Cinta yang Tersulut Kembali
Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kasih Sayang Terselubung: Istri Sang CEO Adalah Aku
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Udara malam ini terasa begitu dingin. Rintik hujan mengenai jendela D`Moon cafe. Memantulkan wajah Elvina yang tengah menunggu sang kekasih hati.
Wajahnya tampak sendu kala memandangi jalanan yang sedikit lenggang karena hujan yang mengguyur kota Surabaya sejak sore tadi. Rupanya ia masih memikirkan apa yang tadi siang ia dengar di sekolah. Tentang kepergian Egha ke luar kota.
Tak lama kemudian, Egha dengan hodie hitamnya tampak menghampirinya. Sebelum duduk, ia masih sempat mengecup puncak kepala gadisnya dengan sayang. “Maaf telat,” ucapnya pelan.
Elvina hanya mengangguk pelan. Menatap lekat laki-laki yang kurang lebih satu tahun ini menjalin kasih dengannya. Seolah mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
Egha tersenyum lembut membalas tatapan gadis yang ia cintai. “Sudah pesan makan?” tanyanya yang hanya melihat segelas es teh di depan Elvina.
Elvina menggeleng pelan. Seolah tak memiliki kekuatan untuk mendengarkan penjelasan laki-laki di hadapannya ini.
“Kenapa? Kamu sudah makan?”
Sekali lagi, Elvina hanya menggeleng pelan dengan tatapan lekat yang mengarah ke Egha.
“Sekarang, jelaskan padaku. Bahwa apa yang aku dengar di kantor Guru tadi salah? Kakak mau pergi dari sini?” serunya tanpa bisa menahan kekesalan serta kekecewaannya lagi.
Egha hanya diam menyaksikan kemarahan kekasihnya saat ini. Karena bukan hanya Elvina yang akan tersiksa nantinya. Tapi juga dirinya. Jauh dari orang yang dicintainya tidak pernah terbayangkan dalam benaknya. Namun, ini sudah menjadi keputusan papanya juga impiannya sejak dulu. Tidak mungkin Egha akan mengingkarinya.
Tangan Egha ingin meraih tangan Elvina di atas meja. Namun dengan cepat, gadis tersebut menarik tangannya.
“Maaf. Kakak nggak bermaksud membohongimu. Tapi kakak memang di terima di Universitas di Jakarta. Kita masih tetap berhubungan. Ada media elektronik untuk tetap bertatap muka. Jangan pasang wajah sedihmu, Sayang. Kakak berjanji akan segera kembali kesini setelah lulus nanti. Kamu mau menunggu kakak, ‘kan?” tanya Egha dengan serius dan penuh harap.
Elvina mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ini berat baginya. Namun, ia juga tidak bisa bersikap egois dan kekanakan seperti ini, bukan?
Sebagai pasangan yang baik, bukankah kita harus mendukungnya untuk menggapai cita-citanya?
Menghela napas panjang. Elvina mengangguk dan mulai menerbitkan senyum manisnya. “Baiklah. Jika itu memang yang kakak inginkan, aku akan mendukung keputusanmu. Aku harap kakak di sana bisa belajar dengan tenang, raihlah cita-citamu setinggi mungkin. Jaga kesehatan juga, jangan sampai sakit karena terlalu keras belajar,” ungkapnya sambil menggenggam tangan Egha di atas meja.
Egha tersenyum hangat. Mengecup punggung tangan Elvina sekilas dan menggenggamnya erat.
“Aku berjanji padamu. Aku akan berusaha untuk lulus dengan cepat. Dan memperoleh nilai tertinggi nanti. Agar bisa segera bertemu denganmu dan membuatmu bangga. Sekarang, Ayo makan dulu! Setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Karena keretaku sebentar lagi berangkat,” jelas Egha yang tentu saja membuat Elvina terkejut.
Namun berusaha menahan gejolak hatinya yang sangat ingin berteriak untuk mencegah kepergian sang kekasih. Tapi urung ia lakukan. Melihat tekad kuat Egha yang sangat ingin meraih cita-citanya.
Selesai makan, Egha mengantarkan Elvina dengan motor bebek bututnya. Beruntung hujan sedikit lebih reda, meski masih ada gerimis yang tersisa.
Elvina mendekap tubuh kekasihnya dari belakang dengan erat. Bersandar di punggungnya, menyembunyikan buliran bening air matanya dengan tetesan rintik hujan.
Sebentar lagi, tubuh ini akan sulit ia dekap. Izinkan malam ini, ia memeluknya dengan erat. Sebelum semuanya hanya menyisakan sebuah kenangan.
Egha juga menggenggam tangan Elvina yang memeluk perutnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Mengecup punggung tangan perempuan yang sangat ia cintai.
Ia tahu, jika Elvina tengah menangis. Namun, ia tidak bisa mundur lagi. Semua sudah menjadi sebuah perjanjian dan impiannya. Egha yakin jika suatu hari nanti, kekasihnya itu akan mengerti keputusannya ini.
“Nah, sudah sampai,” ujar Egha yang menghentikan motor bebek bututnya tepat di depan pintu pagar rumah Elvina yang sederhana.
Elvina perlahan turun setelah menghapus air matanya. Berdiri di sisi Egha yang masih duduk di atas motornya sambil melepaskan helm.
“Jaga diri baik-baik, yah. Jangan sampai telat makan gara-gara nonton drakor! Jangan makan pedes kalau nggak mau di rawat lagi,” omel laki-laki itu sambil menggenggam kedua tangan kekasihnya. Mengecup punggung tangannya sekali lagi.