Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
43
Penayangan
2
Bab

Ramadan, seorang pemuda pebisnis yang harus mendapatkan istri dalam waktu satu bulan karena adik perempuannya yang bernama Wulan hendak menikah dalam waktu dekat. Keluarganya menegang teguh aturan jika adik tidak boleh melangkahi kakak dalam hal pernikahan. Ramadan bertemu dengan cinta Fitri, cinta pertamanya kala di SMA setelah menolong bocah hafiz Al-Qur'an yang kecelakaan. Perjalanan mendapatkan cinta Fitri tidak mudah. Ramadan harus berhadapan dengan Reza, laki-laki yang selama ini menjaga Fitri. Ranadan juga menemukan kesulitan akibat temperamen Fitri yang mudah meledak.

Bab 1 Aku

BAB 1

Fauzi Ramadan, itu adalah aku

sebagai laki-laki yang baru saja duduk di kursi tamu pada pesta pernikahan Ryan, sahabatku, yang menikah untuk kesekian kalinya

setelah melalui perceraian yang kesekian kalinya juga. Aku kurang yakin berapa

kali itu terjadi kepada

Ryan. Kalian panggil aku Ramadan saja, sama seperti mereka yang mengenalku.

Kalian juga akan mengenalku setelah ini, 'kan?

Pernikahan adalah hal yang

istimewa. Ya, aku mengenang pesta

pernikahanku sendiri. Apakah aku sendirian saja saat ingatanku kembali pada

kejadian beberapa waktu yang lewat itu? Untuk sementara, aku memang sendirian, tapi bukan

karena masih sendiri dan hanya datang sendiri. Nanti aku akan jadi bertiga

duduk di sini. Itu, di sebelah kanan-kiriku ada masing-masing

satu kursi yang sudah kusiapkan untuk dua orang yang belum terlihat keluar dari

ruang rias pengiring pengantin wanita. Putriku yang berusia setahun dan istriku sedang berdandan. Mereka sangat cantik. Kalian

pasti setuju denganku jika bertemu dengan keduanya. Aku jamin itu.

Sedari tadi sudah ada lima orang

yang tidak jadi duduk di samping kiri dan kananku karena ada kotak snack dan tas tangan perempuan yang

sengaja kuletakkan sebagai tanda kursinya sudah ada yang punya. Sudah lebih

dari lima wanita yang senyum kepadaku dan kutunjukkan cincin di jari manisku,

mengabarkan kepada mereka

jika aku sudah ada yang punya.

Istriku berpesan, "Ramadan, aku sangat mengerti jika pesonamu itu bisa

membuat banyak wanita gelap mata. Hanya satu yang kuminta, tunjukkan saja

cincin itu pada mereka. Kalau mereka tidak mengerti juga, biar aku yang

tunjukkan cincinku yang sama dengan cincinmu tepat pada bola matanya. Biar dia

lihat banyak bintang berputar dan menyesal untuk tahu betapa kerasnya cincinku

itu."

Butuh perjuangan panjang untuk mendapatkan hati istriku. Aku

sempat merasa susah hati karena sangat cinta kepadanya, tapi ternyata hatiku justru lebih susah saat jauh dari

cintanya. Aku ingin mengenalkan dia kepada kalian, sekaligus menceritakan perjalanan cinta kami.

Sebuah cerita cinta yang selalu abadi dalam benak dan hatiku karena ini bukan

kisah yang sederhana. Setidaknya bagiku yang memang merasa lebih nyaman dengan

yang serba sederhana, aku kurang suka pada kerumitan. Jika bisa mudah, kenapa harus dibuat susah?

Namun, cinta ternyata tidak sesederhana

yang kukira. Aku

kesulitan ketika berusaha mendapatkannya. Tak semudah bicara karena cinta tidak

bisa diterjemahkan dengan kata-kata. Istriku bukan wanita yang terlalu mudah

terpesona pada pandangan pertama, berbeda dengan aku yang jatuh cinta kepadanya sejak kami SMA.

Teman-teman dekatku menilai istriku yang cantik itu

posesif. Pasti karena beberapa kriteria pria idaman ada padaku, demikian kata istriku, dan juga orang-orang yang mengenal kami. Meskipun aku tak

sependapat, mereka

tetap memandangku seperti itu, sebagai lelaki tampan yang mapan, punya bisnis

yang maju, punya rumah, mobil,

dan motor. Semua dibeli kontan. Dalam artian materi bukanlah sumber masalah

dalam kehidupanku. Padahal aku biasa saja memandang apa yang ada dalam diriku

dan yang kujalani dalam hidup ini.

