Love a Sweet Psycho
pertimu!" teriaknya sekuat tenaga se
perlawanan atau melindungi diri karena kepalanya tertarik ke belakang, terlalu kalap dengan semua
ranjak kasar dari duduknya, membuat kursi itu terdorong jatuh ke belakang, mencipta
nya seperti yang dilakukan Krystal terhadap Arin tadi. Membuat gadis itu segera bert
orang yang kerasukan, tak mengindahkan sedikit pun kata yang keluar dari mulut Krystal. Napasnya berderu, dan rahangn
, tapi langsung menengok ke belakang begitu sadar bahwa keributa
ngak tajam ke atas. Sedang tangan kecilnya benar-benar tak mengubah apa
genggam lengan Hun, menatap penuh memohon pada pria yang kin
i, dengan suara yang lirih sekali, sangat putu
ra Arin barusan menyadarkannya begitu saja. Rahang dan raut yang awalnya sanga
ang sakit. Sedang Hun masih dengan sisa deru napasnya,
napas besar, bingung harus bagaimana dengan semua yang telah terjadi, karena bagaimana pun ini semua
stal. Dia terdiam sebentar, lantas langsung membuat
dengan nada yang sedikit lirih, dan tatapan ragu-ragu, sama sekali berbeda saat ia menjambak Kryst
si oleh pria jangkung di depannya itu, namun segera mengendalikan diri
an Hun, yang masih ada beberapa helai rambut di sela jarinya, lantas mencaka
g tak dijawab lagi oleh Hun. Dia bahkan masih terdiam saat tiga luka memanjang di
erbuatan mengerikan Hun yang ia beri padanya barusan. Menurut Arin, Hun bahkan b
-keras ke lantai, dan berjalan menjauhi keduanya, keluar dari kelas yang kin
dian, yang merebut atensi semua orang dari pungg
ampan yang tak tahan dengan penindasan, dan akhirnya lepas kendali, namun merasa menyesal pada akhirnya, karena hatinya yang terlalu baik,
ang menimpa dirinya barusan. Sudah ia tebak, Hun pasti akan menyebabkan masalah yan
irnya, merasa luluh begitu melihat darah yan
bersalah, dan mengangguk ke
*
nggu sama sekali dengan luka itu. Dan seperti yang bisa ditebak, dia menggelengkan kepalanya pelan, tak tahu sungguh
perban, dan mulai menaruhnya di telapak tangan Hun untuk dibalutkan ke
ang ia lewatkan. Lantas ia mencoba membalik tangan Hun, dan tepat seperti perkiraannya, telapak tangan itu terluka, dengan lecet-lecet yang lumayan par
seraya meniliki luka di telapak tangan itu. Tapi Hun hanya terdiam, sengaja tak berniat menjawab pertanya
h, dan menghindari ko
mbali berkerut. Pagi tadi? Di taman belakang? Bukannya mereka sedang bersama saa
as di kepalanya. Luka itu pasti didapat saat ia mendorong Tehun tadi. Ia sempat mel
teramat hebat. Apakah Hun ini benar-benar serius dengan semua ucapanny
e cont