Ramadan, seorang pemuda pebisnis yang harus mendapatkan istri dalam waktu satu bulan karena adik perempuannya yang bernama Wulan hendak menikah dalam waktu dekat. Keluarganya menegang teguh aturan jika adik tidak boleh melangkahi kakak dalam hal pernikahan. Ramadan bertemu dengan cinta Fitri, cinta pertamanya kala di SMA setelah menolong bocah hafiz Al-Qur'an yang kecelakaan. Perjalanan mendapatkan cinta Fitri tidak mudah. Ramadan harus berhadapan dengan Reza, laki-laki yang selama ini menjaga Fitri. Ranadan juga menemukan kesulitan akibat temperamen Fitri yang mudah meledak.
BAB 1
Fauzi Ramadan, itu adalah aku
sebagai laki-laki yang baru saja duduk di kursi tamu pada pesta pernikahan Ryan, sahabatku, yang menikah untuk kesekian kalinya
setelah melalui perceraian yang kesekian kalinya juga. Aku kurang yakin berapa
kali itu terjadi kepada
Ryan. Kalian panggil aku Ramadan saja, sama seperti mereka yang mengenalku.
Kalian juga akan mengenalku setelah ini, 'kan?
Pernikahan adalah hal yang
istimewa. Ya, aku mengenang pesta
pernikahanku sendiri. Apakah aku sendirian saja saat ingatanku kembali pada
kejadian beberapa waktu yang lewat itu? Untuk sementara, aku memang sendirian, tapi bukan
karena masih sendiri dan hanya datang sendiri. Nanti aku akan jadi bertiga
duduk di sini. Itu, di sebelah kanan-kiriku ada masing-masing
satu kursi yang sudah kusiapkan untuk dua orang yang belum terlihat keluar dari
ruang rias pengiring pengantin wanita. Putriku yang berusia setahun dan istriku sedang berdandan. Mereka sangat cantik. Kalian
pasti setuju denganku jika bertemu dengan keduanya. Aku jamin itu.
Sedari tadi sudah ada lima orang
yang tidak jadi duduk di samping kiri dan kananku karena ada kotak snack dan tas tangan perempuan yang
sengaja kuletakkan sebagai tanda kursinya sudah ada yang punya. Sudah lebih
dari lima wanita yang senyum kepadaku dan kutunjukkan cincin di jari manisku,
mengabarkan kepada mereka
jika aku sudah ada yang punya.
Istriku berpesan, "Ramadan, aku sangat mengerti jika pesonamu itu bisa
membuat banyak wanita gelap mata. Hanya satu yang kuminta, tunjukkan saja
cincin itu pada mereka. Kalau mereka tidak mengerti juga, biar aku yang
tunjukkan cincinku yang sama dengan cincinmu tepat pada bola matanya. Biar dia
lihat banyak bintang berputar dan menyesal untuk tahu betapa kerasnya cincinku
itu."
Butuh perjuangan panjang untuk mendapatkan hati istriku. Aku
sempat merasa susah hati karena sangat cinta kepadanya, tapi ternyata hatiku justru lebih susah saat jauh dari
cintanya. Aku ingin mengenalkan dia kepada kalian, sekaligus menceritakan perjalanan cinta kami.
Sebuah cerita cinta yang selalu abadi dalam benak dan hatiku karena ini bukan
kisah yang sederhana. Setidaknya bagiku yang memang merasa lebih nyaman dengan
yang serba sederhana, aku kurang suka pada kerumitan. Jika bisa mudah, kenapa harus dibuat susah?
Namun, cinta ternyata tidak sesederhana
yang kukira. Aku
kesulitan ketika berusaha mendapatkannya. Tak semudah bicara karena cinta tidak
bisa diterjemahkan dengan kata-kata. Istriku bukan wanita yang terlalu mudah
terpesona pada pandangan pertama, berbeda dengan aku yang jatuh cinta kepadanya sejak kami SMA.
Teman-teman dekatku menilai istriku yang cantik itu
posesif. Pasti karena beberapa kriteria pria idaman ada padaku, demikian kata istriku, dan juga orang-orang yang mengenal kami. Meskipun aku tak
sependapat, mereka
tetap memandangku seperti itu, sebagai lelaki tampan yang mapan, punya bisnis
yang maju, punya rumah, mobil,
dan motor. Semua dibeli kontan. Dalam artian materi bukanlah sumber masalah
dalam kehidupanku. Padahal aku biasa saja memandang apa yang ada dalam diriku
dan yang kujalani dalam hidup ini.
