TAK MAU DIMADU
Salah tingkah. Padahal aku nggak tahu apa yang istri tetangga sebelah itu katakan padanya, t
lihatnya dengan kening berkerut dalam. Semoga
gitu Mas." Hampir saja tawaku pecah melihatnya menirukan gaya bicara Bu Minto. Lucu,
menuju sambal. Sambal yang dibuat istriku benar-benar me
ya ada a
erus terlontar dari bibir tipis itu. Tersedak.
di sebelah piring hingga habis tak tersisa. Mendingan, tapi bibir masih megap-
" Wajahnya lesu, lalu mendudukan diri di kursi
pada wanitaku, tapi melihat raut wajahnya yang te
gnya. Sinetron yang biasa ditonton sebentar lagi mulai. Benar saja, dia kembali cerah,
ahlah, badan rasanya letih sekali, tulang remuk, padahal aku tidak melakukan banyak hal kemarin. Sepertinya staminaku
*
, waktunya s
tu tengah duduk di depan meja riasnya sambil menyisir rambut hi
r tadi aku terlelap lagi. Panggilan untuk makan siang pun hanya masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Dan b
but dengan hairdryer. Aku beranjak dari tempat tidur, b
lengkapan salat di atas karpet pojok kamar, sebelah jendela, tak ingin kehilangan wakt
buat perut terus-terusan merasa kenyang. Aku kelaparan, perut pun
n tangan pada pinggang istriku ya
ya ngagetin." Sebuah tepukan mendarat di tanganku. "sayur capcay," katanya sa
tangan kamu kena kuping wajan," pint
karan tanganku di sana. Tak ingin menyia-nyia
dalam-dalam. Aku rindu wangi ini. Bukan hanya itu, aku pun rindu keintiman ini. Baru
ku sudah tak sabar ingin
membeku saat dia memberikan kecupan singkat di bibir ini
ih lama dan hanga
mengerjapkan mata. Suara merduny
ajah. Ditolak, membuat hati ini mencelos seketika. Tidak biasa
itu berdehem, lalu membela
ta makan dulu, ya. Kam
ih. Akan tetapi, kenapa dia menolak saat aku semakin mendekat? Tak ingin berprasangka
meja. Mimpi buruk itu perlahan-lahan merubahnya. Aku bisa pastikan, tidak ada wanita lain
i dari lamunan. Kaki berderap menujunya. La
n sarapan tadi. Bertambahnya capcay sebagai pelengkap sayur. Aku bukan pemilih makanan, apa
henti menyuap. Ini bukan pertama kalinya menu yang dihidangkan s
lam piringnya. Selera makanku hilang seketika, rasa lapar p
h ya?" tanyaku hati-hati, menggeser pir
. "Mas Ilham mau makan pakai apa? Telur
"Kamu kenapa, Dek? Kalau mas salah, mas minta maa
n, kamu nggak salah apa-apa."
kembali duduk di kursiku. Menarik piring tadi ke temp
bersama yang penuh keheningan
*
ai pintu kamar, pulang dari salat Maghrib yang dila
mbuka mukena yang dipakainya. Semburat sen
elipat kain putih itu, dan me
i menjadi teman tidurku. Hasrat yang sudah satu minggu i
rambut panjangnya yang tergerai bebas. Aku ta
aru jam del
iumi lembut ceruk lehernya, cukup lama aku bermain disana hingga napas berubah semakin membur
napas yang kian tak beraturan, menerpanya syahdu. Membuat si empunya mele
njang. Merebahkannya di atas peradua
i seluruh wajahnya. Gejolak yang membub
dari diriku. Meminta berkat kepada Allah agar syaitan tidak ikut andil dalam hubungan
saat hembusan napasku me
gku lirih, diakhiri dengan k
hirrahma