Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Perawan Tua

Perawan Tua

Salsa02

5.0
Komentar
514
Penayangan
8
Bab

Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Illahi karena izinnyalah saya bisa menuliskan sebuah novel fiksi di sini. Novel yang berjudul Perawan Tua ini menceritakan tentang perjalananan hidup seorang dosen yang masih saja belum menemukan jodohnya di usianya yang telah mapan, dan ini di karenakan ulah Ibunya yang selalu mencampuri urusan pribadinya. Semoga kisah dosen ini bisa memberikan inspiratif bagi semua, khususnya bagi para pembaca walaupun kisah ini penuh dengan konflik dan kesedihan yang menguras air mata.

Bab 1 Penyesalan Seorang Ibu

Sekarang aku sudah tak berdaya. Duduk di kursi roda dengan tangan yang aku tumpangkan di kedua lututku. Jalan aku tak bisa, berdiri pun aku kesusahan karena badanku yang sudah bongkok.

Usiaku kini sudah menginjak di angka tujuh puluh tahun. Usia yang yang sudah rentan dengan berbagai penyakit. Sedangkan suamiku, ia sudah meninggal beberapa tahun lalu tepat setelah menyaksikan acara wisudanya Hilda anak sulung kami.

Seandainya aku ingin makan, maka akan kupanggil anakku Hida, ia akan berjalan gesit mengambil sebuah piring berisi nasi lembek. Dengan telaten, ia akan menyuapiku sesendok demi sesendok.

Hilda adalah anak sulungku. Ia berbeda sendiri dari kedua adiknya, Risa dan Angga. Kalau sekarang kedua adiknya itu sudah berumah tangga dan di karuniai buah hati, justru Hilda hanya hidup berdua saja denganku. Dengan seorang Ibu yang sudah renta, yang mandi saja harus di mandikan, buang air besar pun tak bisa sendiri, semua yang aku lakukan harus dengan bantuan anakku Hilda.

Saat ini, Hilda genap berusia empat puluh lima tahun. Usia yang sudah pantas mempunyai tiga atau empat anak. Namun itu tak terjadi, dan semua karena aku, Ibunya yang tak berguna ini.

Di antara ketiga anakku, Hildalah yang paling pintar. Saat ia masih duduk di bangku sekolah, ia selalu mendapat juara kelas dan sudah beberapa kali menjuarai olimpiade matematika tingkat propinsi. Rasa bangga ini menyeruak begitu saja dalam hatiku. Hildaku mendapatkan beasiswa sampai ia lulus S2 di salah satu universitas negri ternama di ibukota. Dan kini, ia sekarang telah menjadi dosen, tentunya, di salah satu universitas yang paling berkelas.

Beberapa tahun lalu

"Mak, usiaku sudah dua puluh enam tahun sekarang, mungkin saat ini aku sudah pantas untuk menikah," ujar Hilda pada suatu siang, di saat kami sedang menikmati makan siang bersama.

"Memangnya, siapa yang akan melamarmu?" tanyaku penasaran.

"Mas Arif, Mak, ia berasal dari Madiun," jawab Hilda.

"Apa pekerjaannya?"

"Ia seorang pegawai di tokonya Pak Hasan," jawab Hilda sambil menunduk, seperti sedang menghitung lantai rumah kami.

"Apa? Jadi kamu akan di lamar oleh seorang pegawai toko? Kamu mau mempermalukan Ibumu heh? Apa kata orang jika mereka tahu kalau seorang dosen pintar seperti kamu menikah dengan gembel?" Ketusku pedas.

Hilda menangis pilu disaksikan oleh kedua adiknya. Acara makan siang pun terasa hambar.

"Tapi ia orang baik, Mak,"

"Terserah kamu! Dibilangin orangtua kok ngeyel, pokoknya Emak tak setuju kalau kamu menikah dengan Arif!" Tekanku. Aku berdiri dan langsung berjalan menuju kamarku. Aku tak jadi melanjutkan makan siangku, sudah tak berselera lagi!

"Maunya Emak ini gimana, Mak? Waktu aku mau di lamar Mas Rido Emak nggak setuju juga," Hilda membuntutiku dari belakang, duduk di pinggir ranjang kamarku.

"Masa kamu nggak ngerti kemauan, Emak? Emak hanya ingin kamu menikah dengan orang terpandang dan berpendidikan tinggi, minimal ia punya gelar S2 dan satu kerjaan dengan kamu, bukan gembel kayak si Arif dan si Rido!" Aku mendengus kesal. Mata Hilda berkaca-kaca, ia tak mampu menyembunyikan air matanya di hadapanku. Untuk kedua kalinya, ia putus dengan kekasihnya akibat tak mendapat restu dariku, dari Ibu yang tak berguna!