Bapak dan ibuku dosen. Adik perempuanku cuma satu,

cantik seperti Ibu, namanya Wulan. Ia bekerja menjadi guru di SD Internasional. Muridnya hampir semua

bule.

Sepertinya kami keluarga

berpendidikan dan modern, ya? Tidak

juga, sih. Untuk

beberapa hal seperti daam budaya dan adat istiadat, keluarga kami termasuk

orang kota yang ndeso. Meskipun rumahku ada di kompleks perumahan modern, bentuknya masih Joglo. Sama seperti rumah orang

tuaku yang di meja makannya pasti selalu terhidang makanan tradisional seperti,

kue cucur, klepon, getuk, pepes tahu dan sayur gudeg. Meja makannya dari kayu jati. Pintu tiang

penyangga, kursi tamu, tempat tidur dan beberapa perabot lainnya juga terbuat

dari kayu jati Jepara yang spesial

dipesan dan dikirim dari Depok.

Wulan sudah menikah. Suaminya CEO

yang tinggal di USA. Namanya Joko Parwoto, blasteran Texas dan Sidoarjo.

Bapaknya Amerika, ibunya

Jawa Timur. Aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan DimasJek. Namun, bukan berarti Wulan lebih

modern, tidak! Mungkin hanya dia guru yang selalu pakai kebaya tanpa menunggu Hari

Kartini tiba, sama seperti ibuku.

Usia kami sebagai kakak beradik

hanya selisih satu tahun. Karena Ibu dan Bapak tidak mau ikut program KB, dan

ternyata Allah hanya menitipkan kami berdua kepada mereka.

Saking ndesonya, urusan pernikahannya pun tidak modern. Dulu ketika Wulan

baru bertunangan dengan Joko Parwoto, dia tidak mau menikah kalau aku belum

menikah. Sementara dia dan calon suaminya, juga orang tua kami dan orang tua DimasJek, sudah menentukan tanggal dan

bulan pernikahan. Wulan dan Joko akan duduk di pelaminan setelah Bulan Haji

tahun 2019. Itu artinya, dalam satu

bulan, aku harus mendapatkan calon istri.

"Seharusnya ini gampang banget

buat laki-laki seperti lu, Ram. Tampang ganteng, punya duit. Banyak yang mau

cuma terlalu milih!" ledek Ryan, sahabat sekaligus rekanan bisnisku.

"Istri, Bro. Bukan kayak cari

sepatu, cobain sebentar, pas ukurannya, enak dipakenya, trus bayar. Bosen, beli lagi." Selalu begitu argumenku.

"Trus, lu yakin dalam satu bulan

ini bisa dapet calon istri yang tepat?"

"Yakin bakal dapet yang terbaik!"

"Dasarnya yakin?"

"Allah nggak pernah ingkar janji.

Siapa yang yakin kepada-Nya pasti gak akan dikecewakan."

"Gue paham kalau itu. Tapi, lu, kan, nggak dikenal-kenal amat sama langit?"

"Rida orang tua itu, rida Allah. Bokap-nyokap udah setuju dengan cara yang aku ambil.

Berarti doa mereka menyertai. Allah pasti ijabah. Pasti, Bro!"

"Kalau gagal?"

"Nggak bakal! Allah pasti kasih

jalan!" Aku mantap, nggak main-main.

Maka aku harus secepatnya menikah.

Itu titah Ibu dan Bapak.

Dalam keluarga kami, sudah tertanam dari dulu

bahwa perintah orang tua tidak bisa dipertanyakan dan diuji kelayakannya.

Lakukan saja. Rasa cinta kepada

adikku semata wayang, dan rasa cinta Wulan kepadaku yang tidak ingin bahagia berumah tangga sementara kakaknya

masih jomlo, sudah

cukup untuk mengompori semangatku.

Dan aku bersyukur juga pada

akhirnya karena ke-ndeso-an Wulan dan

kedua orang tuaku, justru menjadi jalan

pertemuanku dengan banyak kejadian istimewa bersama dengan orang-orang

istimewa. Aku menemukan cinta lamaku yang akhirnya menjadi cintaku hingga saat

ini.

Sambil menunggu anak perempuanku

dan istriku itu selesai

dirias-biasanya

perempuan selalu lama kalau sudah urusan berdandan-aku akan ceritakan kepada kalian kisah perjuanganku

mendapatkan dia, cintaku ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku