Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Alisha: Wanita yang Kau Sia-siakan

Alisha: Wanita yang Kau Sia-siakan

Luigyhara

5.0
Komentar
3K
Penayangan
32
Bab

Tak pernah terpikirkan oleh Alisha, pernikahannya akan berakhir karena sebuah pengkhianatan. Rama, suami yang ia bangga-banggakan ternyata mengkhianatinya dan menjalin sebuah hubungan dengan teman aktrisnya. Dengan hati yang tertanam luka, Alisha meninggalkan rumah juga mantan suami yang bahkan tak mengucap maaf. Tak ingin hidupnya hancur karena seorang lelaki brengsek, Alisha pun berusaha melanjutkan hidupnya dimulai dengan mencari kerja berbekal ijazah SMA. Beruntung, temannya menawarkan sebuah pekerjaan, menjadi baby sitter anak dari Damar, seorang CEO muda. Gaji yang besar membuat Alisha menerima tawaran kawannya. Ketulusan hatinya dalam merawat anak mampu membuat Damar jatuh hati. Namun, di saat bersamaan Rama kembali muncul dalam hidupnya. Kata rujuk Pria itu lontarkan. Siapa yang harus Alisha pilih? Damar yang selalu menunjukkan perhatian atau Rama yang menunjukkan penyesalan?

Bab 1 Hancurnya harapan

Jemari Alisha mengetuk-ketuk permukaan meja yang mengkilap. Sesekali matanya melirik jam di dinding. Jam makan malam sudah hampir lewat, dan makanan yang tersaji di atas meja mulai dingin. Namun, Rama belum juga pulang.

Alisha meraih ponselnya di ujung meja, mengetik nama sang suami dan menempelkan benda pipih itu di telinga. Hingga dering berakhir Rama belum juga mengangkat panggilan. Alisha kembali mencoba, tapi hanya ada suara operator yang memberitahukan bahwa ponsel Rama tidak aktif.

“Kamu ke mana sih, Mas?”

Siang tadi Alisha menghubungi manajer Rama untuk bertanya jadwal suaminya itu. Manajer Rama bilang hari ini hanya ada beberapa adegan yang harus direkam jadi Rama bisa pulang cepat. Alisha tentu senang. Setelah sekian lama akhirnya dia bisa makan malam bersama suaminya lagi. Sudah hampir tiga bulan ini Rama jarang pulang karena menggarap sebuah film layar lebar.

“Apa Mas Rama tidur di lokasi suting lagi?”

Alisha mengurut kening yang terasa pening. Dia memutuskan untuk menunggu sebentar lagi. Jika Rama belum juga pulang dia akan makan malam sendiri. Lagi.

Dentingan jam yang tergantung di dinding menemani Alisha. Hanya suara benda mati itu dan hembus halus nafas Alisha yang mengisi rumah sebesar ini. Terkadang Alisha merasa kesepian dan butuh teman. Akan tetapi Rama jarang mengizinkannya keluar. Sebagai seorang istri Alisha hanya bisa menuruti perintah Rama.

Dua jam berlalu Alisha habiskan dengan menatap dua buah pintu yang tertutup rapat sambil berharap salah satu daunnya akan terdorong, dan sesosok Rama akan muncul dengan senyum tipis. Namun, hal yang dia inginkan tak terjadi. Hari semakin malam dan udara menjadi semakin dingin. Dentingan jarum jam menjadi semakin nyaring, berlomba dengan gemuruh pelan dari mesin pendingin ruangan.

“Gimana kalau aku telfon lagi?”

Dia mengangguk, mengangkat ponsel yang sebelumnya sudah ia geletakkan di meja. Alisha berdehem kecil sambil menempelkan ponsel ke telinga. Tak seperti sebelumnya. Saat dering kedua panggilannya akhirnya diangkat. Namun, bukan suara Rama yang menyambutnya melainkan suara halus seorang perempuan.

“Halo. Dengan siapa?” tanya suara di seberang.

Alisha membeku. Itu bukan suara manajer maupun Gladys, adik Rama. Dia menggelengkan kepala. Mengatakan pada dirinya bahwa mungkin itu salah satu staf di lokasi suting.

“Saya ….”

Alisha terdiam, bingung bagaimana memperkenalkan dirinya. Pernikahan mereka dirahasiakan dari publik juga teman-teman entertainment Rama.

