Ivy, seorang penyihir, telah dibangkitkan kembali untuk melampiaskan dendamnya terhadap kaum werewolf dari masa lalu. Namun, tugas yang dihadapinya tidaklah mudah. Meskipun memiliki kekuatan yang hebat sebagai penyihir, ia terbatas oleh kenyataan bahwa ia tak mampu berubah menjadi serigala. Kehidupannya semakin rumit ketika ia bertemu dengan Alpha werewolf yang menjadi penghalang utamanya. Namun, kesulitannya tak berhenti di situ, adik Alpha malah mendekatinya, menambah kompleksitas dalam rencana balas dendamnya. Ivy mulai meragukan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu yang memaksa reinkarnasinya. Dengan keterbatasan kemampuannya, Ivy berjuang untuk melaksanakan rencana dendamnya. Namun, pertanyaan yang menghantuinya adalah sejauh mana ia mampu mewujudkan niatnya tersebut. Apakah Ivy dapat benar-benar membalaskan dendamnya? Dan apakah ia mampu mencapai batas kemampuannya untuk itu?
"Aku tak pernah melakukannya," ucap Ivy dengan suara gemetar, air matanya mengalir deras. Rambut panjangnya terurai liar, sementara luka-luka lebam menghiasi wajahnya yang penuh keputusasaan. Ia terjerat dalam genggaman beberapa prajurit, tubuhnya lemah tak berdaya.
"Bagaimana mungkin kau berani berkata begitu? Ada banyak orang yang menyaksikan perbuatanmu. Kau yang membunuhnya!" teriak pria itu, amarah membara di matanya.
"Tolong, percayalah padaku! Aku tak mungkin melakukan hal itu!"
"Jangan berbohong, Ivy. Aku tahu betul bahwa kau selalu membenci Maria dan berencana untuk menghabisinya sejak dulu," ucap pria itu dengan nada menuduh.
"A-aku...," ucap Ivy terbata-bata. Dibawah tatapan tajam sang pria, prajurit-prajurit yang memegangnya menyeretnya ke lapangan terbuka. Di tengah lapangan terdapat panggung kecil yang dijadikan tempat hukuman bagi para penjahat, menggunakan guillotine sebagai alat eksekusi.
Guillotine merupakan sebuah alat untuk memancung seseorang yang dieksekusi hukuman mati dengan cepat dan manusiawi. Seseorang yang mendapatkannya akan tengkurap dan lehernya berada di antara dua balok kayu, di tengahnya terdapat lubang untuk menjatuhkan pisau tajam dari ketinggian tujuh meter.
Pemenggalan kepala tersebut akan berlangsung beberapa detik saja. Meskipun begitu, semua orang akan menonton pertunjukannya, seolah-olah hal itu adalah tontonan yang menyenangkan.
"Lepaskan aku! Aku bisa saja membunuh kalian!" teriak Ivy berusaha melepaskan diri. Namun, tetap tidak bisa. Dia begitu lemah sekarang. Untuk berdiri saja harus ditopang oleh orang lain.
Ivy berusaha menggunakan kekuatannya kembali. Dia terus berusaha membaca mantra dan mengeluarkan tenaga dalam. Hingga akhirnya, dia sadar sesuatu, ia tidak bisa mengeluarkan kekuatannya lagi.
"Apa yang kau lakukan padaku, Marius!" Ivy mengamuk, masih mencoba mengeluarkan kekuatannya.
"Aku hanya berusaha membuatmu tak menjadi gila, Ivy. Aku sudah menyegel kekuatanmu, jadi kau tak bisa menggunakannya lagi," ucap Marius.
Marius menatap Ivy datar. Tidak ada lagi tatapan memuja seperti dulu. Sekarang, hanya ada tatapan kebencian yang ia dapatkan.
"Kau harus mendapatkan hukuman yang setimpal, Ivy," ucap Marius.
"Tidak! Aku tidak bersalah, Marius! Bukan aku yang membunuhnya!" Ivy masih tetap tak ingin mengakuinya.
Marius tak menjawab, ia malah mendekati Ivy yang sudah tengkurap.
"Kau membuatku kecewa, Ivy. Aku tidak percaya jika kau bisa melakukan hal sekeji ini," ucap Marius.
"Kau harus percaya jika aku tak melakukannya, Marius, percayalah." Ivy memohon dengan air mata mengalir di pipinya.
"Bagaimana bisa aku percaya jika melihatmu melakukannya sendiri di depan mataku, katakan, Ivy, katakan bagaimana caranya!" Marius menarik rambut Ivy hingga dia harus mendongak.
"Sa-sakit," rintih Ivy.
"Aku ingin kau jujur dan mengaku, Ivy. Dengan begitu, aku akan mempertimbangkan hukumanmu sekarang." Marius menatap dalam-dalam mata Ivy.
Ivy hanya menggeleng. Dia tidak ingin mengakui kesalahan itu sampai kapan pun.
"Aku tidak bisa mengakui apa pun yang bukan kesalahanku," desis Ivy.
