Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Gairah Liar Pembantu Lugu
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Sang Pemuas
Semua anak menginginkan orang tua lengkap dalam hidupnya. Tanpa kasih sayang seorang Ayah dan Ibu, hidup seorang anak akan terasa kurang sempurna.
Terlahir dari orang tua tidak lengkap, bukanlah suatu keinginan. Perceraian Ayah dan Bunda membuat semua kehidupan yang kami jalani menjadi kacau. Omelan, caci maki, serta bullyan seringkali kudapatkan bersama adikku.
Farhan Prabu Wijaya, begitulah orang-orang memanggilku. Adikku bernama Rafael Prabu Wijaya. Bunda dengan sengaja mengganti nama kami sejak kecil agar Ayah dan keluarganya tidak bisa mengenal kami jika sudah dewasa.
Sejak kecil, aku dan adikku dirawat oleh Bunda tanpa Ayah yang menemani. Bisa dibayangkan bagaimana capeknya beliau membesarkan dan merawat kami berdua. Kehidupan kami bertiga cukup mewah. Aku bangga bisa memiliki Bunda yang penuh pengorbanan untuk bisa membuat kami hidup bahagia. Namun, tanpa kasih sayang seorang Ayah membuat semuanya terasa percuma.
Hingga pada suatu hari, sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulutku tidak sengaja membuat hati Bunda terpukul.
“Bun, aku rindu Ayah. Ayah sekarang di mana?” Aku bertanya sembari memakan roti kukus buatan Bunda.
“Sudah berulang kali Bunda bilang, Han. Jangan sekali-sekali mempertanyakan soal Ayah kalian lagi!” bentak Bunda.
“Apa salah bila kami berdua ingin bertemu Ayah? Bagaimanapun beliau itu Ayah kandung kami, Bun.”
“Cukup, Han! Sudah cukup Bunda memperingatkan kamu.”
Bentakan Bunda kali ini sungguh membuat dadaku terasa sesak. Lagi-lagi aku gagal mencari tahu tentang keberadaan Ayah.
“Sudahlah, Kak. Jangan paksa Bunda dengan pertanyaan konyol seperti itu! Apa Kakak tidak pernah memikirkan perasaan Bunda? Hampir setiap hari diberi pertanyaan yang tidak penting.” Adikku yang sementara menyantap sarapannya ikut menyalahkanku.
“Bukan begitu, Rafa. Kakak cuma menanyakan soal Ayah. Apa kamu tidak pernah merindukan sosok kehadirannya dalam keseharian kita?” tanyaku dengan nada kesal.
Adikku hanya bisa diam mendengarkan. Mungkin, dia sudah terbiasa dengan kehidupannya tanpa seorang Ayah.
“Sudah cukup basa-basinya Farhan, Rafa?” tanya Bunda. Seakan-akan geram menatap ke arah kami.
Kami menunduk seketika. Terlintas sesuatu di benakku, ‘Seperti inikah hidup tanpa seorang Ayah?’
“Maafkan kita berdua, Bun. Selalu saja menyusahkan Bunda. Farhan janji tidak akan mengungkit soal Ayah lagi,” ucapku dengan wajah yang masih menunduk.
Tidak sengaja buliran bening membasahi kedua pipiku. Betapa perihnya menahan kerinduan yang tiada bertepi. Ayah aku rindu.
“Sudah! Kalian sarapan dulu. Seharusnya Bunda yang minta maaf. Tidak seharusnya membentak seperti ini.” Bunda meminta maaf sembari memeluk kami berdua.
Secara diam-diam, aku memandangi wajah adikku. Ternyata dia tidak lebih dari seorang pecundang. Dalam diam dia membiarkan air matanya jatuh seketika tanpa permisi.
Aku bisa menebak, kalau adikku juga merindukan Ayah. Bagaimana mungkin dia tidak rindu? Hampir setiap hari aku mendapatinya mendengarkan lagu yang berjudul tentang Ayah, ditemani air mata yang mengalir begitu derasnya.
Adik yang kukenal kuat, ternyata sebenarnya rapuh. Hanya saja, dia tidak ingin memperlihatkan raut wajah sedih itu di depan Bunda, karena tidak ingin membuat Bunda sedih.
“Kalian berangkat dulu, Bunda juga mau keluar sebentar.”
“Mau ke mana Bunda?” tanya Rafa seketika.
“Urusan orang tua,” jawab Bunda. Aku hanya mengerutkan dahi.
Setelah menyalami tangan Bunda, kami pun pamit berangkat sekolah. Aku dan adikku adalah siswa di salah satu Sekolah Menengah Atas (SMA). Sekolah yang kami tempati cukup terkenal di kotaku. Siswanya pun baik dan ramah. Namun, ada satu hal membuat kami sedikit minder. Setiap hari teman-teman dijemput oleh Ayah mereka, sedangkan aku dan Rafa hanya dijemput oleh Bunda seorang.
“Hari yang berbeda dari biasanya. Rendi ke mana, ya? Sudah beberapa hari ini dia jarang mengajak aku ke rumahnya,” ucapku memandang sekeliling.
Seperti biasa, bila Bunda ada urusan dan tidak menjemput kami ke sekolah, aku dan Rafa menghabiskan waktu di rumah Rendi sahabatku. Bunda orangnya super sibuk. Selain mengurus kerjaan kantor, Bunda juga sibuk dengan urusan pribadi yang sampai saat ini menjadi rahasia Tuhan dengannya.
“Kak, hari ini Bunda tidak jemput?” tanya Rafa padaku.
“Iya,” jawabku datar.