Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Dimas melenggang menyusuri gedung tempat acara pernikahan diselenggarakan. Mata beredar ke setiap penjuru, mencari-cari keberadaan dari keluarganya. Nihil, lelaki bersetelan jas hitam itu tak menemukan siapa-siapa, hingga seorang wanita paruh baya mendekati dirinya.
“Semua ke mana, Bi? Kok gak ada di sini, sih?” tegur Dimas seketika.
“Mm, itu ... anu, Den.” Wanita berkebaya cokelat itu nampak kebingungan menyusun aksara.
“Anu apa sih, Bi? Ngomong tuh yang jelas, jangan bikin orang bingung!” tegas Dimas.
Bi Yanti semakin kebingungan, ada kata yang ingin disampaikan, namun ia tak tahu harus memulai dari mana. Dimas menautkan kedua alis, menanti untuk penjelasan merasuki telinga. Namun, wanita di depannya masih saja tak berucap kata dan sibuk melirik ke sana-kemari, sembari meremas-remas jemari.
“Mas!” Terdengar seruan di antara keheningan, Dimas menoleh ke sumber suara.
“Tyo, di mana semuanya? Tamu udah penuh kayak gini, kenapa acara belum dimulai juga, sih?!”
“Itu masalahnya, Mas. Mendingan, sekarang mas ikut aku ke dalem!”
Dimas menciptakan garis-garis tegas di antara kedua alis, ada penasaran terlukis jelas dari mata serta ekspresi wajah. Tyo berbalik, mengajak sang kakak menemui yang lain, tanpa penjelasan dijabarkan lebih dulu, atau semua orang telah memadati gedung acara akan mendengar.
Sebuah pintu tertutup menjadi tujuan akhir, Tyo mengetuk sejenak, sebelum akhirnya menekan hendel. Dimas semakin dibuat bingung, tatkala ia mendapati semua keluarga berkumpul di dalam, memasang kecemasan. Paling membuat lelaki bertubuh tinggi tegap itu penasaran, adalah air mata ditumpahkan oleh seorang perempuan berbalut kebaya putih, duduk tertunduk di sebuah sofa.
“Ada apa ini? Kenapa kalian semua di sini?” tegur Dimas, menelisik setiap wajah dalam ruangan.
Senyap, tidak ada jawaban dari mereka yang justru saling tatap. Dimas menghela napas panjang, hatinya sudah dibuat begitu penasaran. Dia pun mendekati Luna—adik angkat yang hari ini hendak melangsungkan pernikahan. Dimas menyentuh pundak Luna, kemudian menekuk kedua lutut di depan perempuan yang dinaikkan dagunya.
“Kenapa kamu nangis, Luna? Bukannya, hari ini kamu bakalan nikah, tapi kenapa kamu malah nangis kayak gini?” lembutnya mengajukan tanya.
“Luna gak akan pernah nikah, Dimas!” Terdengar seruan menyela, Dimas menoleh pada sang pemilik suara.
Alis Dimas semakin berkerut, matanya pun turut mengecil mengamati wajah pria berkacamata, yang baru saja membuatnya tersentak. “Apa maksudnya, Pa?!”
Teddy—pria berusia lima puluh tahunan yang berdiri tak jauh dari Luna berada, mulai menarik sangat dalam napas. “Tadi istrinya Habibi kesini, ngelabrak Luna.”
“Apa?! I—istri?!” Dimas terperanjat berdiri. “A—apa maksudnya, Pa?! Bukannya ....”
“Rifky ternyata udah nikah dan punya anak, Dimas. Kita semua baru tau hari ini, pas istrinya dateng buat maki-maki Luna, anggap kalau Luna udah hancurin rumah tangganya!” Natalie menyambar dengan penjelasan, Dimas menoleh padanya.
Dimas membeliak kaget, setelah penjelasan dari ibunya menyapa pendengaran. Mata perlahan bergeser pada adik angkatnya, berganti pada keluarga yang mengisi ruangan sama.