Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati
ng sejak awal tak pernah bisa kusebut "rumah." Bangunan megah yang seharusnya menjadi tempatku bernaung, kini terasa seperti penjara yang baru saja k
k tulang, melainkan karena dada ini terlalu penuh oleh luka yangmu. Lagipula, hatiku bukan untukmu. Tidak akan pernah." Kata-kata itu berputar-putar, menghujam, mengoyak sisa-sisa harga diriku. Tidak a
yang terkenal angkuh, atau mungkin karena mereka tahu aku sudah tidak sama lagi. Keluargaku sendiri? Ah, mereka. Bagi mereka, aku adalah kegagalan. Kegagalan dalam menjaga pernikahan "prestisius" ini, pernikahan yang seharusnya men
mpat itu, asalkan aku bisa tidur tanpa ancaman, tanpa tatapan menghina, tanpa rasa sakit yang mencekik. Namun takdir, rupdi tengah guyuran hujan lebat. Kami berada di sebuah jalan yang sepi, di depan sebuah gedung perk
cemas. "Mobilnya mogok. Sepertinya mesinny
ng dingin dan hujan yang tak berkesudahan ini? Aku menc
arnya, tanpa menatapku. Ia terlihat sibuk mencoba
Mataku menyapu sekitar, mencari tempat berteduh. Satu-satunya tempat yang tampak adalah teras gedung perkantoran di depanku. Dengan sisa-sisa tenaga, aku berlari ke arah
ah aku me
a terlihat jelas di balik kaca. Aku terpaku sejenak, tatapannya begitu intens, namun sekaligus begitu dingin. Wajahnya tajam, bersih, dan sangat kaku
pang berteduh sebentar?" Suaraku nyaris tenggelam oleh suara hujan yang mende
dengan suara gemerincing kunci atau putaran engsel, melainkan dengan mekanisme otomatis yang halus. Dia melangkah mundur beberapa langkah, memberi isyarat padaku untuk m
is yang kosong, terbuat dari onyx hitam yang memantulkan bayangan. Namun, kemewahan itu terasa sepi. Tidak ada suara musik, tidak ada obrolan karyawan, hanya detak jam dinding yang terdengar jelas dan suara deru hujan di luar
ang masih menggigil. Rasa malu menyelimutiku. Aku, istri dari Dito Mahendra, kini b
gu di
erintah mutlak, bukan sebuah ajakan. Ia tidak melihat ke arahku, hanya menunjuk ke arah sofa kulit besar di sudut ruangan, lalu berbalik dan
tapa basah kuyupnya diriku. Tepat ketika aku berpikir untuk menyerah dan duduk di sofa, pria itu kembali. Di tangannya, ia membawa handuk k
uah rasa malu yang tak tertahankan menjalari diriku. "Aku tidak minta simpati," ucatar. "Karena aku t
ya tegas, hidungnya mancung, dan bibirnya tipis. Matanya, meski dingin, memiliki intensitas yang menarik. Ak
sa yang berkembang pesat. Pria yang dikenal tak pernah tersenyum, yang reputasinya dingin dan kaku sudah menjadi legenda di kalangan pebisnis. Dia juga dikenal tak pernah terlibat skandal apa pun... karena ia terlalu dingin un
kembali memecah keheningan. Tidak ada n
uk. "Tidak," jawabku jujur, merasa tak ada gunanya be
ngkat, nyaris tak te
tu berat, namun entah mengapa, di hadapan pri
h itu adalah jawaban yang sudah sering ia dengar, seo
agi, tatapannya menyapu sekelili
taku. "Aku bahkan tidak tahu tempat ini milik siapa. Aku hanya...
mencoba membaca pikiranku, atau mungkin, sekadar mengamati reaksi emosiku. Detik berik
ong di samping meja resepsionis. "Aman, tapi jangan berharap kas
simpati, tapi memberiku perlindungan. Aku mengangguk, rasa lega membanjiri diriku. "Aku
an suara yang sedikit lebih pelan dari sebelumnya, seolah sebuah bisikan refleksi dari jiw
apa yang dia alami, namun kalimat itu beresonansi dalam hatiku.
imut tipis yang ia berikan terasa hangat, dan anehnya, untuk pertama kalinya sejak menikah, aku bisa tidur tanpa takut. Tanpa suara makian yang menyayat hati, tanpa tatapan jijik dari orang
lik dinding es tatapan Arya Pratama, ada sebuah jaring ta
sudah menyelinap masuk melalui celah gorden, menerangi debu-debu yang menari di udara. Aku meregangkan tubuh, merasakan
ah Arya Pratama sudah pergi? Atau dia memang bekerja di jam-jam aneh seperti ini? Aku melangkah ke arah pintu ka
tama. Melainkan seorang wanita muda berambut cepak, mengenakan setelan blazer rapi,
n suara tenang dan profesional. "Sa
ing. "Selamat pagi.
padaku untuk menyelesaikan kalimat. Ia menyerahkan amplop itu padaku.
m. Tiga ha
natapku lurus, "beliau terta
g pria yang terkenal dingin dan acuh tak acuh pada urusan personal, tiba-t
, lalu menjawab telepon dengan nada bicara yang rendah. Samar-samar kudengar
Di satu sisi, ada rasa puas yang samar, seperti karma yang bekerja. Di sisi lain, ada kecemasan. A
u, dan sebuah catatan singkat dengan tulisan tangan yang rapi, namun terasa dingin: "Ruan
ng sudah dicetak. Judul besar berwarna merah menc
SKANDAL PERSELINGKUHAN, FOTO MESRA
dan Luna, berpelukan mesra di tempat-tempat umum, di restoran, bahkan di de
tanyaan muncul di benakku: apakah Arya Pratama tahu ini akan terjadi? Apakah ini semua ad
upku baru saja berubah haluan. Dan pria dingin bernama Arya Pratama, yang bahkan tak memberiku simpati,