Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Sang Pemuas
Gairah Sang Majikan
"Jika kamu tak terima, silahkan cari lelaki lain sebagai suamimu!" teriak Mas Tedy.
Aku menatap tajam ke arah Mas Tedy, suamiku. Tak menyangka ia yang terkenal alim dan rajin meminta istrinya untuk mencari lelaki lain untuk bisa mencukupi kebutuhan. Suami macam apa dia?
"Sekali lagi kamu ngomong kayak gitu, aku akan benar-benar pergi dari sini, Mas. Tapi, jangan harap kubawa anak-anak. Biar kamu tahu rasanya mengurus dan mencukupi kebutuhan dua anak," ucapku dengan tegas. Aku berlalu masuk ke dalam rumah meninggalkan Mas Tedy yang masih duduk di teras.
Aku sangat geram dibuatnya, ia selalu mengucapkan hal itu. Mencari pria lain? Memangnya aku ini istri siapa? Lidahnya seperti ada paku yang terlempar menusuk relung hatiku.
"Ya udah sana cari aja lelaki lain yang bisa ngasih tiga juta perbulan, yang bisa nyukupin kamu," balas Mas Tedy sangat santai dan seperti tak ada beban, membuatku semakin geram. Ia selalu mengucapkan kalimat itu, entah sudah berapa kali tak terhitung. Setiap aku mengeluh dengan yang yang diberikan dan meminta tambahan.
Keesokan pagi, Mas Tedy sudah bersiap untuk pergi ke kebun milik Bapakku. Ia akan memanen jagung manis. Aku akan menyusul setelah selesai mengurusi kedua putraku yang hendak sekolah.
Pertama mengantar Arshaka, putra sulungku yang sudah duduk di bangku kelas enam SD. Setelah itu, mengantar putri bungsuku, Kayla, yang masih sekolah di taman kanak-kanak. Selesai mengantar barulah menyusul Mas Tedy ke kebun.
Selain Mas Tedy, ada tiga orang lainnya yang membantu memanen jagung. Mereka akan di beri Ibu upah setelah menyelesaikan pekerjaannya.
"Anak-anak udah pada berangkat sekolah, Li?" tanya Mamakku.
"Sampun, Mak," jawabku.
"Sarapan dulu sini, nanti baru bantu-bantu," ajak Mamak.
"Enggeh, yang lain sampun sarapan, Mak??" tanyaku.
"Sudah semua tadi pagi," balas Mamak sembari memasukkan jagung-jagung yang sudah di pisahkan dari pohonnya.
Aku sarapan sendiri karena yang lain sudah sarapan sejak pagi. Setelah itu, aku membantu memasukkan jagung manis ke dalam karung besar yang nantinya akan di timbang oleh pembeli.
Mas Tedy dan para pekerja mengambil jagung. Mereka mengumpulkan setiap jagung yang dipetik kemudian Ibu, Bapak dan aku memasukkannya ke dalam karung.
"Nanti yang mangkiran kamu bawa pulang, Li, kasih juga untuk tetanggamu," ucap Bapak.
Bapak memang tau jika putri sulungnya hidup pas-pasan, bahkan tetanggaku yang sering memberikan sesuatu kepada keluargaku.
"Mereka pada mau kan, enggak nolak? Soalnya yang bagus di jual, di sana kan enggak ada yang nanam jagung," imbuh Bapak.
"Maulah, Pak, meski mangkiran, tapi juga masih bagus-bagus kok apalagi gratis," balasku.
Jagung sudah masuk karung semua, tinggal menunggu pembeli yang sebentar lagi datang. Matahari mulai condong, aku berpamitan untuk pulang lebih dulu karena waktunya menjemput Kayla
Selang beberapa saat setelah aku sampai rumah, Mas Tedy pulang dengan membawa empat karung jagung mangkiran. Jagung mangkiran biasa di sebut jagung BS-an.
"Banyak banget bawanya, Mas, memang bisa habis?" tanyaku.
"Buat makan ayam," jawabnya yang membuat hatiku dongkol. Enak saja jagung manis pemberian Bapak diberikan untuk Ayam.
Daripada pikiranku pusing lebih baik aku mandi dan setelah itu masak untuk makan siang.
"Hallo, lagi dimana? Kesini ada jagung manis satu karung."