Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati

Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati

Raka adhitya

5.0
Komentar
Penayangan
33
Bab

Pernikahan ini adalah hasil perjodohan dua keluarga besar. Dito, pria yang enam bulan lalu sah menjadi suamiku, ternyata masih menjalin hubungan terlarang dengan mantan kekasihnya, Luna. Di hadapanku, ia dengan terang-terangan menunjukkan kemesraan dengan wanita itu. Teguranku dan bahkan kemarahanku tak pernah digubrisnya. Enam bulan berlalu tanpa aku dianggap sebagai istri, apalagi disentuh. Dito semakin menunjukkan sikap benci dan muak padaku. Aku tak sanggup lagi menyaksikan perselingkuhan suamiku yang sudah tak bisa lagi dipisahkan dari wanita itu. Mencoba bertahan dan bersabar, pada akhirnya benteng pertahananku runtuh juga. Bahkan satu istri saja ia tak mampu berlaku adil. Biarkan aku yang mengalah. Dito lebih memilih Luna. Maka, Aku Mundur! Hingga pada akhirnya takdir mempertemukan aku dengan seorang pria dingin bernama Arya Pratama.

Bab 1 Sudah enam bulan lamanya

Sudah enam bulan lamanya. Enam bulan sejak hari itu, hari di mana pesta mewah itu digelar dengan segala kemegahan yang terasa begitu hampa bagiku. Aku masih ingat, kebaya putih gading yang kukenakan terasa dingin di kulitku, sama dinginnya dengan tatapan Dito-pria yang duduk di sisiku di pelaminan. Dia adalah pilihan keluargaku, bukan pilihanku. Pernikahan ini adalah hasil perjodohan yang rumit, sebuah kesepakatan bisnis berbalut tradisi yang mengikatku dalam sebuah sangkar emas. Selama enam bulan ini, aku telah mencoba.

Mencoba menyesuaikan diri, mencoba memahami, mencoba menerima kehidupan yang tidak pernah aku minta. Dan selama itu pula, aku hidup sebagai istri hanya sebatas status, sebuah bayangan di samping pria yang seharusnya menjadi suamiku.

Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya yang terasa tak berujung, aku duduk sendirian di ruang makan yang luas. Meja makan yang besar, terbuat dari kayu jati mahal dengan ukiran rumit, kini dipenuhi hidangan yang masih utuh tak tersentuh. Aroma masakan yang seharusnya menggoda kini terasa basi di hidungku, menambah pahitnya kesendirian. Hanya ada satu piring kecil berisi nasi di hadapanku, kugenggam erat dengan tangan yang gemetar, seolah kehangatan nasi itu bisa sedikit meredakan dinginnya hatiku. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, namun Dito belum juga pulang. Atau mungkin, dia memang sengaja tak pulang.

Tak perlu menjadi peramal ulung untuk tahu di mana dia berada. Ponselnya tak bisa dihubungi, selalu ada alasan klise yang dilontarkan asistennya: "Bapak sedang di luar kota, urusan pekerjaan." Namun, kebohongan itu selalu runtuh di hadanku, dihancurkan oleh unggahan Instagram Story Luna yang begitu terang-terangan. Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, ponsel di genggamanku memancarkan cahaya redup, menampilkan dua sosok yang terlalu akrab. Dito dan Luna, makan malam romantis di rooftop hotel mewah, dengan latar belakang pemandangan kota yang berkilauan. Dan caption yang menyayat hati, sebuah tikaman langsung ke ulu hatiku: "Still feels like home, always."

Jari-jariku mengepal di bawah meja, kukuku menusuk telapak tangan. Rasa sakit fisik itu tak seberapa dibandingkan dengan nyeri yang kurasakan di dada. Berkali-kali, beratus-ratus kali mungkin, aku telah mengingatkan diriku untuk sabar. Kata itu, "sabar," telah menjadi mantra yang kuucapkan setiap kali air mata mendesak ingin keluar. Namun, kini kata sabar telah berubah wujud menjadi pisau tumpul, yang perlahan-lahan menusuk batinku, mengikis sedikit demi sedikit sisa harapan dan harga diriku.

Beberapa minggu yang lalu, puncak dari segalanya adalah saat aku memutuskan untuk memberanikan diri menegurnya. Aku masih ingat dengan jelas sore itu. Aku baru saja pulang dari pertemuan amal dan memutuskan untuk menjemput Dito di kantornya. Saat aku melangkah masuk ke lobi hotel, tempat kantornya berada di salah satu lantai atas, pemandangan itu menyapaku. Dito dan Luna, bergandengan tangan, berjalan santai keluar dari lift, tawa mereka terdengar begitu lepas. Seolah aku tidak ada, seolah pernikahan kami tidak pernah ada.

Darahku mendidih. Tanpa peduli tatapan orang-orang di sekitar, tanpa peduli bisikan-bisikan yang mulai terdengar, aku menghampiri mereka. Langkahku mantap, meski jantungku berdebar kencang. Ketika aku berdiri tepat di hadapan mereka, satu kalimat sederhana meluncur dari bibirku, diiringi suara yang berusaha kucegah agar tidak bergetar: "Apa kamu sudah tak malu lagi membawa wanita lain saat kau sudah menikah, Dito?"

Yang kudapat? Hanya tawa sinis dari Luna, sebuah tawa merendahkan yang membuatku merasa kecil dan tak berarti. Dan kemudian, lirikan jijik dari Dito, tatapan yang begitu dingin, seolah aku adalah sampah yang mengotori pemandangannya.

"Kau pikir aku bangga menikah denganmu?" ucapnya dingin waktu itu, suaranya menusuk lebih dalam dari pisau apa pun. "Aku menikah karena paksaan. Jangan berlagak suci. Kita sama-sama korban."

Korban? Tidak. Aku menatapnya, bibirku kelu untuk membalas. Aku bukan korban. Aku adalah tumbal. Tumbal dari ambisi keluarga, tumbal dari perjodohan yang kejam ini. Aku adalah orang yang dikorbankan, sementara dia justru menikmati perannya sebagai 'korban' yang bisa melakukan apa saja sesuka hati.

Dan yang lebih menyakitkan, beberapa hari setelah kejadian itu, aku mendengar kabar yang lebih menusuk dari pembantu rumah tangga. Dengan nada berbisik, dia menceritakan bagaimana Luna sering datang ke rumah saat aku sedang keluar. Katanya mereka hanya membahas proyek Dito, urusan pekerjaan yang penting. Tapi siapa yang bisa percaya? Siapa yang bisa percaya bahwa tawa renyah Luna yang sering terdengar dari ruang kerja Dito, atau aroma parfumnya yang kadang masih tertinggal di bantal sofa, hanya sebatas urusan pekerjaan?

Hari ini, konflik itu kembali pecah, lebih hebat dari sebelumnya.

Dito pulang larut malam, jauh setelah jam makan malam. Aroma parfum wanita lain masih melekat kuat di kemejanya, sebuah bukti tak terbantahkan yang menusuk indraku. Aku mencoba bersikap tenang, mencoba memadamkan api yang berkobar di dadaku. Dengan tangan gemetar, aku menyiapkan segelas teh hangat, aroma melati yang menenangkan, berharap bisa meluluhkan sedikit beku di hatinya.

"Jangan pura-pura jadi istri sempurna. Kau jijikkan," ucapnya datar tanpa menatapku. Ia bahkan tidak melihat ke arahku, seolah aku hanya patung tak bernyawa. Ia langsung duduk di sofa, menyalakan laptopnya, seolah tak terjadi apa-apa, seolah kehadiranku di sana adalah sebuah gangguan kecil yang tak berarti.

Aku menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Air mataku mendesak ingin tumpah, namun aku menahannya. Aku sudah terlalu sering menangis. "Sampai kapan kau akan terus begini, Dito?" suaraku bergetar, lebih dari yang kuinginkan. "Sampai kapan kau mempermalukanku? Aku istrimu!"

Matanya akhirnya menatapku, namun bukan tatapan penyesalan, melainkan tatapan tajam dan dingin yang lebih menusuk dari pisau. "Aku tak pernah menginginkanmu. Harusnya kau sadar sejak awal," balasnya tajam, setiap kata adalah tamparan. "Kalau kau tak tahan, pergi saja. Aku tak akan menahanmu. Lagipula, hatiku bukan untukmu. Tidak akan pernah."

Di saat itu juga, di tengah dinginnya ruangan dan tajamnya ucapan Dito, hatiku runtuh. Hancur berkeping-keping. Aku tidak hanya tidak dicintai, aku dibenci. Sebuah kenyataan pahit yang jauh lebih menyakitkan daripada sekadar tidak dicintai. Aku adalah objek kebenciannya, seseorang yang dia paksa untuk berada di sisinya.

Dan yang lebih menusuk: aku tidak kalah dari Luna. Bagaimana bisa aku kalah jika aku bahkan tidak pernah ikut bermain di arena itu? Dito tidak pernah memberiku kesempatan untuk bertanding, untuk memenangkan hatinya. Aku bahkan tidak pernah dianggap sebagai lawan. Aku hanyalah pion yang bisa dia singkirkan kapan saja.

Malam itu, dengan sisa-sisa kekuatan yang kumiliki, aku mengemasi koper. Bukan karena aku lemah, bukan karena aku menyerah. Tapi karena aku sudah terlalu kuat selama ini. Aku sudah menanggung beban ini terlalu lama. Sudah saatnya untuk melepaskan. Untuk bernapas. Untuk kembali menjadi diriku sendiri.

Lalu, takdir, dengan segala misterinya, membawaku pada Arya Pratama.

Seorang pria asing, dengan tatapan dingin yang justru memberiku ruang untuk bernapas. Tatapannya tidak menghakimi, tidak membenci. Ada sebuah ketenangan dalam sorot matanya yang seolah berkata, "Kau aman di sini." Pertemuan kami singkat, tak sengaja, namun entah mengapa, ada secercah harapan kecil yang mulai tumbuh di dadaku yang hancur. Sebuah harapan bahwa mungkin, hanya mungkin, ada jalan lain untukku.

Namun aku tahu, segalanya takkan mudah. Karena Dito bukan pria yang rela kehilangan miliknya-bahkan saat ia sendiri yang membuangku. Dia adalah pria yang terobsesi pada kontrol, pada kepemilikan. Baginya, aku adalah properti yang tidak boleh lepas dari genggamannya, tidak peduli seberapa besar dia membenciku.

Dan karena Arya... bukan pria biasa. Ada aura misterius di sekelilingnya, sebuah kekuatan tersembunyi yang membuatku penasaran sekaligus merasa takut. Aku tahu, perjalananku masih panjang. Tapi setidaknya, untuk pertama kalinya dalam enam bulan, aku merasa ada secercah cahaya di ujung terowongan.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Raka adhitya

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku
Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati
1

Bab 1 Sudah enam bulan lamanya

26/07/2025

2

Bab 2 Kupeluk erat koper kecil di tanganku

26/07/2025

3

Bab 3 Kesepakatan

26/07/2025

4

Bab 4 Aku pastikan kau terbakar lebih dulu

26/07/2025

5

Bab 5 Siaran itu meledak seperti bom waktu

26/07/2025

6

Bab 6 Ancaman Luna membekas

26/07/2025

7

Bab 7 Bahkan setelah keberanianku melampaui batas

26/07/2025

8

Bab 8 Rasa yang Tak Bisa Dimengerti

26/07/2025

9

Bab 9 Jangan Sentuh Istriku

26/07/2025

10

Bab 10 Apartemen

26/07/2025

11

Bab 11 Sebuah Gedung Kosong

26/07/2025

12

Bab 12 Kebenaran yang Tak Bisa Diam

26/07/2025

13

Bab 13 Dito Kananta Diburu

26/07/2025

14

Bab 14 Markas Sementara

26/07/2025

15

Bab 15 Rumah Tua

26/07/2025

16

Bab 16 Sudah hampir sebulan sejak vila Dito terbakar

26/07/2025

17

Bab 17 Mencintai Tanpa Syarat

26/07/2025

18

Bab 18 Jalan Pulang

26/07/2025

19

Bab 19 Yang Tak Pernah Pergi

26/07/2025

20

Bab 20 Tiga hari setelah kami membuka surat

26/07/2025

21

Bab 21 Kebenaran yang selama ini tersembunyi

26/07/2025

22

Bab 22 Rumah yang Kubiarkan Tumbuh

26/07/2025

23

Bab 23 sesuatu tengah berubah

26/07/2025

24

Bab 24 bertumpuk berkas

26/07/2025

25

Bab 25 menguras segalanya

26/07/2025

26

Bab 26 Dua bulan setelah pernikahan kami

26/07/2025

27

Bab 27 mengajak kerja sama

26/07/2025

28

Bab 28 beberapa bulan yang lalu

26/07/2025

29

Bab 29 Surat dari Masa Depan

26/07/2025

30

Bab 30 Rumah ini tak lagi sama

26/07/2025

31

Bab 31 masa lalu

26/07/2025

32

Bab 32 menyiram bunga di taman

26/07/2025

33

Bab 33 setelah hujan sore

27/07/2025