/0/17384/coverorgin.jpg?v=824555dd66945fa97551dd6fb5bd7e30&imageMogr2/format/webp)
Lana menatap cermin di kamar pengantin dengan hati yang berdebar. Gaun pengantin putihnya menempel sempurna di tubuhnya, rambutnya tersisir rapi, dan riasan wajahnya membuatnya terlihat anggun. Hari itu seharusnya menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupnya. Ia menikah dengan Revan, pria yang selama berbulan-bulan membuatnya merasa aman, dicintai, dan dimengerti.
Namun, begitu malam pertama tiba, semua yang Lana percayai tentang Revan hancur begitu saja. Ia masuk ke kamar tidur pengantin dengan senyum gugup, membawa keranjang bunga kecil sebagai simbol awal kehidupan baru mereka. Tapi yang menunggunya bukanlah kehangatan cinta yang selama ini ia bayangkan.
Di sudut kamar, Lana melihat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Revan, suaminya, berada dalam pelukan seorang pria. Mata Lana membelalak, jantungnya terasa seperti dihantam palu. Nafasnya tersengal, dan seolah seluruh dunia runtuh di sekelilingnya.
"Revan... ini... apa maksudnya?" suara Lana serak, nyaris tidak terdengar.
Revan terkejut, tapi bukan karena rasa bersalah. Ia tampak kaku, ragu, seolah mencari kata-kata. Pria itu, yang kini Lana tahu bukan siapa-siapa baginya, melepaskan diri, menatap Lana dengan wajah penuh penyesalan dan... ketakutan.
"A... Lana, tunggu. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan..." Revan mencoba menjelaskan, tapi suaranya terdengar hampa, seperti berusaha menutupi kebohongan yang sudah terlalu jelas.
Lana menggigit bibirnya. Tangisnya menahan diri, tapi rasa sakit di dadanya terlalu dalam. Semua rasa percaya yang ia miliki pada Revan hancur dalam sekejap. Ia merasa ditipu, dipermalukan, dan dikhianati.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Lana mengambil tas kecilnya dan meninggalkan kamar. Ia tidak tahu harus ke mana, tidak tahu harus berkata apa, dan tidak tahu harus berbuat apa. Hanya ada satu hal yang ia tahu: ia tidak bisa tetap di sana, di rumah yang kini terasa asing dan dingin.
Namun rumah itu bukan rumah mereka sendiri. Lana menikah dan kini tinggal bersama keluarga Revan, rumah yang penuh mata yang mengamatinya. Ia melangkah ke ruang tamu, berharap menemukan seseorang yang bisa ia ajak bicara. Tapi semua orang yang ia temui hanya menatapnya dengan tatapan heran, sebagian bahkan penuh bisik-bisik tak sedap.
Dan di tengah kebingungan dan kesedihannya, satu sosok justru berdiri di sampingnya, dengan pandangan tenang yang berbeda dari yang lain. Henry, ayah Revan, pria yang selama ini pendiam, jarang bicara, dan tampak seperti sosok yang dingin, kini menatapnya dengan penuh perhatian.
"Lana..." suara Henry rendah, tapi ada kehangatan yang tidak Lana sangka akan ia rasakan. "Tidak apa-apa. Kamu tidak sendiri."
Lana menatap pria itu, bingung. Ia tidak mengerti mengapa Henry-yang biasanya jarang menunjukkan emosi-bisa begitu perhatian padanya. Tangisnya yang tertahan akhirnya meledak, dan ia menunduk, menutupi wajahnya.
Henry menepuk punggungnya perlahan. "Tenang, kamu bisa bicara padaku," katanya.
Dan untuk pertama kalinya sejak malam itu dimulai, Lana merasa sedikit lega. Ada seseorang yang tidak menjauhinya, yang tidak menilai atau menghakiminya. Hanya ada ketenangan, kehangatan, dan rasa aman yang aneh di dekat Henry.
