"Ah! menikah!" Siapa sangka dari kalimat itu, mendatangkan hal buruk padanya. Nara yang masih duduk di bangku SMA, menghadapi paksaan Bapaknya untuk harus menikah dengan cowok lumpuh. Bagi Nara, itu hal yang sulit. Terlebih saat ini, dia sedang menjalin hubungan kasmaran pada cowok remaja tampan, baik hati seperti Rehan. Apa yang harus dilakukan Nara? Seperti apa nasib rumah tangganya, jika menikah dengan cowok lumpuh itu? Lalu, bagaimana dengan Rehan yang mencintainya begitu tulus?
"Ah, menikah!" Aku tercengang tak percaya. "Aku nggak mau! Kenapa sih, harus aku?"
Aku tidak mengerti dengan pemikiran Ibu dan Bapak. Mereka tau masa depanku masih panjang, tapi ... mereka malah meminta ku untuk mau menikah dengan laki-laki yang tak ku kenali sama sekali. Lagi pula, aku masih pelajar, belum siap menikah dalam umur yang tergolong masih muda ini.
Aku memang punya keinginan menjadi istri yang baik saat ditanya soal cita-cita. Namun, bukan berati aku harus diminta nikah sebelum tamat SMA.
Membayangkannya saja aku sudah tak sanggup. Menikah? di waktu muda? Apa yang harus ku lakukan?
"Maafkan kami, tapi kamu harus mau! Ini semua demi kita, Nara. Mengertilah sedikit!" ucap Bapak dengan paksaannya.
Aku menunduk, menatap jari tanganku sedih. Tatapan bahagia seakan musnah di wajah, membayangkan aku akan menikah. "Tapi - kenapa harus Nara? Nara nggak ingin menikah, Pak!"
"Jangan egois, Nara! kalau bukan kamu siapa lagi?! Kamu pikir Bapak rela begini? Coba kamu pikir baik-baik, kalau saja kamu nggak
menikah. Bisa jadi, kehidupan kita semakin buruk. Bahkan, lebih buruk dari sekarang! Kita sudah jatuh miskin sekarang, ingat itu!"
Aku mengepal tangan kesal, sekaligus sedih. Kalau saja mereka tidak tua dariku, kalau saja mereka bukan orang tuaku, mungkin aku akan berteriak keras dihadapan mereka.
Aku tidak pernah egois. Aku selalu mengikuti keinginan mereka, mulai dari tuntutan belajar rajin-sampai juara kelas. Sekarang-di mana letak keegoisanku? Apa tak cukup dengan rasa kepatuhanku sebagai anak kali ini?
Tak ingin berdebat lebih jauh lagi dengan Bapak. Aku melangkah pergi meninggalkan mereka yang masih duduk di ruang makan. Makanan yang baru ku makan setengah itu. Tak ada artinya lagi di mataku. Nafsu makanku mendadak hilang, menyisakan sakit hati luar biasa.
Kenapa hidup yang ku jalani seperti ini? Bapak tidak pernah mengerti perasaanku. Yang ada dipikirannya, hanya menjadi kaya dan kaya. Bapak selalu menututku untuk menjadi apa yang dia mau. Hingga - rasa lelah itu terasa saat ini.
"Bukan ini yang aku mau. Aku ingin menjadi istri yang baik, tapi bukan dengan cara seperti ini. Sesulit itu kah, aku menikmati masa mudaku dengan tenang?" gumamku di sela tangisan.
***
"Nara, lo kenapa?" Itu sahabatku Lea. Gadis berambut ikal sepinggang. Penyuka fanatik segala yang berbau drama korea dan china. Sampai-sampai, awal pertemuanku dengan gadis itu berawal dari drama.
Aku ingat, waktu itu ....
"Hei, boleh gue duduk di sini?" tanya Lea yang tampak asing di mataku saat itu.
"Oh, boleh." Aku membalas perkataannya ramah.
Sesuai perkataanku. Lea mendudukkan diri di sampingku. "Lo suka drakor, nggak?" tanyanya.
"Suka. Tapi - nggak terlalu," balasku.
"Kalau gue suka banget. Pokoknya, lo harus kayak gue."
Aku menggeleng kepala heran. Kenapa sih, ini orang? Kenapa aku harus sepertinya?
"Nara!"
Lea menepuk lenganku pelan. Menyadarkanku yang tengah melamun.
"Lo kenapa, Ra? Ada masalah sama Rehan?" tanya Lea bingung. Sikapku yang sedikit aneh dari biasanya, membuatnya jadi khawatir.
"Sepertinya gitu," jawabku tanpa semangat sedikit pun.
Rehan adalah pacarku. Hubungan kami sudah satu tahun berjalan. Selama berhubungan dengannya, kami berdua baik-baik saja tanpa masalah rumit yang terjadi. Rehan juga memperlakukanku, layaknya seorang kekasih pada umumnya. Namun, setelah kejadian ini. Aku merasa hubungan ini tidak baik-baik lagi. Masalahku jauh lebih rumit dari yang kupikirkan.
Memikirkan hal itu ... secara tidak langsung aku harus menghentikan hubungan ku dengan Rehan.
Jika ditanya, aku cinta atau tidak? Aku pasti menjawab keras, kalau aku sangat mencintainya. Tapi - aku tidak ingin egois seperti ini. Mempertahankan Rehan, di saat aku berstatus istri orang. Itu hanya menambah luka saja, selain itu ... aku tidak mau di cap sebagai wanita murahan di sini.
Ternyata, tak semua cinta berakhir bahagia.
"Kenapa? Ayo cerita ke gue!"
Aku menatap sekitar. Lokasi yang ada di kelas membuatku menjadi tak enak. "Ke kantin, yuk!"
