Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
Siang hari di kota Paris, cuaca buruk mengintai. Hujan deras mengguyur dan petir kuat menyambar tanpa henti. Di sebuah gedung kosong, seorang pria berambut putih sedang melakukan pelecehan terhadap seorang wanita. Wajah wanita itu terlihat putus asa, air mata mengalir deras, namun pria itu terus saja melanjutkan perbuatannya dengan desahan penuh kenikmatan hingga mencapai puncaknya.
Setelah selesai, pria itu dengan santai mengenakan kembali celananya dan meninggalkan wanita itu begitu saja. Tanpa peduli pada hujan deras yang menghantam tubuhnya, dia pergi dengan tergesa, seolah takut dikenali oleh warga sekitar.
Beberapa saat kemudian, pria itu tiba di rumahnya. Begitu melangkah masuk, ia langsung berteriak penuh amarah, "Sammi! Mana makan siangku? Kenapa kau tidak menyediakannya?"Suara teriakannya menggema di seluruh ruangan.
Seorang gadis remaja keluar dari kamarnya dengan wajah tegang, matanya berkaca-kaca saat ia menjawab dengan nada penuh kemarahan yang ditahan, "Mama sudah pergi, dan tidak akan kembali lagi!"
Pria itu mendengus dengan nada mengejek, "Dasar tidak tahu diri! Kalau bukan aku yang menyambutnya, mana mungkin dia bisa hidup. Sudah dapat tempat tinggal dan makan gratis, masih saja tidak puas!"
Kemarahan gadis itu tak terbendung. Dia menatap ayahnya dengan mata penuh kebencian, "Kau tidak berhak menghina mamaku!" bentaknya dengan suara yang bergetar karena menahan amarah.
Ayahnya langsung bangkit dengan wajah merah padam. Dia menampar wajah putrinya dengan keras, Plak! "Kau sama saja dengan ibumu! Kelak kau juga akan menjadi pelacur!" teriaknya penuh kebencian.
Itu adalah puncak dari segala kemarahan yang sudah lama terpendam dalam hati putrinya, Dengan tangan yang gemetar, dia mengulurkan pisau yang sejak tadi digenggamnya erat-erat. Tanpa ragu, dia menikam perut ayahnya.
"Aaahh!" Pria itu menjerit kesakitan, tapi putrinya tidak berhenti. Kebenciannya menguasai dirinya, membuatnya terus menusuk berulang kali dengan amarah yang membara.
"Ahhh!" Rintihan pria itu semakin lemah, darah mengalir deras hingga membasahi lantai.
Anak itu terengah-engah, berdiri di sana dengan pisau berlumuran darah di tangannya. Tidak ada yang tahu apa yang membuatnya tega membunuh ayahnya sendiri. Setelah kejadian itu, dia menyerahkan diri kepada polisi. Karena usianya yang baru 15 tahun, ia hanya dijatuhi hukuman tiga tahun di penjara anak-anak.
Keesokan harinya, berita dihebohkan dengan pembunuhan yang terjadi pada keluarga Jones Walker, yang dibunuh oleh putrinya sendiri. kini menjadi pusat perhatian seluruh negeri. Ketegangan memuncak di antara warga yang mendengar kabar tersebut, mengingat putri Jones Walker adalah anak yang baik dan pendiam dan akhirnya menjadi seorang pembunuh.
Sementara itu, seorang wanita korban pemerkosaan ditemukan tewas setelah melompat dari gedung lokasi kejadian pelecehan yang dilakukan oleh Jones Walker. Wanita itu, yang sempat mencoba melawan, akhirnya menyerah pada luka batin yang mendalam. Kisahnya menjadi tragis, melambangkan ketidakadilan yang sering dialami oleh para korban, yang tidak hanya menderita akibat kejahatan yang dialaminya, tetapi juga stigma yang melekat.
Di lokasi tersebut, seorang anak laki-laki remaja menangis pilu di tengah kerumunan, suaranya serak memanggil nama ibunya yang tak lagi bernyawa. Matanya yang merah dan bengkak tak mampu menahan aliran air mata, memperlihatkan luka hati yang dalam akibat kehilangan yang tak terduga.
Polisi dan reporter telah mengepung lokasi, memastikan tak ada satu pun detil yang terlewatkan. Suara kamera yang tak henti-hentinya mengambil gambar, dan gemuruh suara wartawan yang berlomba-lomba mencari informasi, menambah ketegangan di udara.
7 Tahun Kemudin
Tengah malam itu terasa dingin dan sunyi. Di sudut jalan yang remang, seorang pria berdiri dengan tubuh gemetar. Wajahnya memerah, napasnya tersengal-sengal, keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Pandangannya kabur, dan rasa pusing mulai merasuki kepalanya. Lima preman mengelilinginya, masing-masing membawa senjata tajam yang berkilau di bawah sorotan lampu jalan.
"Apa yang kalian campur ke dalam minumanku?" suaranya serak, disertai kemarahan yang tak bisa ditahan lagi. Meski efek obat mulai menguasainya.
Salah satu preman menyeringai licik, matanya menyipit tajam. "Obat perangsang. Sebenarnya kami hanya membantumu saja." Nada bicaranya penuh ejekan, seolah mereka merasa telah menang.