Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Terlarang Mencintaimu

Terlarang Mencintaimu

Dewi

5.0
Komentar
23
Penayangan
3
Bab

Diselingkuhi calon suami sendiri, Alana tak ingin memperlihatkan kemalangannya pada siapapun, termasuk pada Damar. Tepat setelah hari di mana Alana mengetahui Damar selingkuh, Alana berniat untuk balas dendam. Alana akan membuat Damar membayar rasa sakit hatinya. Entah kebetulan atau memang takdir yang telah disuratkan untuknya, nasib Alana sama persis dengan Arion. Pertemuan keduanya yang awalnya kacau dan buruk, malah berakhir dengan kesepakatan pernikahan yang tak diduga sebelumnya. Rupanya nasib serupa itu membuat pikiran keduanya tak logis dan memilih untuk melakukan balas dendam dengan cara terburuk. Sebuah pernikahan kontrak menjadi pelampiasan mereka untuk membuat mantan masing-masing jera. Tetapi, siapa sangka jika panah asmara tak memilih-milih sasarannya. Sekalipun Alana dan Arion mengelak perasaan yang perlahan tumbuh diantara keduanya, mereka tetap terjebak dalam cinta yang seharusnya tak pernah ada.

Bab 1 Membatalkan Rencana Pernikahan

Alana berjalan keluar dari ruang fitting gaun pengantinnya menuju ruang tunggu yang ada cermin besar setinggi tubuhnya. Wajahnya ketus, memerah tapi bukan karena haru dan bahagia membayangkan dirinya yang akan segera menuju pelaminan nan sakral itu. Melainkan karena amarah yang sudah dia pendam sekian lama dan sekarang tak bisa ditahannya lagi.

Darahnya seperti naik ke ubun-ubun melihat foto yang baru saja dikirim ke ponselnya dari nomor anonim. Tatapan Alana tajam melihat ke arah sosok pria tinggi di dalam foto. Pria yang notabene harusnya datang bersamanya ke butik untuk mempersiapkan perlengkapan pernikahan mereka, malah dilihatnya sedang memeluk mesra pinggang seorang wanita yang sayangnya wajahnya tak bisa Alana lihat.

"Bisa-bisanya dia menipuku! Beraninya dia selingkuh saat hari pernikahan kami hanya tinggal menghitung hari saja! Harusnya aku memang nggak pernah ngikutin mau Mama buat nikah sama dia!"

Bersamaan dengan itu ponsel Alana berdering. Gambar yang tadi membuatnya marah besar sekarang digantikan oleh tulisan 'Damar Atmajaya'. Tunangannya itu baru menelepon setelah Alana menghubunginya lebih dari sepuluh kali sebelum tiba di butik. Bibirnya menegang. Pandangannya seperti anak panah yang siap lepas landas ke titik target. Tak sabar ingin memberikan rasa sakit yang tak akan dilupakan Damar karena telah mempermainkannya.

"Terserahlah apa alasannya, aku nggak mau tahu! Kalau emang nggak niat datang, ya udah! Mungkin lebih baik kalau kita juga nggak usah jadi nikah!" bentak Alana lantas mematikan ponselnya sebelum Damar sempat bicara.

Tangannya masih mencengkeram ponsel itu begitu kuat. Tetapi hal lain menarik perhatiannya. Matanya membulat lebar saat tak diduganya ada seorang pria yang sedang mengamatinya dari sofa tepat di seberangnya berdiri saat ini.

"AARRGHHH!"

Pekikan itu sontak membuat dua orang staf yang tadi membantunya berpakaian segera berlari terbirit-birit menghampiri Alana. Mengabaikan sikap ketus Alana pada mereka tadi, dua orang itu memberanikan diri menanyai Alana yang masih berdiri tegang di dekat cermin besar itu.

"Nona? Ada apa? Apa yang-"

"KENAPA ADA DIA DI SINI?"

Pertanyaan Alana itu terdengar seperti bentakan bagi kedua staf tadi. Sama halnya dengan reaksi Alana, kedua staf itu pun terlihat kebingungan dengan kedua mata mereka yang saling memandang, mencari pembenaran.

"USIR DIA!"

Berbeda dengan Alana yang terlihat sangat marah, bahkan urat-urat nadi di lehernya tampak jelas sekarang, sementara pria berjas navy yang ada di hadapannya bangun dari duduknya santai. Seolah ingin meledek sikap Alana yang baginya cenderung berlebihan, pria itu menjawab ponselnya dan hanya menatap Alana datar.

"Ya, ini aku. Hm... sepertinya kita bicarakan nanti, ada sedikit gangguan di sini."

'Gangguan?' batin Alana dengan jari-jarinya yang kini terkepal semakin kuat menahan amarah.

"Oke, bye."

Pria itu mematikan ponselnya dan dengan langkah penuh percaya diri berjalan menghampiri Alana. Raut wajah pria itu sama sekali tak berubah. Tenang, tak menunjukkan reaksi apapun.

