Kesalahpahaman membuat dunia keduanya hancur lebur, sehingga terpaksa menandatangani surat perceraian. Hanya saja, ketika takdir kembali mempertemukan kedua insan itu, segalanya tak lagi sama. Riv sudah memiliki anak perempuan yang amat seperti replika dirinya, sementara Dru sudah nyaris menikah dengan kekasihnya. Seharusnya itu baik-baik saja. Riv adalah seseorang yang menggugat cerai Dru sebelumnya. Namun, melihat Dru yang bahagia dengan perempuan lain yang bukan dirinya, entah kenapa Riv merasa... tak rela? Jadi, secara impulsif dirinya kembali mendekati Dru, hanya untuk berkata, "Setelah perceraian waktu itu, aku baru tahu kalau aku hamil. Nama anak kita Lana. Datang ke apartemenku nanti malam kalau kamu ingin bertemu dengannya, Dru." ... yang kemudian mengacaukan rumah tangga yang nyaris dibina Dru dengan kekasihnya, Sheyana. Dan secara bersamaan, membangkitkan kisah luka di masa lalu. Kali ini, kepada siapa takdir berpihak? Apakah akhir yang indah akan hadir diantara keduanya?
Riv keluar dari kamar ganti dengan memakai gaun warna merah sepaha bertali spageti. Perona pada wajahnya agak berlebihan. Lipstik semerah darah, eyeshadow tebal, anting hoops yang lebih mirip gelang, juga wangi parfum lembut yang bahkan bisa tercium dari jarak beberapa kilometer. Penampilannya saat ini mirip-mirip dengan pelacur yang ada di film Pretty Woman, yang bisa digunakan sepuasnya selama sang pria punya uang.
Tapi Riv tidak sedang melacur, meski dia ingin menggoda laki-laki tampan dengan abs delapan kotak yang tinggal serumah dengannya itu. Terakhir kali mereka bersetubuh adalah ketika Riv tanpa sengaja minum obat perangsang dua bulan yang lalu, dan Dru membantu menghilangkan efek obat itu dengan bercinta.
Tapi setelah kejadian itu, tidak ada apa-apa lagi. Dru, suaminya itu, sangat jarang meminta jatah pada Riv, dan dia seringkali menolak acap kali Riv yang memintanya lebih dahulu. Sehingga selama pernikahan mereka yang sudah berlangsung selama lima tahun ini, momen keduanya bercinta bahkan jumlahnya tidak menghabiskan jari-jari yang ada di tangan.
Rekan kerjanya mengatakan kalau dulu nasibnya sama dengan Riv. Dia dan sang suami jarang bersetubuh, lalu tidak lama kemudian, dia menemukan kalau suaminya mencari kenikmatan di tempat lain. Perceraian adalah satu-satunya jalan dari dua insan yang tidak mungkin bisa menyatu lagi.
Riv tidak mau bercerai dari Dru, sehingga dia terpaksa melakukan ini.
Yah, sebetulnya alasan Riv bukan karena dia mencintai Dru--karena cinta itu amat bullshit, sebuah omong kosong yang tidak bisa dipercaya. Alasan Riv tidak ingin bercerai adalah karena dirinya malas menjalani pendekatan dengan laki-laki lain.
Ribet. Riv merasa waktunya terlalu berharga untuk melakukan hal tidak masuk akal seperti itu.
Karenanya, bagaimanapun juga, pernikahan ini harus dipertahankan. Dru tidak boleh menyelingkuhi dia. Kalaupun sudah terlanjur, Riv akan melakukan segala cara untuk membuat selingkuhan Dru pergi, lantas hal yang ia lakukan setelahnya adalah membuat Dru jatuh cinta padanya.
Riv menatap pantulan dirinya di cermin, lantas tersenyum dengan sensual. Dia yakin, tidak ada laki-laki normal yang bisa tetap berpikir jernih setelah melihat tampilan menggoda yang Riv miliki seperti saat ini.
Dia amat cantik, memabukkan, dan menggoda. Riv yakin Dru tidak akan menolaknya setelah melihat Riv dalam balutan pakaian seksi seperti ini.
Baju dinas siap.
Yang Riv lakukan hanya tinggal menemui Dru dengan pakaian ini, lantas mengajaknya untuk bercinta. Dru suka posisi women on top, maka Riv akan dengan senang hati untuk menyenangkan laki-laki itu, hingga Dru merasa amat puas.
