/0/21862/coverorgin.jpg?v=a88c5225604ec327987d04c83aae65b5&imageMogr2/format/webp)
Sudah enam bulan lamanya. Enam bulan sejak hari itu, hari di mana pesta mewah itu digelar dengan segala kemegahan yang terasa begitu hampa bagiku. Aku masih ingat, kebaya putih gading yang kukenakan terasa dingin di kulitku, sama dinginnya dengan tatapan Dito-pria yang duduk di sisiku di pelaminan. Dia adalah pilihan keluargaku, bukan pilihanku. Pernikahan ini adalah hasil perjodohan yang rumit, sebuah kesepakatan bisnis berbalut tradisi yang mengikatku dalam sebuah sangkar emas. Selama enam bulan ini, aku telah mencoba.
Mencoba menyesuaikan diri, mencoba memahami, mencoba menerima kehidupan yang tidak pernah aku minta. Dan selama itu pula, aku hidup sebagai istri hanya sebatas status, sebuah bayangan di samping pria yang seharusnya menjadi suamiku.
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya yang terasa tak berujung, aku duduk sendirian di ruang makan yang luas. Meja makan yang besar, terbuat dari kayu jati mahal dengan ukiran rumit, kini dipenuhi hidangan yang masih utuh tak tersentuh. Aroma masakan yang seharusnya menggoda kini terasa basi di hidungku, menambah pahitnya kesendirian. Hanya ada satu piring kecil berisi nasi di hadapanku, kugenggam erat dengan tangan yang gemetar, seolah kehangatan nasi itu bisa sedikit meredakan dinginnya hatiku. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Dito belum juga pulang. Atau mungkin, dia memang sengaja tak pulang.
Tak perlu menjadi peramal ulung untuk tahu di mana dia berada. Ponselnya tak bisa dihubungi, selalu ada alasan klise yang dilontarkan asistennya: "Bapak sedang di luar kota, urusan pekerjaan." Namun, kebohongan itu selalu runtuh di hadanku, dihancurkan oleh unggahan Instagram Story Luna yang begitu terang-terangan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ponsel di genggamanku memancarkan cahaya redup, menampilkan dua sosok yang terlalu akrab. Dito dan Luna, makan malam romantis di rooftop hotel mewah, dengan latar belakang pemandangan kota yang berkilauan. Dan caption yang menyayat hati, sebuah tikaman langsung ke ulu hatiku: "Still feels like home, always."
Jari-jariku mengepal di bawah meja, kukuku menusuk telapak tangan. Rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan dengan nyeri yang kurasakan di dada. Berkali-kali, beratus-ratus kali mungkin, aku telah mengingatkan diriku untuk sabar. Kata itu, "sabar," telah menjadi mantra yang kuucapkan setiap kali air mata mendesak ingin keluar. Namun, kini kata sabar telah berubah wujud menjadi pisau tumpul, yang perlahan-lahan menusuk batinku, mengikis sedikit demi sedikit sisa harapan dan harga diriku.
Beberapa minggu yang lalu, puncak dari segalanya adalah saat aku memutuskan untuk memberanikan diri menegurnya. Aku masih ingat dengan jelas sore itu. Aku baru saja pulang dari pertemuan amal dan memutuskan untuk menjemput Dito di kantornya. Saat aku melangkah masuk ke lobi hotel, tempat kantornya berada di salah satu lantai atas, pemandangan itu menyapaku. Dito dan Luna, bergandengan tangan, berjalan santai keluar dari lift, tawa mereka terdengar begitu lepas. Seolah aku tidak ada, seolah pernikahan kami tidak pernah ada.
Darahku mendidih. Tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitar, tanpa peduli bisikan-bisikan yang mulai terdengar, aku menghampiri mereka. Langkahku mantap, meski jantungku berdebar kencang. Ketika aku berdiri tepat di hadapan mereka, satu kalimat sederhana meluncur dari bibirku, diiringi suara yang berusaha kucegah agar tidak bergetar: "Apa kamu sudah tak malu lagi membawa wanita lain saat kau sudah menikah, Dito?"
Yang kudapat? Hanya tawa sinis dari Luna, sebuah tawa merendahkan yang membuatku merasa kecil dan tak berarti. Dan kemudian, lirikan jijik dari Dito, tatapan yang begitu dingin, seolah aku adalah sampah yang mengotori pemandangannya.
"Kau pikir aku bangga menikah denganmu?" ucapnya dingin waktu itu, suaranya menusuk lebih dalam dari pisau apa pun. "Aku menikah karena paksaan. Jangan berlagak suci. Kita sama-sama korban."
Korban? Tidak. Aku menatapnya, bibirku kelu untuk membalas. Aku bukan korban. Aku adalah tumbal. Tumbal dari ambisi keluarga, tumbal dari perjodohan yang kejam ini. Aku adalah orang yang dikorbankan, sementara dia justru menikmati perannya sebagai 'korban' yang bisa melakukan apa saja sesuka hati.
Dan yang lebih menyakitkan, beberapa hari setelah kejadian itu, aku mendengar kabar yang lebih menusuk dari pembantu rumah tangga. Dengan nada berbisik, dia menceritakan bagaimana Luna sering datang ke rumah saat aku sedang keluar. Katanya mereka hanya membahas proyek Dito, urusan pekerjaan yang penting. Tapi siapa yang bisa percaya? Siapa yang bisa percaya bahwa tawa renyah Luna yang sering terdengar dari ruang kerja Dito, atau aroma parfumnya yang kadang masih tertinggal di bantal sofa, hanya sebatas urusan pekerjaan?
/0/26640/coverorgin.jpg?v=50f7ee4506f813e18ca91fa1c40175e8&imageMogr2/format/webp)
/0/18076/coverorgin.jpg?v=61d15d0660a89ec07b8702dd80111e55&imageMogr2/format/webp)
/0/23240/coverorgin.jpg?v=c997b3e39e8840ccf5e8fc6adcbe5620&imageMogr2/format/webp)
/0/24543/coverorgin.jpg?v=c1bdc46f48468b3e72665c31feca599d&imageMogr2/format/webp)
/0/4263/coverorgin.jpg?v=6935492822fb52bf87ecd1e925a634c9&imageMogr2/format/webp)
/0/13069/coverorgin.jpg?v=92545e4d9b349aafb1f003cbc8e9ea4a&imageMogr2/format/webp)
/0/30249/coverorgin.jpg?v=9a0645046effe8b1d75fe574e30f0892&imageMogr2/format/webp)
/0/17305/coverorgin.jpg?v=0c3fb52923c4a8a4034ba2b35bb5a135&imageMogr2/format/webp)
/0/22675/coverorgin.jpg?v=90c8760327be90f60cde8ddd1569dce7&imageMogr2/format/webp)
/0/2746/coverorgin.jpg?v=448db4eb343ee254be965967a044f6e4&imageMogr2/format/webp)
/0/13059/coverorgin.jpg?v=c7f4edf2621a67d1cb2683c440bb3aef&imageMogr2/format/webp)
/0/3936/coverorgin.jpg?v=e3236347ae04f00ccb2874ec63d5379e&imageMogr2/format/webp)
/0/3576/coverorgin.jpg?v=79bd0c4fd1e86ba1bc67090a59109612&imageMogr2/format/webp)
/0/4968/coverorgin.jpg?v=cb76e5b35230efd9aa46694c99914157&imageMogr2/format/webp)
/0/3566/coverorgin.jpg?v=b4cc8877018b358b1161e90e0d4180e7&imageMogr2/format/webp)
/0/14035/coverorgin.jpg?v=6df71ef5961f8965f39eac320dc8ffbd&imageMogr2/format/webp)
/0/5309/coverorgin.jpg?v=318edda748a512baafbab30c446567be&imageMogr2/format/webp)
/0/8394/coverorgin.jpg?v=3fd5a44b463fb4bca776667b01420ff2&imageMogr2/format/webp)
/0/18718/coverorgin.jpg?v=52f239a206a6440236781214a811b7a9&imageMogr2/format/webp)
/0/25067/coverorgin.jpg?v=1b7f87a99d0625a0fdd3f3dbfad7a5a7&imageMogr2/format/webp)