Kafan Hitam
iboeh,
epedanya menepi ke sisi jalan. Tangannya segera menyeka
arak. Di sisi kiri dan kanan, terhampar persawahan yang berselimut gelap karena tengah dicumbu malam. Kakinya
rena petromaks yang berada di keranjang sepeda masih memberikan cahaya, berbanding
nya mendambakan kasur empuk di rumah, sedang sang mertua dan is
dihadiahi amukan mertua dan wajah masam sang istri. Kedua, ia akan selamat dari amarah pen
kegelapan jalan di depan. Sebenarnya, Ujang tak keberatan bila Mak Lilin yang dimaksud adalah seorang wanita tu
g naik-turun. Pria itu berhenti tepat di depan gapura kuburan untuk menstabilkan napas. Tatapannya lant
da beroda dua itu di bawah pohon. Tak perlu takut akan dicuri, Ujang sadar kalau hanya orang bodoh yang
udian menaiki tangga. Jaraknya tak begitu jauh dari gapura, hanya saja tekanan kawasan ini ben
an kiri dipenuhi dengan pepohonan bambu liar. Saat angin menerobos celah-
an burung-burung itu mengamatinya di suatu tempat. Ujang tak punya nyali untuk sekadar mencari tahu. Ia hanya
ak menuju jembatan. Bukannya ketakutan, pria itu malah mem
buah obor menyala di tiap sisi jembatan. "Mbah, saya ingin ... mint
ahkan sebagai anggukan persetujuan. Untuk itu, ia segera berjalan di
angkat petromaks lebih tinggi, ia sama sekali tak menemukan Mbah
sa bila ada seseorang yang tengah menatapnya. Namun, saat ia memastikan lebih jeli, nyatanya tak ada siapa pun di sana. Pemandangan yang ta
gat hidung. Sepanjang melumat tanah kuburan, ia tak b
panggi
anggilnya sudah lenyap ditelan kegelapan begitu melewati ujung pekubur
anya teramat hening. Ujang bahkan bisa mendengar suara langkah kaki dan embusan napas sendiri. Namun, ada sesuatu yang ganjil menurut Ujan
a seseorang di
lihat kunang-kunang yang tiba-
Ujang berbalas d
inta istrinya hanya berjarak beberapa jengkal dari
ari menyimpan sebungkus rokok yang berisi emp
perlahan, lalu mengaitkan
kut bergoyang karena aliran udara tadi. Pria itu kemudian melirik tempat terakh
" ujar Ujang
pintu gubuk tiba-tiba terbuka kencang. Pria itu seketika meneguk saliva, me
gar entah dari mana. Tangannya menghempas kerlipan cahaya milik kumpulan kunang-kunang tersebut dengan gerakan asal.
ketika mendengar suara raungan yang tiba-tiba. Sontak bulu kudu
n. Ia dengan cepat menutup mulut dengan sarung ketika bau bangkai menyingkirkanpemakaman. Saat berada di pertengahan arena kuburan, Ujang akhirnya memuntahkan isi perut. Ia sampai haru
Mbah," u
ucur deras. Lehernya terasa basah karena cairan kental. Ujang yakin itu bukan balsem seperti dugaan sebelumnya
ga isinya menggelinding ke tanah. Dua buah delima tergelatak tak jauh darinya, tetapi s
dugaan, rasa mual mengocok perutnya lagi. Bau busuk kian menyengat bersamaan dengan langkahnya yang sema
ir saat melihat sesosok makhluk hitam berdiri di depannya. Pria itu dengan segara menahan teriakan yang akan meledak. Di saat seperti ini, entah mengapa ka
nyalah bayangan. Namun, saat tubuhnya sudah setengah berdiri, makhluk hitam penuh borok itu malah menyodorkan buah delima terakhir ke arahnya. Bersamaan deng
-ju
am. Sekilas, ia menengok ke belakang. Makhluk itu masih berada di tempatnya semula, memelotot dengan mata mera
l, ia terjatuh dari atas anak tangga hingga tersungkur ke bawah. Petromaksnya m
n dua lampu minyak dan paksaan kuat, ia berjalan dengan t
an kayu yang tengah ia pijak malah bergoyang-goyang karena
ndak terbalik. Saat akan lari, kakinya malah terperosok. Berkali-kali ia berusaha menarik ka
lutut, sedang satu tangannya berpegangan kuat pada tali jembatan. "Sli kepergiannya malam ini. Kalau saja kejadiannya akan seperti ini, ia
encoba kembali berdiri. Namun, nahas, saat ia menarik kakinya kuat-kuat, pijakannya tiba-tiba ambruk. Dal
teriak. Raganya terayun-
man, Ujang hanya bisa pasrah. Dalam keputusaasaanny
a. Dalam hitungan detik, jemarinya satu per satu terlepas dari peganga