“Saya saudaranya Mas Rama.”

“Saudara?”

“Iya, Gladys.” Terpaksa Alisha membawa nama Gladys.

“Maaf ya Gladys, gue kira siapa tadi.”

Kernyitan muncul di kening Alisha mendengar nada lawan bicaranya yang berubah lembut.

“Memang nama saya nggak tertulis di kontak Mas Rama?”

“Enggak. Cuma empat digit nomor. Lucu ya, kalian. Cara namain kontaknya beda dari yang lain.”

Tawa merdu dari perempuan itu menelisik ke telinga Alisha. Nanti Alisha harus meminta maaf pada Gladys—adik Rama yang selalu mengajaknya belanja karena katanya tidak punya teman—karena sudah memakai namanya.

“Maaf, tapi boleh tau ini siapa dan Mas Rama-nya di mana, yah?”

“Oh, iya. Aku Rindi, teman main Kakak kamu di film kali ini. Kalau Rama sekarang lagi ada di toilet. Kamu—"

“Toilet?”

“Iya. Kita lagi ada di kafe Cempaka. Eh ini Rama mau ke sini. Sebentar—“

Alisha segera mematikan ponsel. Tangannya terangkat menyentuh dada, merasakan degup jantungnya yang bertalu-talu. Berbagai pemikiran buruk menggeranyam memenuhi kepalanya. Segera Alisha berdiri. Dia menggulir ponsel memesan taksi online dengan tujuan kafe Cempaka.

Mata Alisha menerawang jauh keluar jendela. Bulir-bulir keringat memenuhi keningnya membuat tepian kerudung coklat itu basah. Kedua tangan Alisha saling menggenggam kuat. Dia bukannya curiga tanpa alasan. Karena selama beberapa bulan terakhir Rama menunjukkan gelagat aneh. Dia mudah tersinggung dan sering mengabaikan Alisha. Sama sekali tak menganggap keberadaan istrinya itu.

Rindi. Tentu Alisha tahu siapa perempuan itu. Aktris muda dan cantik yang menjadi lawan main Rama di film terbaru. Film yang sama yang membuat Rama jarang pulang tanpa kabar. Bukan hanya itu. Alisha juga sering menemukan komentar penggemar keduanya yang menjodohkan mereka, apalagi setelah melihat foto keduanya di sosial media Rama maupun Rindi. Alisha pernah bertanya kenapa Rama memposting fotonya berdua degan Rindi. Dengan acuh tak acuh Rama menjawab bahwa itu untuk kepentingan projek film mereka. Dan Alisha hanya mengangguk, lalu kembali diam.

Perjalanan menuju kafe Cempaka terasa seakan bertahun-tahun lamanya. Entah sudah keberapa kalinya Alisha menghembuskan nafas panjang demi menenangkan kegelisahannya. Walau usahanya tak kunjung berhasil. Semakin ponsel sopir taksi online itu mengatakan jarak menuju kafe Cempaka yang semakin berkurang, semakin cepat juga debaran detak jantung Alisha.

Saat mobil berwarna biru muda itu berhenti dan suara mesinnya mulai hilang, Alisha memejamkan mata. Dia harus tenang. Harus. Maka, saat kelopak indah itu kembali terbuka, seutas senyum ikut terlukis.

“Mbak. Nggak apa-apa. Saya nggak tahu apa yang lagi terjadi, tapi saya yakin semuanya bakal baik-baik aja.”

Tangan Alisha yang mengulurkan uang membeku di udara. Semua suara berisik di kepalanya berangsur menghilang. Walau degup di jantungnya tak juga membaik, Alisha yakin dia sudah merasa lebih tenang.

“Terima kasih, Pak,” ucap Alisha dengan suara serak.

Sopir taksi itu tersenyum dan pamit pergi. Sekarang hanya ada Alisha di sana. Di tengah ramainya manusia yang sibuk dengan kepentingan masing-masing. Ada begitu banyak ekspresi yang mereka keluarkan. Ada yang tertawa seakan mereka makhluk paling bahagia dan ada juga yang menundukkan kepala, menutupi kesedihan yang terlukis di wajah.