"Bagi wanita yang akan segera menikah, marah-marah itu nggak bagus. Ck! Apa karena sikapmu yang minus ini makanya kamu datang sendirian ke tempat ini?"

Wajah Alana semakin merah dipermalukan oleh orang asing di hadapannya itu. Saking marahnya, Alana bahkan tak bisa mengucapkan sepatah kata pun lagi. Kerongkongannya seakan tercekat dan suaranya mendadak hilang.

"Saya permisi."

Belum sempat Alana berkata apapun, pria itu sudah melengos pergi. Ini sangat memalukan!

"Apa-apaan dia!" gerutu Alana geram sekali.

"A-ah itu... maaf soal yang barusan, Nona. Kami sungguh..."

Alana berbalik dan segera meninggalkan kedua staf tadi. Tak peduli apa yang akan dikatakan pegawai wanita muda tadi. Amarahnya sudah memenuhi dada dan bisa jadi jika dia tetap di sana, kata-kata kasar akan keluar dari mulutnya tanpa bisa dihentikan.

Harinya sudah buruk dan sekarang situasi tak terduga itu semakin memperkeruhnya. Emosi Alana yang tak stabil saat ini bisa membuat kekacauan yang lebih parah lagi jika dia tak segera meninggalkan ruangan itu.

Terburu-buru Alana melepaskan gaunnya, tak peduli jika ada bagian yang robek sekali pun. Jikalau memang ada, dia akan membayar berapapun. Alana sudah tak memikirkan nasib pernikahannya lagi. Entahlah, mungkin sejak awal ide pernikahan itu memang ide yang buruk.

"Urus semuanya dan laporkan saja pada Damar Atmajaya! Aku sudah nggak mau tahu lagi!"

Setelah mengeluarkan tatapan ketusnya yang tajam itu, Alana meninggalkan meja resepsionis dengan kesal. Beberapa staf terus meminta maaf namun Alana bersikap seolah tak mendengarnya.

Perhatian Alana teralih saat mendengar dering ponselnya tak juga berhenti. Dia melirik ke bangku mobil di sampingnya dan saat melihat nama Damar di sana, bibirnya hanya berkedut kecil. Tangannya masih mencengkeram kuat kemudi untuk menahan emosinya yang bisa saja meluap-luap lagi sekarang.

"Mau apa lagi sih dia! Lihat saja, dia akan menyesalinya. Dia pikir bisa mempermainkanku seperti itu, hah? Dasar hidung belang nggak tahu diri!"

Alana ingin mengabaikan dering ponselnya itu namun sayangnya hatinya semakin terusik. Dia ingin mengeluarkan semua uneg-unegnya itu pada pria yang seharusnya datang bersamanya hari ini.

Alana meraih ponsel di sampingnya dan bersiap untuk mengeluarkan kata-kata menyakitkan yang akan membuat Damar jera. Beraninya dia mempermalukan dirinya seperti hari ini!

"Apa lagi yang mau kamu bahas sekarang, hah? Aku sudah cukup-"

Kedua mata Alana membeliak lebar saat menyadari sesuatu yang buruk di depannya. Keringat dingin mengucur deras. Alana bahkan bisa merasakan bulir-bulirnya turun seperti air terjun di punggungnya sekarang. Sayangnya, ketika otaknya bekerja keras untuk melakukan tindakan darurat, sistem syaraf di seluruh bagian tubuhnya sama sekali tak bisa diajak kompromi.

"AARGH!"

Alana memejamkan matanya, tak sanggup melihat akibat dari perbuatannya itu. Suara kencang yang didengarnya sekarang bagaikan mimpi buruk yang membuatnya gemetar hebat. Kepalanya mendadak pusing dan nyeri setelah dahinya membentur kemudi. Untungnya tubuhnya masih berada di posisi semula, mungkin Tuhan masih mengasihaninya.

Alana masih tertunduk. Dia masih memproses kejadian yang sangat cepat itu. Kini dahinya menempel di atas satu lengannya yang masih bertengger di kemudi. Napasnya tersengal-sengal seakan dia baru saja menyelesaikan lari putarannya.

"Hei! Yang benar saja! Kenapa kamu menabrak mobilku, hah!"

Suara dari luar kaca mobil samar-samar terdengar Alana. Perlahan dia menaikkan kepalanya dan menoleh ke sisi kaca. Pandangannya agak buram lantas dia menurunkan kaca mobilnya dengan jarinya yang masih bergetar hebat.

"Turun sekarang juga! Kamu harus tanggung jawab!"

Alana hanya bisa menelan ludah. Nasibnya yang sudah sial sekarang bertambah sial.

'Mimpi apa aku semalam sampai hari ini kacau sekali?' batinnya sembari mengulurkan tangan lagi untuk membuka pintu mobil, bersiap menghadapi situasi yang mungkin akan lebih buruk.

Seiring dengan penglihatannya yang mulai jelas, mata bundar Alana terbeliak. Bibirnya sedikit terbuka hendak bicara, namun tak satu pun kata yang mampu keluar.

Benaknya tengah berkecamuk sekarang. 'Kenapa ada dia di sini?' batinnya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku