Mereka saudara kembar selalu kompak di mana saja sampai akhirnya ketika dewasa dan menemukan pendamping sesuai kriteria mereka masing-masing, disitulah untuk pertama kalinya mereka menjadi bumi dan langit. Suratman bekerja sebagai konsultan sebuah bank swasta terkemuka dan beristrikan seorang wanita penggila kerja sebagai sekretaris sebuah hotel berbintang lima. Sedangkan Suratmin hanya seorang cleaning servis di rumah makan dan beristrikan seorang Ibu Rumah Tangga saja. Dalam hal mendidik anak pun mereka berbeda, sehingga suatu hari anaknya pun yang menjadi korban.
"Min, kapan anakmu lahir?" tanya Suratman saudara kembar
Suratmin dengan nada mengejek.
"Alhamdulilah, Mas, kata bidan sih tinggal menghitung
hari saja paling tidak tiga atau lima hari lagi," jawab Suratmin dengan santai
sembari membuat meja kecil dari kayu untuk di dapurnya.
"Berarti istri kamu melahirkan nanti di bidan dong?"
"Iya, nggak apa-apa, lagian nggak ada uang juga kalau harus
di rumah sakit, bayarannya mahal, nggak sanggup aku," kilahnya merendah diri.
"Iya sih kamu kan jadi OB di warung makan kecil, gajimu berapa
di sana, Min?"
"Nggak cukuplah pastinya, kalaupun ngutang nanti susah
bayarnya, apalagi sama saudara nanti pura-pura amnesia kalau ditagih, lebih
baik yang sesuai kemampuan saja, nggak usah neko-neko!" hardiknya sembari
mengejek dengan jelas.
"Iya, Mas, makanya disesuaikan
dengan kemampuan kami." Suratmin tersenyum walaupun di dalam hatinya sangat
sakit dengan perkataan saudara kembarnya itu.
"Bagus deh tahu diri juga kamu. jadi nggak menyusahkan aku,
soalnya istriku rencananya sih mau lahiran di rumah sakit kalau perlu operasi
secar biasalah mau cari tanggal yang
hoki gitu," jelasnya bersemangat.
"Ngapain operasi secar Mas, kalau masih bisa normal, kecuali
kalau memang harus jalan operasi ya mau nggak mau," tandas Suratmin menjelaskan.
"Itukan menurutmu, Min, kalau aku bedalah orang kaya itu harus
terlihat kayanya dong, jangan kayak orang miskin!" sahutnya tak mau kalah.
Senyum yang dipaksakan selalu dia lakukan lantaran agar
tidak menyinggung perasaan Suratman yang lebih kaya dari Suratmin.
Sudah sering kali Suratman merendahkan Suratmin lantaran menjadi
orang miskin baginya.
Perbincangan di hari minggu itu membuat Susi istri dari
Suratmin menitikkan air matanya ketika mendengar percakapan mereka.
Namun buru-buru dia usap air matanya dengan daster panjang
yang terlihat kusam dan banyak tambalan di mana-mana, agar tidak ketahuan oleh Suratmin kalau dia
baru saja menangis.
Susi kembali ke dapur
untuk memasak makan siang. Hanya goreng tempe, sambal terasi dan tumis kangkung
membuat aroma masakan yang dibuat oleh Susi menyeruak sampai keluar.
Penciuman hidung Suratman sangat tajam sampai tak terkendalikan
sehingga perutnya selalu berbunyi. Di saat itu juga istri Suratman yaitu Siska
ikut datang ke rumah kontrakan kecil milik Suratmin.
Sudah hal lumrah untuk pasangan suami istri ini yang mereka
bilang orang kaya itu setiap hari selain hari Jum'at mereka akan datang entah
pagi, siang ataupun malam ke rumah kontrakan
Suratmin.
Apalagi kalau bukan minta makan, padahal Suratmin juga dalam kekurangan bahkan tidak pernah dia meminta
apapun, tetapi Suratman dan istrinya tetap tidak peka dengan keadaan.
"Assalamu'alaikum!"
"Wa'alaikumsalam!"
"Eh Mbak Siska, mau jemput Mas Suratman ya?" tanya Suratmin tersenyum renyah ketika selesai membuatkan meja kayu untuk istrinya.
"Biasalah, hari Minggu main-main ke rumah saudara, nggak
apa-apa kan?" balasnya dengan santai.
"Berarti aku juga bisa main-main ke rumah sampean toh?"
tanya Suratmin semringah.
"Ngapain ke rumah nggak ada apa-apa di sana, lagian kalau di
sini kan ada makanan, tuh sepertinya istrimu sudah selesai masak, ayuk kita
makan," ajak Suratman dan langsung masuk ke dalam tanpa di suruh.
"Ayuk, Mbak silakan masuk!" ajak Suratmin tersenyum yang
dipaksakan.
"Wah dengan senang hati, dong," jawabnya dan langsung
menyelonong ke dalam.
Sampai di dapur, Susi yang selesai masak pun langsung menghidangkan
makanan diatas dipan yang terbuat dari kayu.
Nasi yang masih panas mengepul dengan baunya yang wangi,
ditambah sambal terasi yang menggugah selera.
Mereka pun sudah duduk menghadap makanan yang disajikan
Susi.
"Loh, Mas dan Mbak mau numpang makan lagi, kenapa nggak makan di rumah?" tanya Susi yang mulai kesal dengan tingkah mereka.
"Kamu kan tahu Mbakmu ini malas masak, lagian pembantu kalau
masak itu-itu saja, bosan nggak ada variasinya, beda sama kamu selalu
ganti-ganti walaupun hanya tempe saja," kilah Suratman yang sudah tidak sabar
ingin menyantap makanan yang ada didepannya.
"Ya belajar dong, Mbak, sebentar lagi mau lahiran juga terus
siapa yang mengurus, Mbak nanti?" tanya Susi kepada Siska.
"Aku belum ngambil cuti sayangkan uangnya, nanti tunggu dua
atau tiga harilah, baru aku rehat dan kita mau pakai baby sister aja, aku kan
wanita karier ya bedalah sama kamu yang Cuma rebahan saja nggak ada kegiatan,"
sahutnya dengan nada menyinggung.
Tak lama kemudian Suratmin datang dan ikut bergabung duduk
di antara mereka.
"Ayuk, cepatan toh, aku sudah lapar nih!" ucapnya dengan
cepat tangannya mengambil nasi itu sudah berpindah cepat dipiringnya.
"Sus, kamu kok masak sedikit amat, jangan pelit-pelit sama
keluarga, nanti nggak berkah loh!" ucapnya sembari melahap makanan itu dengan
lahap begitu juga dengan Siska istrinya tanpa malu-malu dai pun menambah porsinya
dengan alasan harus makan yang banyak karena hamil.
Mendengar ucapan Suratman, Susi kembali terhenyak dan
membuat selera makannya berkurang.
"Loh bukannya kalian ya yang pelit, buktinya makan terus di
sini gratis pula, kan duit banyak tinggal telepon pesan makanan terus datang
lalu bayar, ngapain toh susah-susah ke sini!"
"Berasku tinggal sedikit, Mas, yang jatahnya cukup untuk
sebulan, eh malah nggak cukup, harusnya tahu diri dong!" ejek Susi tetapi
mereka pun tetap tidak memedulikan omongan Susi, karena masih menikmati
makanannya sehingga semua yang disajikan tadi ludes seketika tidak menyisakan
Suratmin.
"Wah enak sekali makananmu Sus, sampai lupa nggak nyisakan
makanannya!" ucap Suratman dengan enteng.
"Kalau mau makan banyak sini, mana uangnya biar aku buatkan
lagi kayak tadi dan bisa sampean bawa pulang makan di rumah kalian saja!" ucap
Susi sembari mengulurkan tangannya untuk minta uang.
"Lah, aku nggak ada uang kecil, adanya juga uang merah semua,
kalau kasih kamu yang untung kamu dong, makanan seperti ini nggak nyampe tiga
puluh ribu juga nanti mau minta angsulannya bilang nggak ada kembaliannya,
orang miskin kan selalu mencari kesempatan dalam kesempitan!" rutuknya membuat
Susi bertambah kesal.
"Ya Allah, Mas nggak apa-apa, aku belikan di warung tunggu
sini nanti uang kembaliannya tak kasih sampean lagi, bagaimana?"
"Alah itu akal-akalan kamu saja, nanti kalau kamu
lebih-lebihkan harga di warung bagaiamana bilang beli kangkung harganya cuma
tiga ribu seikat nanti kamu bilang lima ribu, tekor dong aku!" hardiknya kesal.
"Kalau begitu sama-sama ke warung supaya tahu harga semua
kebutuhan yang di beli, bagaimana?" usul
Suratmin padahal dia sudah tahu jawabnnya.
"Nggak lah, aku malas kayak gitu, aku ini orang kaya, malu
lah belinya kok gituan, nggak level!" tolaknya.
