PELUKAN UNTUK LANIA
tepat di taman kota. Wajahnya menengadah melihat senja, burung-burung yang lalu lalang
bocah menempatinya seorang diri di posisi paling ujung. Entah ke mana orang
ya tanpa ingin tahu keadaan sekitar. Langit yang kuning makin lama beru
sing, melirik sedikit apa yang d
" Bergumam t
asah mencuri sesuatu. Angkasa akhirnya menatap dengan jelas bocah itu
a beranjak pergi. Bocah lelaki itu melihat kepergian Angkasa dengan wajah
bagaimana wajah pria yang sudah memberikannya sesuatu. Ia mel
naruh bungkusan nasi di bangku dekat dengan bocah
ngkasa ingin ikut campur urusan orang lain. Ia tak henti-
. Angkasa sampai me
a nam
itu sambil melambaikan tangan, entah siap
bil berlari, bocah itu
*
lari menghampiri dirinya. Hampir dua jam ia berkeliling kota un
bocah itu karena dip
mpai malam ia tidak menemukan adiknya. Jakarta bukan kota aman untuk bocah seusia Cakra yang sendirian, bisa saja
" Menggandeng tangan Cakra un
usan, ia nyengir malu. "Makanan, diberikan
ahal bisa saja itu modus penculikan. "Kamu tidak ingat apa yang Kakak katakan untuk tidak mengambil pe
an malam kita ...," mohon Cakra sambi
" Amara mensejajarkan tubuhnya untuk melihat wajah gembil sang adik. "Kakak masih punya cukup uang kalau untuk ma
yukur meskipun hanya berpenghasilan pas-pasan. Ia sudah banyak mencoba melamar di s
menengok sekelilingnya. "Tadi om itu duduk di sini, Kak. Duduk
elihat wajah kebingungan Cakra yang terlihat
i untuk kamu. Tapi nanti kalau kita bertemu lagi den
nang. Setidaknya ia bis
*
ini?" tanya Amara sambil menggandeng C
a ikuti, deh," kata bocah berumu
ocah itu berikan membuat asumsi Amar
u mereka ke mana." Bisa dipastikan entah Cakra yang kehilangan je
erkarat itu berbunyi. "Cepat kamu mandi, Kakak ingin lihat ibu
nya. "Bu ...." Panggilan itu memenu
perhatikan ibunya yang juga menatap dirinya. Dengan sigap Amara membantu ibunya
ut walau dirinya tak bisa berbuat banya
ris. Tubuh ibunya tak lagi sama, setengah dari sistem sarafnya tidak berfungsi.
lap
bu Amara-membuat Amara semakin be
... a
jelaskan, dengan bantuan tangan kiri yang masih berfun
g lagi, Bu." Helaan napas Dinar me
ntah ke mana dan jarang pulang. Sosoknya tak ubah seperti berandalan di pinggir
a lain pasti menjadi sandaran dan tumpuan tapi tidak untuk Amara dan Cakra
Dinar bisa saja berdiri sendiri namun kakinya sebela
amar, Dinar serta Amara dikagetkan dengan pecahan kaca dari arah dapur. Amara dengan cepat mendudukkan ibunya
diknya sudah terduduk di lantai d
Gun