Sembari keluar dengan heels tingginya, Riv berpikir, seharusnya Dru saat ini sedang berada di ruang kerja, kan? Suaminya itu merupakan seorang workaholic. Enam belas jam dari dua puluh empat jam yang ia miliki adalah untuk bekerja, sementara sisanya ia gunakan untuk melakukan hal lain yang membuatnya terlihat seperti manusia normal--tidur, pergi ke bar, menonton serial Marvel favoritnya, atau main game.
Tapi hari ini, Dru tidak terlihat di ruang kerjanya. Bahkan tempat yang lampunya paling sering diganti itu hari ini dalam keadaan gelap total, yang artinya belum dijejaki oleh Dru seharian ini.
Riv mau tak mau jadi bingung. Dia akhirnya memutuskan bertanya pada salah satu pembantu rumah ini, dan mendapat jawaban, "Hari ini Tuan Dru sedang bermain game dengan Tuan Ravi, Non Riv."
"Oh, ya? Terima kasih, Bi." kata Riv dengan muka masam, sembari berjalan ke lantai dua. Ada sebuah ruangan luas disana, yang dijadikan Dru sebagai tempat menyimpan barang-barang tidak pentingnya-seperti aneka macam game atau alat musik yang harganya mencapai milyaran rupiah.
Ravi itu salah satu teman dekat Dru, yang saking dekatnya, sampai mendapat posisi sebagai sekretaris Dru di perusahaan dengan mudah. Jalur orang dalam lah, istilahnya.
Riv sangat membenci Ravi, karena pria itu selalu mengambil waktu suaminya. Dari delapan jam waktu bebas yang Dru miliki selama sehari seringkali dihabiskan untuk main bersama Ravi. Kalaupun ada waktu untuk Riv, paling-paling Dru hanya menemani dia sambil bermain game online di ponsel, sementara Riv berupaya keras menarik perhatiannya.
Sungguh mengenaskan. Dirinya yang amat berharga ini harus mengemis perhatian sang suami sebegitunya, hanya karena Dru yang selalu tak acuh.
Helaan napasnya terdengar.
Keinginan Riv untuk bercumbu tidak lagi ada. Dengan hadirnya Ravi, bagaimana mungkin Dru masih mau menghabiskan malam panas dengannya?
Tujuan Riv datang ke ruangan itu hanyalah untuk mengintip dari balik pintu. Dia penasaran, selama Ravi, asisten sekaligus teman Dru itu datang, apa yang dua pria itu bicarakan?
Jika itu tentang Riv yang amat luar biasa--menurut penilaiannya sendiri--maka ia akan amat berterima kasih pada Ravi--dengan memberikan pria itu satu persen saham yang Riv miliki di perusahaan sang Paman, misalnya.
Hanya saja, yang ia dengar amat berkebalikan dari yang Riv harapkan. Bukan sesuatu yang membicarakan kelebihannya, tentang pekerjaan, atau minimal membahas game yang keduanya sedang mainkan.
Melainkan....
"Gue jatuh cinta sama lo. Amat jatuh cinta. Itu adalah yang mau gue katakan selama ini pada lo, tapi keberanian gue belum datang. Jadi... maukah lo menjalani hidup bahagia bareng gue?"
Riv merasa hidupnya hancur seketika, karena dia telah salah memilih laki-laki untuk dijadikan teman hidup.
Suaminya berselingkuh, tapi bukan dengan perempuan, melainkan laki-laki.
***
"Urusan perceraian kamu sudah diurus oleh pengacara andalan Om. Mulai sekarang, kamu tenang aja, Riv. Suami kamu yang gay itu nggak akan bisa menemui kamu lagi." kata Widiarko Soejono ketika dirinya dan sang keponakan sedang makan di sebuah restoran mewah tepi pantai.
Riv yang sedang menyesap wine hanya merespon dengan anggukan singkat saja.
Widiarko terdiam sejenak, sebelum kemudian bertanya, "Kamu yakin nggak akan menuntut harta gono-gini dari laki-laki itu, Riv? Mungkin nggak akan seberapa, tapi setidaknya buat laki-laki itu pusing karena permintaan kamu."
"Nggak perlu, Om." Riv menolak dengan segera. "Aku bahkan sudah malas mendengar namanya lagi."
Lebih tepatnya, sakit hati. Karena tanpa sadar, selama menjalani masa lima tahun pernikahan, Riv sudah mulai jatuh hati dengan Dru. Dia mendambakan kehidupan pernikahan yang sempurna, dan juga langgeng dengan laki-laki itu.
