Enam Bulan Dinikahi, Enam Kali Dikhianati
a seperti kode yang lebih dalam dari sekadar inisial nama Arya. Bukan cuma tentang simpatinya, yang ia sendiri akui tidak ia berikan, melainkan seolah... ia tahu. Ia mengawasi. Ada sesuatu yan
ma ini? Dan mengapa ia begi
gi debu-debu yang menari di udara, membuat suasana terasa semakin sureal. Aku merasa seperti masuk ke dalam labirin yang asing, jauh dari keramaian kota, jauh dari kebisingan duniaku yang lama. Kemewahan yang ter
duk santai di salah satu kursi di ujung meja, kemeja hitamnya kontras dengan kulit putihnya, dan ekspresi dingin yang tak bisa kutebak tercetak jelas di wajahnya. Di hadapannya, segelas kopi mengepu
matanya masih terpaku pada dokumen di hadapannya. Suaranya
p untuk bereaksi. Pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirku, adalah pertanyaan yang pa
enyesalan di sana. Hanya kehampaan yang dingin. "Aku hanya membuka pintu," jawabnya, suaranya tenang,
i. Dia adalah orang di balik layar. "Kenapa?" tanyaku pelan, berusaha menguatkan suaraku. "Apa untungnya bagimu maan, melainkan senyum kepuasan yang dingin. "Aku tidak peduli pada suami
yang rumit. Harga diriku yang sudah terkoyak, kini terasa semakin diinjak-injak. "Aku buka
nku. Matanya menatapku lurus, tajam menembus, seolah mencoba m
ami, setelah merasa tak berdaya selama berbulan-bulan, kini aku dihadapkan pada kemungkin
. Seseorang yang punya alasan kuat untuk melawan suaminya." Dia berhenti di depanku, jarak kami tidak lebih dari dua langkah. "Aku sedang menghadapi konsolidasi besar. Ada
lik kata-katanya. "Kau ingin memanfaatkan aku untuk membalas d
ni. Kuberi nama baru, perlindungan, bahkan kontrak kerja dan akses sosial yang luas." Matanya menyapu
yang dikhianati." Suaraku sedikit bergetar, ada keputusasaan
rdengar, yang bisa jadi adalah sebuah kekaguman dingin. "Tak
harus bersembunyi? Tapi... bermain drama? Menjadi bagian dari permainan kekuasaan yang meng
n. "Tapi jangan kembali jika kau sudah pergi." Sebuah ancaman yang terselubung, sebuah pernyata
ungguku. Dito. Dia akan menunggu dengan kemarahan yang membara, dengan fitnah yang siap dilontarkan, dengan segala cara untuk
idak akan menjadi bayangan yang diam, tidak akan menjadi korban yang pasrah. Pertanyaan itu kembali bergaung di benakku: Apa aku siap masuk ke dunia
a lagi, terdengar lebih dingin, namun ada intensitas yang membuatku terpaku. "Ini bukan tentang membalas dendam," katany
enam bulan. Harga diri yang keluargaku abaikan demi gengsi. Ya, ini bukan tentang cinta. Cinta sudah lama mati dalam pernikahanku. Ini buka
tama kalinya.
korban yang lemah, yang ha
enti jadi bayangan
hidupku, terlepas dari seberapa berbahaya itu. Aku ingin merasaka
rus kulakukan?" tanyaku, suaraku terdengar lebih mantap dari yang kuduga. Itu b
seolah sebuah pengakuan. "Detailnya akan kusiapkan," katanya. "Untuk saat ini, kau hanya perlu ta
epakatan yang didasari bukan oleh kepercayaan mutlak, melainkan
gan. Ponselku. Aku meraihnya dari saku. Jantu
ilan suara biasa. I
jah Luna muncul di layar, dengan senyum miring yang khas, seolah dia sedang memegang kakau tahu..." Senyumnya semakin lebar, dan aku bisa melihat kemarahan yang tersembunyi di balik tatapan matanya. "
panggilan itu, meninggalkan aku terpaku di tempat, den
kah lebih dekat. Matanya menatap ponselku, lalu beralih padaku.
gumamku, lebih kep
enang, seolah ini sudah diperkirakan
Pratama, pria dingin yang tak memberiku simpati, adalah jenderal di balik layar. Aku tahu, hidupku tidak akan pernah sama l