/0/23058/coverorgin.jpg?v=4c0ec1f46fbfddc72bcf6894813f78e9&imageMogr2/format/webp)
Bagaskara Dharma, pria gagah berusia 59 tahun, biasa disapa Pak Bagas atau Mayor Bagas, melangkah keluar dari rumahnya, menghirup udara yang masih segar. Embun sudah tidak ada yang menempel di dedaunan. Di tangannya, sebuah senapan angin tergenggam santai, bukan untuk berburu sungguhan, hanya untuk mengisi waktu dengan sedikit keisengan.
Ia berjalan pelan, matanya menyapu ke sekeliling. Pepohonan rindang berdiri kokoh, suara burung-burung bernyanyi di antara dahan-dahan tinggi. Cahaya matahari menembus sela-sela daun, menciptakan pola bayangan yang bergerak pelan di tanah.
Pak Bagas mengangkat senapannya, membidik sebuah ranting kering di kejauhan. Ia menarik napas, menahan selama beberapa detik, lalu menarik pelatuk.
Pletak!
Ranting itu patah dan jatuh ke tanah. Ia menyeringai kecil, menikmati kepuasan sederhana dari tembakannya yang tepat sasaran.
Ia melanjutkan langkahnya, melihat seekor tupai kecil di cabang pohon, ekornya bergerak-gerak, sontak matanya menatapnya penuh waspada. Pak Bagas tersenyum, menurunkan senapannya. Ia bukan pemburu, dan pagi ini ia pergi bukan untuk membunuh.
Angin berembus pelan, membawa aroma rumput dan dedaunan. Pak Bagas terus berjalan, menikmati ketenangan limgkungannya, di antara alam yang hanya membalas keisengannya dengan bisikan lembut pepohonan.
Pak Bagas melangkah lebih jauh hingga tiba di tepian sungai kecil yang membelah hutan. Airnya jernih, mengalir tenang dengan suara gemericik yang menenangkan. Ia baru saja hendak duduk di atas batu besar, menikmati hari yang damai, ketika matanya menangkap sesuatu di seberang.
Seketika, tubuhnya menegang.
Di bawah rimbunnya dedaunan, tersembunyi dari jalur utama, ada sepasang manusia yang sedang melakukan sesuatu yang sangat mencurigan. Bersetubuh. Gerakan mereka begitu alami, liar namun intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua. Kulit mereka berkilau oleh pantulan cahaya matahari yang menyelinap di antara ranting-ranting.
Gelombang kecil di permukaan air menunjukkan bahwa mereka mungkin sempat bermain di sungai sebelum semuanya berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mendebarkan.
Pak Bagas tetap diam, bukan karena takut ketahuan, tapi lebih karena pemandangan ini begitu mengejutkan dan tak terduga. Ia bahkan tidak tahu siapa mereka, dari mana mereka datang. Apakah sepasang kekasih yang sengaja mencari ketenangan di alam? Atau mungkin pasangan terlarang yang memanfaatkan kesunyian tempat ini untuk melampiaskan hasrat?
Ia menelan ludah, tiba-tiba merasa seperti penyusup di sebuah adegan yang seharusnya bukan untuk matanya. Jari-jarinya menggenggam senapan angin lebih erat, bukan karena gelisah, tapi lebih karena dorongan naluriah sebagai Purnawirawan TNI alias Pensiunan Tentara untuk tetap siaga.
Pak Bagas menahan napas sejenak, lalu melangkah lebih dekat, berusaha tidak menimbulkan suara di antara semak-semak. Daun-daun kering di bawah kakinya sedikit berdesir, tapi suara gemericik air dan desahan halus dari pasangan di seberang tampaknya lebih mendominasi.
Dari celah dedaunan, ia mengintip, mencoba mengenali wajah mereka. Namun, masih belum terlihat jelas wajahnya.
Lelakinya tampak kekar, dengan rambut sedikit gondrong yang tergerai di bahunya, sementara perempuan itu memiliki tubuh ramping dengan kulit kecokelatan yang berkilau oleh sinar matahari. Sepertinya mereka bukan orang-orang yang pernah ia temui di kota sekitar.
Jantung Pak Bagas berdetak lebih cepat, bukan karena terangsang, tapi karena perasaan aneh yang menyusup dalam dirinya. Ada sesuatu yang begitu liar dan primitif dalam cara mereka bersetubuh, seakan mereka bagian dari alam itu sendiri, tanpa beban, tanpa peduli apakah ada orang lain yang akan melihat segala tindakan tak pantasnya.
Pak Bagas bisa saja berbalik pergi, meninggalkan mereka dengan privasi yang seharusnya tetap terjaga. Tapi nalurinya berkata lain. Entah mengapa, ia tetap berdiri di sana, mengamati dalam diam.
Pak Bagas masih berdiri di balik semak-semak, napasnya tertahan saat menyaksikan bagaimana pasangan itu larut dalam dunianya sendiri. Ada sesuatu yang ganjil dalam perasaannya, bukan sekadar rasa bersalah karena mengintip, melainkan sesuatu yang lebih primitif.
Matanya mengikuti gerakan mereka. Cara lelaki itu menyusuri lekuk tubuh pasangannya dengan penuh penghayatan, sementara perempuan itu menengadah, seolah menyerahkan diri sepenuhnya. Mereka begitu alami, seakan alam ini memang milik mereka. Pak Bagas berusaha memperhatikan wajah mereka, namun masih belum jelas.
Namun, tiba-tiba, sesuatu membuat bulu kuduk Pak Bagas meremang. Dari balik punggung lelaki itu, ia melihat sekelebat bayangan bergerak di antara pepohonan. Seperti mata yang mengintai. Sepertinya bukan hanya dia yang menyaksikan adegan ini. Ada orang lain di luar sana.
Pak Bagas segera merapatkan tubuhnya ke batang pohon, matanya menyipit, mencoba menelusuri siapa atau apa yang mengawasi dari kejauhan. Sensasi mencekam mengusik gairah yang sempat hadir, dan kini, ia lebih fokus pada satu hal-apakah pasangan itu dalam bahaya? Ataukah justru dirinya yang harus bersiap menghadapi sesuatu?
Pak Bagas masih menempel di batang pohon, napasnya berusaha dikendalikan. Dari celah dedaunan, ia kembali mengintip ke arah pasangan paruh baya yang masih tenggelam dalam pusaran gairah. Sang wanita menggeliat dalam pelukan pasangannya, jemarinya mencengkeram rerumputan, sementara bibirnya merekah, mengerang dalam kenikmatan yang semakin memuncak.
"Mas Badriiiii... ahh... Mas Badriii..."
Jantung Pak Bagas berdegup keras. Tubuhnya menegang seketika.
Nama itu menggema di udara, menyusup ke dalam kepalanya seperti sesuatu yang tak terduga. Matanya menatap lekat wajah perempuan itu, bukan nama yang dia ingat namun samar-samar, merasa sangat familiar dengan suara itu. Namun, dalam keadaan seperti ini, sulit baginya untuk memastikan.
Setelah sekian menit, pasangan itu akhirnya mencapai puncak. Napas mereka tersengal, gerakan mulai melambat, dan setelah beberapa saat, mereka pun mulai berbenah. Dengan gerakan santai, pria itu menarik celananya, sementara sang wanita merapikan rambut dan mengenakan pakaiannya kembali, lengkap dengan kerudungnya.
Namun, rasa penasaran Pak Bagas terlalu kuat.
Ia melangkah keluar dari persembunyiannya.
Ranting kering yang terinjak di bawah kakinya berbunyi nyaring. Pasangan itu sontak menoleh, mata mereka membelalak begitu melihat sosok pria yang tiba-tiba muncul dari balik pepohonan-dengan senapan angin di tangannya.
"W-Who the hell-" si pria terkejut, langkahnya mundur waspada.
Sang wanita juga terdiam, wajahnya memucat saat mengenali siapa yang berdiri di hadapannya.
/0/11004/coverorgin.jpg?v=3f487766eb55efe4faa0737a8aed7553&imageMogr2/format/webp)
/0/19554/coverorgin.jpg?v=e2ddfb012f086e8984bf7e2b8e1940d6&imageMogr2/format/webp)
/0/20082/coverorgin.jpg?v=5d2809df48ebf1920c3bf5ca6292bba0&imageMogr2/format/webp)
/0/10727/coverorgin.jpg?v=4eb24ffd02e72b0564aca571fd2e35f1&imageMogr2/format/webp)
/0/22533/coverorgin.jpg?v=ac42a10c716b1b3cb93cf42b843fe60b&imageMogr2/format/webp)
/0/5334/coverorgin.jpg?v=e8958047a80cb46a2ba7e7b7e832679f&imageMogr2/format/webp)
/0/6699/coverorgin.jpg?v=007114197f84085426e11ce0ddeabca0&imageMogr2/format/webp)
/0/24554/coverorgin.jpg?v=efa550fab4bf78f97ede38270ee7890f&imageMogr2/format/webp)
/0/18225/coverorgin.jpg?v=e8d893a9acde5eba377b62355a66e599&imageMogr2/format/webp)
/0/12969/coverorgin.jpg?v=f9f0a9301a925a25eff4d0b73e22c85b&imageMogr2/format/webp)
/0/6487/coverorgin.jpg?v=5b7a28da01d709a8d9cb9d8337484d8a&imageMogr2/format/webp)
/0/20251/coverorgin.jpg?v=4c0a3e7038718f340c5d51aaaf74b801&imageMogr2/format/webp)
/0/22433/coverorgin.jpg?v=7133e9616d5f6372cfa54826f9dbee44&imageMogr2/format/webp)
/0/12423/coverorgin.jpg?v=3d5051c1c0e8628dc3e8520fa5689370&imageMogr2/format/webp)
/0/11003/coverorgin.jpg?v=4c9c871159c713d743e3a5910adc5aa8&imageMogr2/format/webp)