Hanya saja, Dru mengecewakannya. Harapan yang masih berupa bibit-bibit kecil itu Dru hentikan pertumbuhannya, dengan cara membunuhnya.
Tangan Riv yang sedang memegang pisau untuk memotong steak bergetar kecil, sehingga ia terpaksa berhenti memotong.
Dan, perubahan itu tidak luput dari kejelian mata Widiarko, yang amat menyayangi keponakannya itu layaknya anaknya sendiri.
Widiarko menghela napas. "Kalau kamu nggak keberatan, kamu bisa ikut Om ke Belanda. Mulai hidup baru kamu disana, agar tidak bisa bertemu dengan laki-laki tidak tahu malu itu lagi."
Riv akhirnya mendapatkan kembali ketenangannya yang sempat hilang. Dan hal pertama yang ia lakukan adalah membalas tatapan Widiarko, lantas menggeleng sambil tersenyum manis. "Aku bukan wanita pengecut, Om. Jika Dru muncul dalam hidupku lagi, maka aku akan menghadapinya. Bahkan kalau perlu, aku akan balas dendam padanya."
"Kamu yakin?" tanya Widiarko ragu. Dia tidak mau kalau keponakannya itu sampai kenapa-napa selama dia tinggalkan di negara ini.
Sekali lagi, Riv menggeleng untuk meyakinkan. "Aku yakin, Om. Aku baik-baik saja. Percaya sama aku."
"Ya sudah, kalau begitu."
Hanya saja, yang terjadi setelah itu jauh dari prediksi Riv. Begitu steak yang sudah ia potong ia bawa ke mulut dan aromanya tercium, Riv tiba-tiba merasa mual.
Sehingga, tanpa pikir panjang Riv pergi mencari kamar mandi, bahkan tanpa meminta izin pada Widiarko.
Di dalam kamar mandi, setelah memuntahkan sepotong roti yang ia makan tadi pagi, Riv menatap pantulan dirinya di cermin. Sosok wanita tegar nan sombong yang ada disana tidak lagi ada, tersisa tampilan seorang wanita layu, yang tampak menyedihkan.
Beberapa hari ini, Riv jarang sekali bisa mengkonsumsi makanan. Dia lebih sering mual tiap mencium bau sesuatu. Hanya roti tawar dan susu low fat yang bisa ia konsumsi, sisanya pasti akan ia muntahkan kembali.
Fakta itu membuat Riv curiga, sekaligus ketakutan. Karenanya, dia sudah mempersiapkan diri sebelumnya. Dengan bantuan temannya, Riv sudah memesan tujuh merk berbeda testpack, dan berniat mencobanya saat ini juga.
Riv kembali masuk ke dalam bilik kamar mandi, dan mulai mencoba benda yang menakutkan bagi wanita yang sedang dalam masa perceraian seperti dia. Dalam waktu menunggu garis dalam testpack itu muncul, Riv berkeringat dingin. Bayangan akan sesuatu yang tidak-tidak mulai muncul dalam kepalanya, menyebabkan Riv jadi gugup.
Dia menggigit bibir bawahnya, sembari meletakkan ketujuh testpack itu ke atas kloset. Setelah itu, yang Riv lakukan adalah memperbaiki penampilannya, agar terlihat lebih layak.
Lima menit, dan Riv akhirnya berani untuk melihat testpack tersebut.
Dua garis muncul di lima testpack, dan dua sisanya adalah satu garis.
Riv membeku, dalam waktu yang lama, yang bahkan tidak bisa ia perkirakan. Jika bukan karena ponselnya berdering beberapa saat kemudian, Riv mungkin lupa untuk bagaimana caranya keluar dari ketakutan atas imajinasi yang dibuatnya sendiri.
Tanpa melihat siapa si penelepon, Riv menggeser ikon berwarna hijau, lantas menempelkan ponsel ke telinganya. "Halo?"
Kemudian, suara dari seseorang yang menjadi alasan mimpi buruknya hari ini, memenuhi gendang telinga Riv.
"Untuk terakhir kalinya, katakan padaku, Riv. Tidak pernah ada masalah dalam rumah tangga kita, jadi kenapa kamu tiba-tiba meminta bercerai?" tuntut Dru, dengan suara serak penuh kelelahan, yang sama sekali tidak seperti dia.
Atas pertanyaan Dru itu, Riv sekali lagi menatap testpack di tangannya, dan terkekeh sendiri seperti orang bodoh.
Tidak pernah ada masalah dalam pernikahan merupakan masalah itu sendiri, kan?