Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Pertanyaan begitu banyak disampaikan kepada wanita 35 tahun itu. Ia bernama Amara, bukan hal mudah baginya memutuskan untuk berpisah dengan lelaki yang sudah memberikan satu anak untuknya itu.
Kenapa cerai?
Bisa dipertahankan, dong, seharusnya?
Kamu nggak sabaran banget jadi istri!
Sederet pertanyaan lain yang seolah menyalahkan juga memojokannya, ia terima juga telan bulat-bulat. Amara sekali pun tak peduli. Ia jengah melihat pria itu bermalas-malasan seolah pasrah dengan keadaan.
"Kamu bebas mau lakuin apa pun setelah putusan cerai kita hari ini, jangan cari aku atau Bari. Aku mampu menghidupi diriku dan Bari tanpa kamu!" tunjuk Amara dengan jemarinya. Pria yang sebentar lagi menjadi mantan pasangan hidupnya itu hanya bisa tertawa sinis.
"Jangan lupa, Amara, motor yang kamu pakai untuk kerja, aku yang cicil. Jadi kembalikan itu."
Amara menatap marah. Dengan kasar, ia melempar kunci motor yang tergeletak di atas meja makan rumah mereka itu. Bari diam, menatap wajah bundanya dengan pemahaman yang minim akan kondisi orang tuanya.
Sambil menggandeng jemari tangan Bari, Amara melangkah pergi meninggalkan rumah itu. Dengan menggunakan taksi, ia dan Bari menuju ke tempat mereka yang baru. Memulai semua seorang diri. Ia bertekad, mampu menjadi tulang punggung bagi putranya.
"Ayah? Nggak ikut, Bun?" tanya Bari yang masih berusia tujuh tahun kala itu. Amara menatap, ia tersenyum.
"Ayah mau kerja jauh di tengah laut, jadi kita pergi aja ya, Nak. Bari harus sama Bunda terus, selamanya. Oke?" Amara mengusap kepala Bari yang merespon dengan anggukan kepala. Tak lama, bocah itu tertidur di pangkuan Amara.
Tak ada air mata, tak ada rasa sesak di dada. Untuk apa? Menyesali? Tak perlu. Alasan yang diberikan Amara untuk Bari tampak klise, tapi ia tak merasa terbeban. Biarlah putranya itu paham dengan alasan tersebut hingga masanya nanti tiba untuk lebih mengerti juga penjelasan secara rinci.
Bari dititipkan sebentar di rumah orang tua Amara, saat dirinya datang ke pengadilan untuk menerima putusan cerai. Ia tak sanggup mempertahankan pernikahannya dengan suami pemalas. Sejak terkena pengurangan karyawan atau PHK, ayah dari Bari itu justru hanya berpangku tangan seolah menyalahkan keadaan. Sontak Amara menggantikan peran mencari nafkah.
Awalnya, ia menganggap jika pria itu hanya terkejut sementara dengan perubahan yang terjadi. Tapi ternyata tidak, itu watak aslinya.
Menjalin masa pacaran hanya empat bulan dengan ayah dari Bari, ternyata sangat tak cukup bagi Amara untuk mengetahui semuanya. Berawal saat guncangan kondisi di kantor mantan suaminya itu - yang bekerja disalah satu bank swasta - tiba-tiba memutuskan mengurangi pegawai. Membuat ia saat itu yang masih berharap jika bukan nama mantan suaminya yang muncul, ternyata meleset, karena suaminya menjadi salah satu dari tiga puluh orang yang di rumahkan.
Tinggal terpisah dengan kedua orang tua masing-masing, mengontrak rumah type 36 di perumahan biasa, membuat ia dan mantan suaminya menghadapi itu berdua saja. Bari yang masih empat tahun dan baru masuk TK, diharuskan pindah ke sekolah biasa yang sesuai dengan keuangan orang tuanya. Pesangon diperoleh, namun, oleh mantan suami Amara justru dibelikan mobil yang alasannya untuk disewakan sehingga bisa menjadi sumber penghasilannya.
Justru, mantan suaminya tertipu rekannya sendiri, karena mempercayakan dananya tanpa melihat bukti fisik. 200 juta melayang begitu saja. Tersisa 70 juta, Amara mengatur sedemekian rupa, supaya bisa bertahan hingga mantan suaminya itu bekerja lagi.
Perlahan, uang pun habis, suaminya menjalani bisnis lain yang menjadikan tersisa sepuluh juta uang mereka. Amara mulai frustasi, ia kesal dengan suaminya. Mau tak mau ia mulai berpikir sendiri, demi mencukupi kebutuhan hidupnya dan membayar sewa rumah. Di saat mantan suaminya hanya mengandalkan warisan keluarga yang membuat keributan dan persoalan baru. Maka bercerai, adalah keputusan terbaik.
"Ya halo," jawab Amara saat mendapatkan telpon masuk di ponselnya.
"Udah! Resmi cerai, 'kan! Jangan kamu coba hubungin Kakak saya lagi ya, Amara! Ingat itu. Habis manis sepah dibuang, dasar matre!" umpat suara diujung sana. Amara hanya diam, ia memejamkan matanya. Rugi jika ia marah-marah pada mantan adik iparnya itu yang mudah tersulut omongan orang lain tanpa melihat fakta atau membandingkan dengan cerita pihak lain.
Matre dia bilang?
Amara terkekeh sendiri. Dengan santai ia memutuskan obrolan membuang waktu itu dan berjalan menuju ke angkutan umum yang ia hentikan di depan kantor pengadilan.
Sore hari pun tiba, tak menyurutkan dirinya untuk menuju ke lokasi tempat ia mendapatkan panggilan kerja. Ia akan memulai semuanya sendirian mulai saat itu.
***
"Waktu kerja kamu sebenarnya hanya lima hari, tapi, karena kita ada target dan harus terpenuhi, apa kamu sanggup menambah jam kerja kamu? Akan ada uang insentif, tapi jumlahnya memang tidak besar," ucap pria itu. Amara mengangguk. Tak masalah, toh, perusahaan perumahan itu mau menerima kondisi Amara yang sesekali akan membawa anaknya bekerja. Dengan pengertian seperti itu sudah cukup untuknya.
"Mulai kerja besok, ya, mal buka jam sepuluh, stand kita di tengah lobi utama, nanti kamu bertemu Diva, salah satu senior marketing."
Amara mengangguk. Ia paham dengan penjelasan pria tersebut. Tak berlama-lama, Amara pamit untuk pulang, dan menjemput Bari di rumah kedua orang tuanya.
Wanita itu optimis, ia mampu menjadi andalan Bari, sambil tak lupa mengajarkan kepada anak lelakinya itu jika kelak, ia tak boleh putus asa saat menghadapi musibah dan bekerja keras demi bangkit dari keterpurukan.
***