Hari-hari berikutnya terasa berat. Lana harus tinggal di rumah yang sama dengan Revan, meskipun ia berusaha menghindarinya. Setiap tatapan, setiap bisik-bisik di ruang makan, setiap langkah di koridor terasa seperti pengingat bahwa hidupnya tidak akan sama lagi.
Namun Henry selalu ada di sisinya. Tidak terlalu sering, tapi cukup untuk membuat Lana merasa bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian. Kadang mereka hanya duduk di ruang tamu bersama, Henry membaca koran sementara Lana menatap jendela. Kadang ia membawa teh hangat untuk Lana, dengan senyum tipis yang membuat hatinya sedikit hangat.
Lana mulai menyadari bahwa kehadiran Henry bukan hanya untuk menenangkan. Ia mulai bergantung pada pria itu. Kehadiran Henry yang pendiam tapi tegas membuatnya merasa aman, meskipun ia tahu ada sesuatu yang salah dalam perasaan itu. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa hatinya mulai terikat pada pria yang seharusnya hanya menjadi ayah mertuanya.
Malam-malam pun menjadi momen tersendiri. Saat semua orang tidur, Lana sering duduk di balkon, menatap langit malam yang gelap. Pikiran tentang Revan, tentang malam pertama, tentang rasa sakit dan pengkhianatan, terus menghantui. Tapi pikiran tentang Henry-cara ia berbicara, cara ia menatapnya, cara ia membuatnya merasa dihargai-juga terus muncul.
Suatu malam, ketika hujan turun pelan dan suara rintikannya memenuhi halaman rumah, Henry mendekat. Ia membawa dua cangkir teh hangat, menyerahkannya pada Lana tanpa berkata banyak. Lana menatap cangkir itu, merasa ada kedekatan yang tumbuh, sesuatu yang ia tahu tidak seharusnya terjadi.
"Henry... aku..." Lana memulai, tapi suaranya tersendat. Kata-kata sulit keluar.
Henry menatapnya dengan lembut. "Tidak apa-apa. Tidak semua harus diucapkan dengan kata-kata. Kadang cukup dengan hadir di sini."
Lana menunduk, merasakan jantungnya berdebar. Ia tahu ini salah. Ia tahu perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka adalah sesuatu yang tabu. Tapi ia tidak bisa menghindarinya. Perasaan itu terlalu kuat, terlalu nyata, dan terlalu membingungkan untuk diabaikan.
Hari demi hari, Lana dan Henry semakin dekat. Mereka mulai berbagi cerita tentang masa lalu, tentang hidup, tentang kesepian yang selama ini mereka sembunyikan. Henry, yang tampak dingin dan tegas di depan orang lain, menjadi sosok yang hangat dan penuh perhatian hanya untuk Lana.
Namun, setiap senyum, setiap tatapan, setiap sentuhan ringan yang terjadi tanpa disengaja, membuat hati Lana semakin terseret. Ia tahu perasaan ini salah, tapi ia tidak bisa mundur. Ia sudah terlalu jauh untuk berhenti merasa.
Sementara itu, Revan tetap menjadi sosok yang dingin, menghindari tatapannya, namun tetap menuntut Lana tinggal di rumah itu. Keluarga Revan, yang awalnya penuh tatapan heran dan bisik-bisik, mulai memperhatikan perubahan sikap Lana. Mereka melihat kedekatannya dengan Henry, tapi tidak berani menegur. Rasa penasaran dan ketidakmengertian membuat semuanya semakin rumit.
Lana tahu satu hal: ia berada di jalan yang berbahaya. Tapi satu hal juga jelas-ia tidak bisa lagi merasa aman tanpa Henry. Tanpa sadar, ia sudah bergantung pada pria itu, dan itu membuatnya merasa hidup kembali di tengah kehancuran yang ditinggalkan Revan.
Malam itu, saat hujan turun deras dan angin meniup tirai kamar, Lana menatap ke arah rumah yang gelap. Hatanya campur aduk-antara bersalah, takut, dan rindu. Ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai. Perasaan yang tumbuh, rahasia yang terbentuk, dan ikatan yang mulai terjalin, akan membawa Lana ke arah yang tidak pernah ia bayangkan.
Ia menutup mata sejenak, merasakan kehangatan cangkir teh di tangannya, dan suara hujan yang menenangkan. Ia tahu, hidupnya tidak akan sama lagi. Dan di tengah semua kekacauan ini, satu hal yang pasti: Henry, ayah mertuanya, telah menjadi satu-satunya sandaran hati yang ia miliki.
Pagi itu, matahari menembus tirai jendela kamar Lana dengan sinar hangat yang seolah ingin menghapus malam penuh kebingungan yang baru saja ia lalui. Namun hatinya tetap terasa berat. Meski hujan semalam membawa ketenangan sesaat di dekat Henry, pagi hari selalu menghadirkan kenyataan yang tidak bisa ia hindari. Revan, suaminya, masih tinggal di rumah yang sama. Ia masih melihat Lana dengan tatapan dingin yang seolah menilai setiap gerak-geriknya.
Lana menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri saat menuruni tangga menuju ruang makan. Aroma kopi pagi dan roti panggang menyambutnya, tapi rasanya hambar. Ia duduk di kursi yang biasanya Revan tempati, sambil menatap piring kosong yang disiapkan oleh pembantu rumah tangga. Suasana terasa canggung, hening, hanya terdengar bunyi sendok yang dipukul pelan di cangkir kopi.
"Lana," suara lembut terdengar dari belakangnya. Henry muncul dari koridor, mengenakan kemeja putih dan celana panjang rapi. "Tidurmu cukup?"
/0/28777/coverorgin.jpg?v=458c151dcd4e9e43a17a9d579116cc2c&imageMogr2/format/webp)
/0/26494/coverorgin.jpg?v=9f3c4b0d80e84312e3f601762d44dbbc&imageMogr2/format/webp)
/0/27621/coverorgin.jpg?v=27edaad79907c7e8bd123c3140183f02&imageMogr2/format/webp)
/0/3765/coverorgin.jpg?v=09549bfc1c192f516f65b6033d23efcb&imageMogr2/format/webp)
/0/2684/coverorgin.jpg?v=592c3bb0095371dbe18e6ccc3a55f03f&imageMogr2/format/webp)
/0/24280/coverorgin.jpg?v=cbf38d4ab134064acce215c1cbe5a562&imageMogr2/format/webp)
/0/5984/coverorgin.jpg?v=7594470496f3997d0ffaaec9e85bca58&imageMogr2/format/webp)
/0/6716/coverorgin.jpg?v=aa47d8853cb4fc2d190f699a4e96e89a&imageMogr2/format/webp)
/0/5255/coverorgin.jpg?v=c14953358fe5381a06375faa1543d1f3&imageMogr2/format/webp)
/0/12287/coverorgin.jpg?v=dc9ec73b075f7f84b492682478ed1f3a&imageMogr2/format/webp)
/0/18154/coverorgin.jpg?v=aa78a5581eabd80e9db4dcd1184094ec&imageMogr2/format/webp)
/0/29156/coverorgin.jpg?v=caadae671f0955d2c3ba1844fa9d6881&imageMogr2/format/webp)
/0/14093/coverorgin.jpg?v=4aa6e70fcd12d74f5c60b1176aac593c&imageMogr2/format/webp)
/0/21574/coverorgin.jpg?v=260e08441a1198d9cd3c993822272973&imageMogr2/format/webp)
/0/6113/coverorgin.jpg?v=fc9bcc20ca6d2892ecdca7fb4356e955&imageMogr2/format/webp)
/0/20911/coverorgin.jpg?v=a118fcfd84a16c7214b7083fcf58d996&imageMogr2/format/webp)
/0/6608/coverorgin.jpg?v=dd8b100eddfbaaa683050abe78bc4fdb&imageMogr2/format/webp)
/0/17835/coverorgin.jpg?v=9b410988ca4abe070a9060a9bc8cd8e8&imageMogr2/format/webp)
/0/27352/coverorgin.jpg?v=d332dbd2fd6c23ffee6f11115c1d1cbc&imageMogr2/format/webp)