil airnya memenuhi gelas. Ia berniat kembali ke kamar, namun saat ia berbalik memutar bahunya. Ia dibuat terkejut, Hans sudah berdiri di belakangnya hendak meraih gagang pintu.

Jantungnya serasa mau copot. Nina menabrak dada pria yang jauh lebih tinggi darinya bahkan mereka terlihat seperti Hulk dan kurcaci. Hans memerosotkan dahinya membuat Nina mundur terpojok di dinding kulkas. Jarak mereka terlalu dekat bahkan Nina bisa mencium wangi di ceruk leher pria itu.

"Kamu kenapa?" Tanya Hans.

"Pak."

"Minggir." Pelotot Hans tak merasa bersalah. Lalu meraih sekaleng soda dan meneguknya perlahan.

Glek.

Nina menelan salivanya menatap jakun Hans yang naik turun. Merasa diperhatikan pria itu menoleh dan membuang muka setelah melempar kaleng kosong masuk ke dalam bak sampah.

Huhhh.

Untung ia tak punya riwayat terkena jantung koroner. Selamat, imbuhnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku