Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
"Inilah doaku, yang kupanjatkan di setiap salatku, di setiap Tahajudku, satu-satunya hal yang kupinta kepada Tuhan-ku. Kuharap kamu menjadi suami yang tidak adil, kuharap kamu menjadi suami yang dzalim, kuharap pesonaku yang pudar membuatmu berpaling, hilang rasa cintamu karenanya dan kamu hanya mencintai istri keduamu. Agar halal bagiku untuk menggugat cerai kamu, agar aku bisa meninggalkanmu. Tapi sebagai suami kamu terlalu sempurna. Heran, kenapa cintamu padaku begitu kuat, seakan kamu tidak pernah mendua."
-Doa Istri Pertama-
>><<
POV Annisa
Inilah doaku, sebagai wanita. Sebagai istri pertama. Egois tidak egois, atau bahkan kurang ajar, tapi inilah doaku sebagai seorang istri.
"Mas, kuharap kamu menjadi suami yang dzalim."
Aku berbisik, saat melihat suami yang tadinya sangat kucintai bersanding dengan wanita lain. Mataku memerah, buliran air bening membasahi bingkai mataku. Kedua tangan mungilku saling mencekram satu sama lain. Sakit, sangat sakit. Luka ini begitu perih.
Tadinya, dia menjanjikan keadilan. Tapi aku tidak yakin, sekalipun iya, aku tidak mau memercayainya.
Doaku tetap sama,
"Mas, kuharap kamu menjadi suami pendusta."
Tatapanku mengintai sepasang pengantin baru yang bergandengan, melalui pijakan karpet merah, disambut begitu meriah. Mataku semakin basah, bibirku berbisik.
Dulu, kupikir pernikahan kami di masa lalu akan menjadi satu-satunya untuknya, tapi tidak. Sekarang, secara nyata pernikahan keduanya terpampang di hadapanku.
"Mas, kuharap kamu akan memberikan ketidakadilan."
"Mas, kuharap kamu terbuai oleh pesona istri keduamu, melupakanku, mengabaikanku dan membuatku terkatung-katung."
Aku tidak terima. Dia mendua, secara halal. Aku terluka, tapi dia tidak berdosa.
Jadi, kuharapkan ketidakadilannya atau kedzalimannya, agar dia berdosa atas luka yang dia torehkan sekalipun lebih mendalam.
Andai ancamanmu tidak menakutiku, di hari pertama dia meminta izin padaku untuk menikah lagi ingin aku ajukan gugatan cerai. Tapi aku tidak mau melibatkan keluargaku dalam urusan rumah tanggaku.
Aku takut untuk memutuskan karena kekuasaanmu yang berhasil mengendalikan keliargaku.
Jujur Mas, aku menyesal menjadikanmu kepala rumah tanggaku.
"Mas, kuberdoa semoga kecantikan istri keduamu membuat wajah menuaku terbuyarkan dari kepalamu."
Aku ingat, ungkapan cintanya yang masih sama. "Aku mencintaimu."
Omong kosong, mengingat kalimat buaiannya, dadaku sesak. Tentu saja dia berbohong. Tapi sekali lagi, kedzaliman atas kebohongan yang dia utarakan, tak dicatat dosa manapun untuknya. Karena jika aku membohonginya ataupun dia membohongiku, kami sama-sama tidak berdosa.
Aku memerhatikan wajah semringahnya dari jauh. Wajah tirusnya yang putih, hidungnya yang tinggi dan lurus, dan segaris senyum manisnya yang dulunya selalu memanjakan mataku.
Buliran air bening berjatuhan saat melihat lengannya mengetat di pinggang istri barunya. Kepalaku menunduk.
Mas, ini doaku.
"Semoga, kamu menjadi suami yang dzalim." Dan aku bisa menggugat cerai padamu dan berpisah darimu. Agar luka halal ini bisa dihapus.
Hinanya diriku berharap dan berdoa, lelaki setaat dan sesaleh dirimu jatuh pada dosa yang menjanjikan neraka?
.