"Maaf, ini semua salahku. Kalau saja aku tak dekat denganmu saat itu - mungkin semua ini tidak akan terjadi." Marius menyentuh pipi wanita yang pernah ada dalam hatinya.
"Hahahaha. Cih. Aku tidak akan pernah mengakuinya, Marius."
Tiba-tiba saja wajah sedih Ivy berubah menjadi menyeramkan. Lebih menyerupai seorang pembunuh. Bahkan dengan beraninya, ia meludahi wajah sang raja.
"Sialan kau, Ivy!" geram Marius, sambil menambah cengkeraman di kepala wanita itu.
Ivy tetap menyeringai, meskipun kepalanya semakin terasa sakit. Bahkan dengan santainya, dia menatap sang raja.
Semua yang menonton merasakan hawa jahat dari sikap Ivy. Tiba-tiba saja, angin besar datang menghampiri tempat itu. Semua orang yang tadinya menonton, kini berlari menuju tempat aman. Mereka takut jika Ivy membalas dendam pada semuanya.
"Aku akan selalu ada di dekatmu sampai kapan pun, Marius. Camkan itu!"
Ivy seperti orang gila. Dia mengamuk ingin melepaskan diri. Tertawa dan menangis tersedu-sedu lalu tertawa kembali. Namun, para prajurit dengan kuat memegang tubuhnya. Sedangkan Marius berbalik arah dan kembali ke tempat semula. Dia menatap wanita itu dengan tatapan tanpa rasa kasihan. Dia merasa telah dihina di depan rakyatnya.
Sementara itu, Ivy mulai menangis dalam diam. Tatapannya sendu dan berharap jika Marius bisa menghentikan hukuman. Namun, itu sia-sia, Marius tetap pada pendiriannya.
"Pancung ia!" perintah Marius dingin dengan tatapan tajam.
Blash. Suara pisau jatuh dari ketinggian tujuh meter berbunyi bersamaan dengan seorang algojo yang melepaskan tali. Tali itu terhubung dengan pisau tajam. Kepala Ivy terlepas begitu saja dari lehernya. Darah mengalir deras di bekas potongan lehernya.
Semua orang terkejut melihat apa yang terjadi sekarang. Bukan karena pemancungan tersebut, melainkan kepala Ivy yang terus menggelinding menuju raja mereka dan berhenti tepat di kaki Marius.
Saat itu juga, angin semakin kencang. Langit menjadi gelap. Tiba-tiba saja mata Ivy terbuka dan wajahnya mengeluarkan senyuman menakutkan. Kepalanya melayang-layang. Dia menatap satu persatu orang-orang di sana. Semua orang merasakan rasa ngeri mendalam.
"Kalian tidak akan bisa membunuhku, hahahaha..." Ivy tertawa menyeramkan.
Suara tawa itu terdengar sampai ke sudut lapangan bersamaan dengan kepala yang memutari tempat tersebut. Siapa saja yang berada di dekat istana akan mendengarnya dan merinding seketika.
"Ingat, aku akan datang kembali padamu!" ancam Ivy sebelum tubuh dan kepalanya berubah menjadi abu.
Marius terdiam dan rakyatnya mulai berbisik-bisik. Ada yang takut jika omongan wanita penyihir tersebut benar, ada juga yang cuek seakan-akan itu hanyalah omong kosong belaka.
Sedangkan wanita yang dibicarakan menghilang begitu saja bersamaan dengan abunya yang tertiup angin. Entah kemana dirinya dibawa. Hingga ia sadar jika sekarang berada di gendongan seseorang. Seorang pria yang tak bisa ia lihat. Wajah pria itu sedikit silau karena membelakangi cahaya matahari.
"Kau siapa?" tanya Ivy lemah.
Namun, bukannya menjawab, pria itu hanya tersenyum lalu kembali melihat ke arah depan. Sedangkan Ivy tak terlalu memperdulikannya.
Satu yang ia tahu. Sekarang mereka sedang berada di sebuah hutan. Dia bisa merasakan aroma akar dan pohon yang mereka lewati. Lambat laun, matanya semakin berat. Tubuhnya terlalu lelah hingga rasanya ingin tertidur di pangkuan pria itu.
Terakhir, sebelum ia tertidur lelap, pria yang tak diketahui namanya itu sedang mengelus kepalanya. Pria itu mengatakan sesuatu yang samar-samar terdengar oleh telinga Ivy.
"Aku akan datang dan menjemputmu jika waktunya telah tiba. Selamat tidur dan mimpi indah."
Hanya itu yang tertangkap pendengarannya, selebihnya ia tidak tahu lagi apa yang terjadi. Semuanya ia serahkan pada semesta. Kejadian hari ini membuat dirinya harus benar-benar beristirahat.
Ia juga berjanji akan mencari pria itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya dari kematian.
Ia juga berjanji akan mencari pria itu dan mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya dari kematian. Sekarang dia hanya ingin pergi jauh-jauh dari kawasan ini. Tempat yang telah menorehkan luka dalam hatinya. Seseorang yang ia harapkan satu-satunya malah tidak mempercayainya, dan itu tidak akan bisa terlupakan oleh Ivy.