Alisha memperhatikan semuanya sebelum mulai mengangkat kakinya yang terasa berat. Pintu kafe yang terbuka itu terasa begitu jauh. Butuh perjuangan besar bagi Alisha hingga tangannya bisa mencapai pintu hitam itu.

“Bismillah ya Allah,” bisiknya dengan mata menatap lantai.

Dia berdiri di pintu, sehingga seseorang yang hendak masuk tak sengaja menabraknya. Baru setelah itu Alisha mampu mengangkat kepala.

“Maaf,” ucapnya pelan pada perempuan yang mengernyitkan alis kesal.

Setelah perempuan itu pergi Alisha melangkahkan kaki menjauh dari pintu. Dia menggigit bibir kuat, sedangkan kedua tangannya mengepal. Matanya berputar, tapi tak kunjung menemukan dua sosok yang dia cari. Hingga matanya menangkap undakan tangga di samping meja kasir.

Alisha melangkah cepat. Dia menaiki satu persatu anak tangga. Hingga saat sudah mencapai anak tangga terakhir, Alisha dapat melihat sebuah pintu hitam yang tertutup. Kakinya melangkah perlahan tanpa suara.

Ternyata pintu itu tidak terkunci. Dapat tertangkap oleh telinga Alisha suara tawa dari dalam sana. Dia menelan ludah yang seolah memadat dengan susah payah sedangkan tangannya perlahan menyentuh gagang berbahan besi yang terasa dingin.

Dengan gerakan halus dia mendorong pintu itu hingga memunculkan celah yang lumayan lebar. Kepala Alisha mendekat. Dapat dia lihat punggung seorang pria ber-jas hitam yang tengah memangku perempuan berambut panjang.

Hingga perempuan itu berdiri dan menghadap pria berjas itu, membuat Alisha bisa melihat dengan jelas paras cantiknya.

“R—Rindi?” gumamnya.

Tangan Alisha terangkat menutup mulut, melihat dua orang itu berciuman mesra. Rindi, aktris muda itu mengucap kata cinta dengan senyum manis, membuat pria di depannya berdiri dan mengecup pipinya.

“I love you too Rindi.”

Tepat setelah suara familier itu terdengar, pria tersebut berganti posisi di belakang Rindi dan memeluk pinggang perempuan itu. Rahang yang bersih oleh kumis dan hidung mancung serta mata bernetra kecoklatan yang teramat Alisha hapal.

“Mas … Rama?”

Mata Alisha melebar. Segera dia bersembunyi di balik dinding, menutup mulut rapat agar tak kelepasan mengeluarkan suara. Otaknya bekerja cepat mencerna apa yang sedang terjadi, secepat degupan di hatinya.

Kakinya terasa lemas, membuatnya menyandarkan seluruh beban tubuh pada dinding. Itu Rama, suaminya yang sedari sore ia nanti kepulangannya. Suami yang sudah satu minggu tak dia lihat batang hidungnya. Suami yang pernah membisikkan kata cinta padanya, serupa seperti yang tadi ia bisikkan pada perempuan lain itu.

“Mas Rama. Apa yang kamu lakuin, Mas?”

Kepala Alisha terasa berat. Otaknya seakan membeku. Sebagian dari dirinya menyuruhnya untuk masuk ke ruangan itu dan sebagian dirinya memintanya untuk pergi dari sana. Alisha sungguh bingung. Dia memejamkan mata kuat-kuat, merasakan denyut menyakitkan, seakan ada sebilah pisau tumpul yang berusaha menusuk hatinya.

Tiba-tiba ponsel di saku Alisha bergetar. Segera dia mengambil ponsel itu. Ternyata itu notifikasi pengingat enam bulan pernikahannya dan Rama. Seketika sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Dia membuka aplikasi kamera lalu menekan ikon video.

Dengan tangan bergetar Alisha mengangkat ponselnya, mendekatkannya pada celah pintu. Ia tak tahu apa dan untuk apa dia melakukan hal ini. Dua menit dia habiskan menggenggam ponsel yang merekam Rama dan Rindi, akhirnya tangan Alisha terkulai. Tak lagi bisa menahan beban yang terasa menghantam pundaknya.

Dia melangkah cepat menuruni tangga, keluar dari kafe yang penuh gemerlap lampu itu dengan hati lebur.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Luigyhara

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku