Elvira tak pernah menyangka, jika pertemuannya kembali dengan Egha akan menjadi rumit seperti ini. Setelah fakta bahwa mantan kekasihnya itu akan menjadi kakak iparnya. Ya, Egha akan menjadi tunangan Kayla, kakak tirinya. Hidup Elvira semakin rumit setelah mendengar pengakuan cinta dari sahabatnya yaitu Rafa. Terlebih lagi Rafa adalah adik dari Egha. Siapakah laki-laki yang akhirnya akan memenangkan hati Elvira? Jika kekecewaan yang dulu Egha torehkan masih terus membuatnya takut kembali membuka hati.
Udara malam ini terasa begitu dingin. Rintik hujan mengenai jendela D`Moon cafe. Memantulkan wajah Elvina yang tengah menunggu sang kekasih hati.
Wajahnya tampak sendu kala memandangi jalanan yang sedikit lenggang karena hujan yang mengguyur kota Surabaya sejak sore tadi. Rupanya ia masih memikirkan apa yang tadi siang ia dengar di sekolah. Tentang kepergian Egha ke luar kota.
Tak lama kemudian, Egha dengan hodie hitamnya tampak menghampirinya. Sebelum duduk, ia masih sempat mengecup puncak kepala gadisnya dengan sayang. "Maaf telat," ucapnya pelan.
Elvina hanya mengangguk pelan. Menatap lekat laki-laki yang kurang lebih satu tahun ini menjalin kasih dengannya. Seolah mereka tidak akan bertemu dalam waktu yang lama.
Egha tersenyum lembut membalas tatapan gadis yang ia cintai. "Sudah pesan makan?" tanyanya yang hanya melihat segelas es teh di depan Elvina.
Elvina menggeleng pelan. Seolah tak memiliki kekuatan untuk mendengarkan penjelasan laki-laki di hadapannya ini.
"Kenapa? Kamu sudah makan?"
Sekali lagi, Elvina hanya menggeleng pelan dengan tatapan lekat yang mengarah ke Egha.
"Sekarang, jelaskan padaku. Bahwa apa yang aku dengar di kantor Guru tadi salah? Kakak mau pergi dari sini?" serunya tanpa bisa menahan kekesalan serta kekecewaannya lagi.
Egha hanya diam menyaksikan kemarahan kekasihnya saat ini. Karena bukan hanya Elvina yang akan tersiksa nantinya. Tapi juga dirinya. Jauh dari orang yang dicintainya tidak pernah terbayangkan dalam benaknya. Namun, ini sudah menjadi keputusan papanya juga impiannya sejak dulu. Tidak mungkin Egha akan mengingkarinya.
Tangan Egha ingin meraih tangan Elvina di atas meja. Namun dengan cepat, gadis tersebut menarik tangannya.
"Maaf. Kakak nggak bermaksud membohongimu. Tapi kakak memang di terima di Universitas di Jakarta. Kita masih tetap berhubungan. Ada media elektronik untuk tetap bertatap muka. Jangan pasang wajah sedihmu, Sayang. Kakak berjanji akan segera kembali kesini setelah lulus nanti. Kamu mau menunggu kakak, 'kan?" tanya Egha dengan serius dan penuh harap.
Elvina mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ini berat baginya. Namun, ia juga tidak bisa bersikap egois dan kekanakan seperti ini, bukan?
Sebagai pasangan yang baik, bukankah kita harus mendukungnya untuk menggapai cita-citanya?
Menghela napas panjang. Elvina mengangguk dan mulai menerbitkan senyum manisnya. "Baiklah. Jika itu memang yang kakak inginkan, aku akan mendukung keputusanmu. Aku harap kakak di sana bisa belajar dengan tenang, raihlah cita-citamu setinggi mungkin. Jaga kesehatan juga, jangan sampai sakit karena terlalu keras belajar," ungkapnya sambil menggenggam tangan Egha di atas meja.
Egha tersenyum hangat. Mengecup punggung tangan Elvina sekilas dan menggenggamnya erat.
"Aku berjanji padamu. Aku akan berusaha untuk lulus dengan cepat. Dan memperoleh nilai tertinggi nanti. Agar bisa segera bertemu denganmu dan membuatmu bangga. Sekarang, Ayo makan dulu! Setelah itu aku akan mengantarmu pulang. Karena keretaku sebentar lagi berangkat," jelas Egha yang tentu saja membuat Elvina terkejut.
Namun berusaha menahan gejolak hatinya yang sangat ingin berteriak untuk mencegah kepergian sang kekasih. Tapi urung ia lakukan. Melihat tekad kuat Egha yang sangat ingin meraih cita-citanya.
Selesai makan, Egha mengantarkan Elvina dengan motor bebek bututnya. Beruntung hujan sedikit lebih reda, meski masih ada gerimis yang tersisa.
Elvina mendekap tubuh kekasihnya dari belakang dengan erat. Bersandar di punggungnya, menyembunyikan buliran bening air matanya dengan tetesan rintik hujan.
Sebentar lagi, tubuh ini akan sulit ia dekap. Izinkan malam ini, ia memeluknya dengan erat. Sebelum semuanya hanya menyisakan sebuah kenangan.
Egha juga menggenggam tangan Elvina yang memeluk perutnya dengan sebelah tangannya yang bebas. Mengecup punggung tangan perempuan yang sangat ia cintai.
Ia tahu, jika Elvina tengah menangis. Namun, ia tidak bisa mundur lagi. Semua sudah menjadi sebuah perjanjian dan impiannya. Egha yakin jika suatu hari nanti, kekasihnya itu akan mengerti keputusannya ini.
"Nah, sudah sampai," ujar Egha yang menghentikan motor bebek bututnya tepat di depan pintu pagar rumah Elvina yang sederhana.
Elvina perlahan turun setelah menghapus air matanya. Berdiri di sisi Egha yang masih duduk di atas motornya sambil melepaskan helm.
"Jaga diri baik-baik, yah. Jangan sampai telat makan gara-gara nonton drakor! Jangan makan pedes kalau nggak mau di rawat lagi," omel laki-laki itu sambil menggenggam kedua tangan kekasihnya. Mengecup punggung tangannya sekali lagi.
Elvina hanya mengangguk dengan tetesan air matanya yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Seraya menatap lekat-lekat wajah tampan laki-laki di depannya ini.
"Aku akan selalu merindukanmu, Sayang," ucapnya sambil menarik kedua sisi wajah Elvina dan mengecup keningnya lembut. Mendekapnya untuk yang terakhir kalinya.
"Aku pulang, yah?" pamitnya yang hanya di angguki pelan oleh Elvina.
Elvina tidak bisa mengucapkan kata-kata apa pun. Semuanya tertahan di dalam kerongkongannya. Terlalu sulit untuk membuka mulutnya. Rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit, membuatnya susah bernapas.
Elvina masih berdiri di depan pintu pagar dan melihat kepergian Egha dengan isakan tangisnya. Kedua tangannya terkepal kuat. Menahan rasa sesak yang menyakitkan ini.
Setelah bayangan Egha menghilang, ia jatuh bersimpuh di depan pagar. Menangis terisak-isak sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
***
Elvina terpaksa harus ijin tidak masuk sekolah karena demam. Saat ini, gadis itu hanya duduk di sebelah kaca jendelanya. Menatap kosong jalanan di depan rumahnya.
"Sayang, Ayo, makan dulu terus minum obatnya. Mama suapi, yah?" tawar Davina pada putri semata wayangnya.
Elvina menggeleng lemah. "Taruh di meja saja, Ma. Nanti Vina makan," sahutnya tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela kamarnya.
Terdengar helaan napas mamanya sebelum akhirnya keluar dari kamar.
Di dapur, Davina menghubungi seseorang lewat telepon. "Hallo! Iya, dia sakit. Sepertinya kita tunda dulu pertemuannya. Tunggu sampai dia membaik," sahutnya.
"Oh, tidak. Pacarnya baru saja pergi kuliah di luar kota. Dia sedih karena baru kali ini berpisah. Iya, kamu sabar, yah? Aku juga mau izin tidak kerja hari ini. Sepertinya aku tidak bisa meninggalkannya sendirian. Iya, terima kasih banyak," ujarnya yang menutup ponselnya dengan helaan napas berat.
Elvina melihat layar ponsel yang sejak tadi ia genggam. Tak ada kabar sama sekali dari Egha.
"Pasti dia sedang sibuk," gumamnya berusaha menenangkan hatinya sendiri yang kacau.
Helaan napas berat terdengar dari bibirnya yang pucat. "Baru semalam, tapi aku sudah tidak yakin pada hubungan kita," lirihnya sembari tersenyum kecut.
***
Tiga hari berlalu begitu saja. Dan sejak itu, Egha sama sekali tidak menghubungi Elvina sama sekali. Entah apa yang terjadi pada laki-laki tersebut. Hingga lupa memberikan kabar kepada gadis yang berharap dapat mendengar sebait kata darinya.
Rasa rindunya kepada sang kekasih, membawa Elvina ke sini. Ke tempat yang selalu mereka datangi dulu. Hanya untuk sekedar melihat sunset di rooftop apartemen yang kata Egha dulu milik sepupunya.
Elvina duduk seorang diri di pagar pembatas yang ada di rooftop. Di temani dengan satu cup es krim rasa vanilla kesukaannya serta satu cup cake vanilla. Keduanya adalah makanan yang sering di berikan oleh Egha. Ketika mood kekasihnya ini buruk.
Elvina menikmati es krimnya sambil sesenggukan. Ia merindukan sosok itu. Laki-laki yang selalu bisa menenangkan dan menjadi sandarannya selama ini. Juga pengisi kekosongan hatinya oleh kesibukan sang mama yang bekerja.
Puas menangis di rooftop. Elvina memutuskan untuk pulang. Jika tidak ingin membuat mamanya khawatir.
Sesampainya di rumah, Elvina terkejut melihat tamu yang tengah duduk dan bercanda bersama Mamanya. Tidak ingin berpikiran buruk terhadap sang mama. Namun, perasaannya mengatakan hal sebaliknya.
"Sayang, sudah pulang?" sapa mamanya saat melihat Elvina masuk ke dalam rumah.
"Kenalkan, Ini Om Abi. Dia akan menjadi papa kamu," jelas Davina sambil tersenyum ke arah putrinya.
"Apa?"
Bab 1 Merelakan Mu
22/12/2022
Bab 2 Ada yang pergi, Ada yang datang
22/12/2022
Bab 3 Malaikat tapi nyebelin
22/12/2022
Bab 4 Sekutu atau Musuh
22/12/2022
Bab 5 Alasan Penolakan
22/12/2022
Bab 6 New Life
22/12/2022
Bab 7 Laki-laki Kedua dalam hidupku
22/12/2022
Bab 8 Dia Kembali
22/12/2022
Bab 9 Hal Tak Terduga
22/12/2022
Bab 10 Waktu yang salah
22/12/2022