Bapak dan ibuku dosen. Adik perempuanku cuma satu,
cantik seperti Ibu, namanya Wulan. Ia bekerja menjadi guru di SD Internasional. Muridnya hampir semua
bule.
Sepertinya kami keluarga
berpendidikan dan modern, ya? Tidak
juga, sih. Untuk
beberapa hal seperti daam budaya dan adat istiadat, keluarga kami termasuk
orang kota yang ndeso. Meskipun rumahku ada di kompleks perumahan modern, bentuknya masih Joglo. Sama seperti rumah orang
tuaku yang di meja makannya pasti selalu terhidang makanan tradisional seperti,
kue cucur, klepon, getuk, pepes tahu dan sayur gudeg. Meja makannya dari kayu jati. Pintu tiang
penyangga, kursi tamu, tempat tidur dan beberapa perabot lainnya juga terbuat
dari kayu jati Jepara yang spesial
dipesan dan dikirim dari Depok.
Wulan sudah menikah. Suaminya CEO
yang tinggal di USA. Namanya Joko Parwoto, blasteran Texas dan Sidoarjo.
Bapaknya Amerika, ibunya
Jawa Timur. Aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan DimasJek. Namun, bukan berarti Wulan lebih
modern, tidak! Mungkin hanya dia guru yang selalu pakai kebaya tanpa menunggu Hari
Kartini tiba, sama seperti ibuku.
Usia kami sebagai kakak beradik
hanya selisih satu tahun. Karena Ibu dan Bapak tidak mau ikut program KB, dan
ternyata Allah hanya menitipkan kami berdua kepada mereka.
Saking ndesonya, urusan pernikahannya pun tidak modern. Dulu ketika Wulan
baru bertunangan dengan Joko Parwoto, dia tidak mau menikah kalau aku belum
menikah. Sementara dia dan calon suaminya, juga orang tua kami dan orang tua DimasJek, sudah menentukan tanggal dan
bulan pernikahan. Wulan dan Joko akan duduk di pelaminan setelah Bulan Haji
tahun 2019. Itu artinya, dalam satu
bulan, aku harus mendapatkan calon istri.
"Seharusnya ini gampang banget
buat laki-laki seperti lu, Ram. Tampang ganteng, punya duit. Banyak yang mau
cuma terlalu milih!" ledek Ryan, sahabat sekaligus rekanan bisnisku.
"Istri, Bro. Bukan kayak cari
sepatu, cobain sebentar, pas ukurannya, enak dipakenya, trus bayar. Bosen, beli lagi." Selalu begitu argumenku.
"Trus, lu yakin dalam satu bulan
ini bisa dapet calon istri yang tepat?"
"Yakin bakal dapet yang terbaik!"
"Dasarnya yakin?"
"Allah nggak pernah ingkar janji.
Siapa yang yakin kepada-Nya pasti gak akan dikecewakan."
"Gue paham kalau itu. Tapi, lu, kan, nggak dikenal-kenal amat sama langit?"
"Rida orang tua itu, rida Allah. Bokap-nyokap udah setuju dengan cara yang aku ambil.
Berarti doa mereka menyertai. Allah pasti ijabah. Pasti, Bro!"
"Kalau gagal?"
"Nggak bakal! Allah pasti kasih
jalan!" Aku mantap, nggak main-main.
Maka aku harus secepatnya menikah.
Itu titah Ibu dan Bapak.
Dalam keluarga kami, sudah tertanam dari dulu
bahwa perintah orang tua tidak bisa dipertanyakan dan diuji kelayakannya.
Lakukan saja. Rasa cinta kepada
adikku semata wayang, dan rasa cinta Wulan kepadaku yang tidak ingin bahagia berumah tangga sementara kakaknya
masih jomlo, sudah
cukup untuk mengompori semangatku.
Dan aku bersyukur juga pada
akhirnya karena ke-ndeso-an Wulan dan
kedua orang tuaku, justru menjadi jalan
pertemuanku dengan banyak kejadian istimewa bersama dengan orang-orang
istimewa. Aku menemukan cinta lamaku yang akhirnya menjadi cintaku hingga saat
ini.
Sambil menunggu anak perempuanku
dan istriku itu selesai
dirias-biasanya
perempuan selalu lama kalau sudah urusan berdandan-aku akan ceritakan kepada kalian kisah perjuanganku
mendapatkan dia, cintaku ....