Beginilah kalau berumah tangga tidak bisa membedakan antara hak dan kewajiban. Tinggal di rumah mertua, seperti tinggal di neraka. Di perlakukan seperti pembantu serta hinaan kerap keluar dari mulut ibu mertua dan ipar. Dalam keadaan seperti ini, apakah Yulia akan tetap bertahan tinggal seatap dengan mertua dan ipar, demi mempertahankan biduk rumah tangga bersama lelaki pilihannya.
"Nung, lihat tu istrimu beli baju daster lagi. Bukanya menghemat pengeluaran, ini malah berlagak sok kaya. Tiap hari belanja baju." cerocos ibu mertua saat mas Hanung baru saja pulang kerja.
Mulai deh ibu mertua, sebentar lagi adik ipar pasti ikut mengompori. Setiap hari penghuni rumah ini selalu berdebat tidak penting. Masa beli baju seharga tiga puluh lima ribu aja dipermasalahkan. Walau sudah biasa, tetap saja kuping ini panas. masalah kecil bisa besar kalau ada sesuatu yang tak disukai dariku.
"Benarkah, Bu? Padahal bulan ini banyak pengeluaran." ucap Mas Hanung.
"Diminum dulu kopinya, Mas! Aku mau lanjut lipet baju dulu." aku beranjak dari tempat duduk, ingin masuk ke dalam kamar.
"Tunggu, Yul!"
Firasat ku jadi tidak enak.
Aku membalikkan badan menatap mas Hanung yang duduk bersebelahan dengan ibunya. Ini pasti akan membahas soal uang dan juga baju daster yang harganya di bawah lima puluh ribu. Tapi, aku sama sekali tidak takut. Toh aku tidak merugikan mereka kok.
"Kenapa setiap bulan kamu harus beli baju? tanya mas Hanung sebelum menyeruput kopi.
"Baju murah aja kok dibahas sih, mas. Lagian baju rumahanku banyak yang robek." jawabku.
"Sudah ku bilang jangan terlalu boros! Mending uangnya dipakai buat kebutuhan lainnya. Ini malah menghambur uang buat hal tidak penting." suara mas Hanung terdengar lantang. urat lehernya sampai timbul saat berucap.
Kalau baju yang dulu masih banyak yang bagus, tidak mungkin aku beli lagi. Perasaan Mas Hanung juga sering lihat kalau daster rumahanku hampir semua robek dibagian ketiak dan juga banyak bekas tambal sulamnya.
"Tidak penting itu menurut kamu, mas. Tapi sangat penting bagiku. Karena, tidak mungkin aku keluar rumah dengan daster bolong. Yang ada auratku kelihatan." jawabku.
"Kan masih banyak pakaian yang belum robek, mbak." saut Meli--adik iparku.
Tuh kan, iparku mulai mengibarkan bendera peperangan. Siap-siap saja perang mulut.
"Tidak mungkin aku beli baju kalau masih ada yang layak dipakai keluar rumah, Mel. Kalaupun aku memakai uang mas Hanung buat beli daster. Terus, apa masalahnya sama kamu? Toh, ini kewajibannya sebagai suami." timpalku tak mau kalah.
"Pemilik konter di ujung sana juga bilang, kalau mbak Yulia hampir setiap hari beli kuota. Buat apa lagi kalau bukan buat cari-cari mangsa di fb." dasar Meli, mulutnya licin sekali saat berucap.
Memang benar sih, hampir tiap hari aku beli kuota. Karena belinya ketengan dan masa aktifnya hanya dua puluh empat jam. Mau beli yang bulanan uang aku belum cukup. Lagian ini buat berdagang, bukan buat hal yang tidak penting kok.
"Benarkah yang dikatakan, Meli?" tanya mas Hanung dengan alis bertaut. Sudah pasti dia mulai kepanasan akibat ulah mulut iparku.
"Iya, mas. Memang benar apa yang dikatakan, Meli. Setiap hari aku beli kuota di konter. Tapi tidak benar kalau aku mencari masa di fb." jelas ku
"Alah, ngaku aja kenapa sih, mbak. Aku juga sering mergokin Mbak Yuli senyum-senyum sendiri saat mainan hp." Meli semakin membuat suasana menjadi panas. Ku lirik mas Hanung seperti menahan amarah mendengar ocehan adiknya.
"Sudahlah, Yul, kalau salah jangan membantah! Lagian buat apa mainan fb seperti anak muda saja. Tidak ada gunanya, boros jadinya. Belum lagi buat beli baju setiap bulan. Yang ada uang Hanung habis dipakai kamu sendiri."