Lea mengangguk. Kami berjalan beriringan, hingga sampai ke dalam kantin. Aku duduk di salah satu bangku kantin dan berhadapan dengan Lea. Suasana kantin kali ini tampak sepi, dikarenakan bel akan masuk 5 menit lagi.
"Jadi?" Lea mengangkat suara. Tatapannya memintaku untuk melanjutkan obrolan yang sebelumnya tertunda.
Aku menarik nafas sejenak, lalu menghembuskannya kembali. "Sebentar lagi, gue akan menikah."
Lea tampak terkejut. "Serius lo? Jangan bercanda, deh. Ini nggak lucu sama sekali!"
Aku mengangguk pelan, menanggapi reaksi Lea yang seperti itu. "Memang, apa wajah gue kelihatan bercanda?"
Lea terdiam, menatap mataku dalam. Tapi ... tetap saja, tak ada satu pun kebohongan melekat di sana. "Serius? Kenapa bisa?"
"Bapak punya hutang, Le. Satu-satunya cara yang bisa ditembus hanya mengorbankan gue."
"Terus lo mau gitu? Dengan mempertaruhkan masa depan lo? Hayolah, Ra, gue nggak mau lo nggak sekolah lagi. Entar sama siapa gue di sini? Kan lo bestie gue."
Aku memukul bahunya pelan. "Dasar, lebay banget lo! Teman lo banyak kali! Justru gue yang akan merasa kesepian, kalau lo nggak ada." Aku menghentikan ucapan, dengan pandangan beralih ke arah lain. "Gue juga punya impian bisa jadi istri yang baik."
Lea menghela nafas. "Tapi - impian lo nggak harus juga sekarang terwujudnya. Tunggu lulus saja, kenapa? Gue belum siap kehilangan lo di sini."
Aku mendelik kesal. "Dari ucapan lo, seakan-seakan menganggap gue mati besok aja. Lagi pula - ini masih perjodohan. Belum nikah juga gue!"
Lea terkekeh sejenak. "Hehehe ... terus pacar lo gimana? Rehan baik banget sama lo. Gue sendiri nggak tega, kalau dia benaran tau tentang fakta ini."
"Itu yang gue pikirkan. Mau tidak mau, gue harus memutuskan hubungan. Tapi ... gue nggak sanggup. Gue masih sayang sama dia, Le. Di satu sisi, gue nggak mungkin selingkuh di belakang calon suami gue nanti. Pernikahan itu bukan permainan. Jadi - gue nggak akan mengkhianati dia. Mungkin ... gue harus berusaha menjadi istri yang baik padanya, lalu melupakan Rehan." Aku mengacak rambut kesal. "Ah, kenapa gue merasa jahat, ya?"
"Aduhh, terharu gue dengarnya." Lea mengusap matanya berlagak seolah menangis. "Lo nggak salah, Ra. Gimana pun, lo terpaksa seperti ini."
"Cukup lo yang tau, oke? masalah Rehan, gue akan cari cara putusin dia."
Lea mengangguk mengerti. "Oke, kalau ada apa-apa. Lo harus cerita ke gue, ingat itu!"
***
"Nara! Ayo pulang!"
Seorang cowok dari kelas berbeda mendekatiku. Dia adalah Rehan, cowok yang ber-status sebagai pacarku. Walaupun aku tak sekaya Rehan, tapi cowok itu tak sedikit pun malu berpacaran denganku. Ku pikir, di masa SMA ini tak ada yang mau denganku. Ternyata - berbeda dari dugaanku.
Aku tersenyum lebar. "Ayo!"
Lea memayunkan bibir. "Ye - yang punya pacar mah, sahabatnya di tinggal terus."
Aku tertawa. "Makanya, cari pacar yang dekat. Virtual mulu sama cowok korea. Sampai kiamat pun lo nggak bakal ketemu!"
"Benar tuh." Rehan ikut terkekeh mendengar ejek-an ku kepada Lea.
"Aduhh, dosa apa gue. Lihat kalian ini-" decak Lea kesal. "Udah, sana! Pergi! Makin lama, mata gue tambah sakit, lihat keromantisan lo berdua!" Lea mengibaskan tangannya, seolah mengusirku dengan Rehan.
"Yaudah, gue bawa kabur teman lo. Bye!" Rehan merangkulku pergi menjauh dari hadapan Lea.
"Awas, jangan sampai lecet sahabat gue!" teriak Lea sebelum aku dan Rehan benar-benar jauh darinya.
Rehan membalas ucapan Lea, dengan mengangkat jari telunjuk dan jari tengah. Membentuk huruf v.
***
Aku terdiam di atas motor Rehan. Pikiranku melayang-layang mengenai keputusanku yang ingin mengakhiri hubungan ini. Apa aku sanggup?
Huh, ini benar-benar keputusan yang sulit. Sekali diambil, banyak resiko yang ku dapatkan. Pertama, perasaan. Kedua, kehilangan. Ketiga, kecurigaan.
Tolong bantu aku!
"Ra, kenapa diam?" tanya Rehan yang tengah mengemudi di depan.
Aku menahan diri untuk tidak menangis saat ini. Jujur, mendengar suara Rehan saja membuat hatiku tak rela berpisah dengannya. Yang bisa ku lakukan, hanya membawa tangan ke pinggangnya. Memeluknya erat.
"Rehan -" rengekku manja.
"Iya sayang, kenapa?" tanya Rehan lembut.
"Aku lapar."
Dua kata terucap di bibirku, membuat Rehan terkekeh. Kalau saja, aku ada dihadapannya saat ini. Mungkin, hidungku sudah di cubit duluan olehnya.
– Bersambung ....