"Ya sudah biar Mbak Siska saja yang ke warung, nanti biar
aku yang masakan, bagaimana ini alternatif terakhir loh!" ucap Susi yang hampir
putus asa mendengar alasaan demi alasan yang dibuatnya.
"Aku kamu suruh ke warung nggak ah ... nggak mau, nggak
level dengan warung kotor, bau, banyak kumannya ... iiihhh!" Siska mendelik
jijik saat membayangkan pergi ke warung dengan memakai sandal uang harganya
bisa mencapai satu juta rupiah itu.
Suratmin yang mendengarnya hanya biaa tertawa kecil
menampilkan deretan giginya yang putih, sedangkan Susi hampir kehilangan cara
untuk membuat mereka mengerti tetapi dia tidak ingin selalu dikelabui oleh
mereka yang bergelar sultan itu.
"Loh Mbak ini bagaimana sih, masakan yang aku buat itu dari
sana loh, yang Mbak bilang bau, kotor, banyak kumannya, berarti masuk ke perut
bahaya dong?" ejek Susi.
"Ya nggak lah, buktinya kamu dan Suratmin makan juga, nggak
ada masalah tuh, baik-baik saja!" jawabnya lagi dengan santai.
"Huh ... tenang Susi, tenang ... sabar ... aku harus banyak
istighfar kalau menghadapi mereka, untungnya aku tidak menikah dengan Suratman,
bisa pusing kepala aku dibuatnya tiap hari," gerutunya dalam hati.
"Baiklah, kalian seperti benalu kok di rumah orang miskin,
benalu itu di rumah orang kaya, ini nggak bisa dibiarin , pokoknya aku akan membuat mereka nggak ke sini lagi pelitnya
minta ampun malah kita lagi yang dibilang pelit!" rutuknya dengan kesal.
Bab 1 01. Ejekan
22/05/2023
Bab 2 Kerjaan Si Susi
22/05/2023
Bab 3 Rujakan
22/05/2023
Bab 4 Permintaan Siska
22/05/2023
Bab 5 Susi Melahirkan
22/05/2023
Bab 6 Hutang Bensin
25/05/2023
Bab 7 Alhamdulillah Sudah Lahir
25/05/2023
Bab 8 Kunjungan Pak Dirga
25/05/2023
Bab 9 Rezeki Untuk Suratmin
25/05/2023
Bab 10 Suratman Lagi Ngambek
25/05/2023
Bab 11 Pemberian Nama Anak Suratmin
25/05/2023
Bab 12 Suratman Berulah
25/05/2023
Bab 13 Pesona Suratmin
25/05/2023
Bab 14 Aku Dikerjai Lagi
25/05/2023
Bab 15 Galau Merana
25/05/2023
Bab 16 Pesan WA Suratmin
25/05/2023
Bab 17 Kemarahan Susi
25/05/2023
Bab 18 18. Rahasianya Terbongkar
27/05/2023
Bab 19 19. Perdebatan
27/05/2023
Bab 20 Pokoknya Aku Mau Operasi
27/05/2023
Bab 21 Kebaikan Susi
01/06/2023
Bab 22 Permohonan Susi
01/06/2023
Bab 23 Siska Operasi Sesar
06/06/2023
Bab 24 Kedatangan Pakdhe Karso
06/06/2023
Bab 25 Menjadi Baby Siter Nggak Ah
06/06/2023
Bab 26 Hadiah Kejutan
06/06/2023
Bab 27 Nama Putri Kecil Suratman
06/06/2023
Bab 28 Kepanikan Siska
06/06/2023
Bab 29 Kedatangan Tamu Tak Diundang
06/06/2023
Bab 30 Ulah Keluarga Pakdhe Karso
06/06/2023
Bab 31 Suratman Dilawan
19/06/2023
Bab 32 Rumah Kontrakan Untuk Pakdhe
19/06/2023
Bab 33 Bertengkar Dengan Suratman
19/06/2023
Bab 34 Masa Lalu Si Kembar
19/06/2023
Bab 35 Masa Lalu Si Kembar 2
19/06/2023
Bab 36 Kekesalan Suratman
19/06/2023
Bab 37 Masa Lalu Orang Tua Siska
19/06/2023
Bab 38 Gila Media Sosial
19/06/2023
Bab 39 Negosiasi Yang Tak Berujung
19/06/2023
Bab 40 Penampilan Mbak Surti
19/06/2023
Buku lain oleh Meriatih Fadilah
Selebihnya