Ibu mertua terus melontarkan ucapan pedas. Membenarkan perkataan Meli tanpa mencari tahu terlebih dulu.
"Lagian kalau aku belanja kebutuhan pribadiku, itu pakai uang ku sendiri, Mas." kesal rasanya mendengar ocehan tiga mulut di rumah ini. Kalau tidak bersalah kenapa harus takut.
"HAHAHAHAHA, wanita yang kerjaanya cuma nyuci, nyapu dan memasak itu dapat penghasilan dari mana? Jangan mengada-ada deh, mbak!" ucapan Meli semakin keterlaluan. tapi, aku masih berusaha sabar. Biarkan saja mereka tertawa saat ini.
Yang membuatku semakin kesal adalah sikap Mas Hanung, seolah dia membenarkan ucapan adiknya, bahkan ikut terbahak saat Meli mengejekku.
Terpaksa aku menunjukkan bukti, kalau selama ini aku memang berjualan secara online dan tanpa modal sedikitpun. Supaya mas Hanung, ibu dan juga Meli tahu apa saja yang kulakukan dengan hp ini.
"Sejak kapan kamu berjualan seperti ini?" tanya Mas Hanung, suaranya mulai melunak setelah melihat bukti yang ku perlihatkan.
Sebelum menjawab, aku melirik Meli dan ibu bergantian."Satu bulan setelah kita menikah, Mas."
Mas Hanung terpaku mendengar jawabanku. Memang selama ini tidak ada yang tahu tentang pekerjaan yang ku geluti. Sebagai jasa penjualan secara online, tanpa modal dan tanpa harus turun tangan menerima barang lalu mengantarkan pada pembeli. Cukup mempromosikan lewat sosmed saja.
"Jangan percaya sama bualanya! Kalau memang punya penghasilan, kenapa masih menengadahkan tangan pada Hanung." ucapan ibu mertua begitu menyayat hati.
"Itu sudah menjadi tanggung jawab mas Hanung, Bu. Kalau masalah penghasilan yang kudapat. Kalian tidak berhak tahu." kesal mengalah terus. Akan kujawab apapun yang dilontarkan dari mulut mereka bertiga.
"Itu namanya tak tahu diuntung! Punya uang bukannya meringankan beban suami malah dipakai buat memenuhi kebutuhan sendiri." Bukannya menghargai, ucapan mas Hanung begitu sakit didengar. ibarat kata, ia telah menabur garam ke atas luka yang disayat ibunya. Perih sekali rasanya.
Lagian selama ini aku tidak pernah memakai uang suami untuk keperluan pribadi. Jadi buat apa merasa minder meski pada mencemooh.
"Memenuhi kebutuhan sendiri bagaimana maksud kamu, mas? aku menerima uang sebesar satu juta lima ratus dari kamu, setiap bulanya. Buat bayar listrik dua ratus ribu dan buat beli beras, minyak, gula, kopi. Totalnya tujuh ratus ribu. Belum lagi ibu minta jajan tiap hari, kalau di kumpulin hampir empat ratus ribu sebulannya." sengaja ku perjelas agar mas Hanung tahu kemana saja uang bulanan yang aku pegang.
Tentu saja aku kesal, beli daster tiga puluh lima ribu saja di permasalahkan. Itupun pakai uang ku sendiri dari hasil melototi Hp setiap hari.
"Kenapa jadi perhitungan sama, ibu?" tanya mas Hanung.
"Lihat kelakuan istri kamu, Nung! Dia sudah pandai mengarang cerita demi mendapatkan perhatian dari kamu, mmmmm." Kok bisa tiba-tiba ibu mengeluarkan air mata. Padahal belum ada satu menit suaranya masih terdengar lantang saat menghinaku.
"Aku bukan perhitungan, Bu. Kalau perhitungan sudah dari dulu kali, aku mengatakan ini didepan mas Hanung. Kali ini terpaksa karena kalian mengeroyokku dengan tuduhan yang tak terbukti." sanggah ku, diam saat terinjak itu bukan solusi. demi menjaga jiwa tetap waras, maka melawan adalah pilihan terakhir.
"Sudahlah, aku capek mau mandi." Mas Hanung beranjak dari tempat duduk, lalu berjalan menuju kamar mandi.
BERSAMBUNG.
Terima Kasih Atas Hinaanmu!