Di usia Hilda yang ke tiga puluh tahun, seorang laki-laki datang melamar ke rumahku. Kutanya pekerjaannya dan ia hanya seorang buruh di perusahaan industri rumahan. Sama saja, ia tak masuk pada kriteria lelaki yang boleh menikahi Hilda anakku.

Di usia Hilda yang ke tiga puluh lima tahun, Risa adiknya Hilda menikah dengan seorang lelaki yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Tapi tak mengapa, karena memang mereka sepadan, Risa hanya lulusan SMU dan sekarang bekerja menjadi tukang cuci piring di rumah makan. Bukannya aku tak mau menyekolahkan Risa sampai ke bangku kuliah, namun otak Risa tak sepintar kakaknya, jadi kupikir buat apa kuliah kalau hanya membenaniku dengan biaya perkuliahan.

Setelah Risa menikah, dua tahun kemudian si bungsu Angga menyusul. Sama seperti Risa, ia hanya tamat SMU dan sekarang ia menikah dengan seorang gadis yang berprofesi sebagai tukang jahit. Tak mengapa, toh mereka sepadan.

Hilda sudah dilangkahi oleh kedua adiknya, dan usianya sudah hampir empat puluh tahun. Ia semakin susah mendapatkan jodoh hingga pada akhirnya ia di jodohkan oleh seorang sahabat lamanya, ketika masih duduk di bangku SMP. Namun, aku terperanjat kaget, hampir saja jantungku lepas dari tempatnya ketika kutahu kalau pekerjaan lelaki itu hanyalah penjual es mambo keliling.

"Rita, kalau menjodohkan teman itu mbok yok yang pantes gitu, masa seorang dosen menikah dengan penjual es mambo?" Bentakku muak.

Untuk kesekian kalinya, Hilda gagal menikah karena tak di restui oleh aku, Ibunya. Padahal menurut Rita, Hilda dan lelaki itu sudah dekat dan sering bertemu hingga mereka merasa cocok satu sama lain.

Tok tok tok. Suara pintu diketuk orang beberapa kali, aku tersadar dari lamunanku. Hilda berlari untuk membukakan pintu. Risa datang bersama suami dan jagoan kecilnya, Dafa. Ia berjanji untuk datang menjengukku hari ini. Mereka kupersilahkan duduk di ruang tamu dan kusuruh Hilda membuatkan minuman dingin untuk mereka.

Sore hari, Risa dan suami serta anaknya berkumpul di teras rumahku sambil menikmati sepiring pisang goreng buatan Hilda. Mereka asyik bercanda, menyimak celutukkan Dafa yang menggemaskan. Namun tiba-tiba, Hilda berlari kedalam tanpa sepengetahuan Risa. Kulihat dengan jelas Hilda menangis di balik pintu ruang tamu. Aku tahu, ia sangat sakit melihat adiknya yang sudah mempunyai keluarga sendiri dan hidup bahagia. Sedangkan ia, di usianya yang ke empat puluh lima tahun, ia masih sendiri. Aku melengos, pura-pura tak melihatnya menangis, karena akupun tak tega melihat ia tersiksa batin seperti ini.

***

Hilda berlari sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya. Air mata itu terus menetes dari pipinya. Terburu ia masuk ke dapur dan meletakkan sekantung sayuran begitu saja di meja dapur. Ia baru saja membeli sayuran dari seorang tukang sayur keliling yang sedang di kerubuti ibu-ibu di depan rumahku.

"Kenapa kamu menangis, Hilda?" Tanyaku yang sedang duduk tak berdaya di atas kursi roda.

Hilda menoleh, tersenyum padaku sambil menggelengkan kepalanya.

"Nggak apa-apa, Mak, aku tidak menangis, mataku tadi kelilipan," ia menghadiahkan senyumnya untukku. Tentunya, senyum yang dipaksakan.

"Kamu jangan bohong, apa mereka mengata-ngatai kamu lagi hah?" Bentakku emosi. Hilda menangis tersedu, berjongkok dan menempatkan kepalanya di pangkuanku. Aku mengusap kepalanya perlahan.

"Mereka bilang, aku perawan tua, Mak, aku jomblo, aku tak akan laku lagi karena aku sudah tua!" tangisan Hilda semakin kencang, air matanya membasahi rok batik yang aku pakai.

"Maafkan Emak, Nak, ini semua gara-gara Emak!"

Hilda menengadah, menatap wajahku lekat. Air mata itu, entah berapa kali ia kuras hingga membentuk butiran-butiran bening yang tak ada habisnya.

"Tidak, bukan gara-gara Emak, ini sudah takdirku," ia menunduk lesu.

Aku menyingkirkan Hilda yang sedang menangis di hadapanku, lalu kukayuh kursi roda ini dengan cepat menuju keluar rumah. Entah mengapa, tiba-tiba tenagaku menjadi kuat, bahkan dua kali lipat dari sebelumnya.

"Hai, Ibu-Ibu tukang gosip! Kudo'akan agar anak kalian menjadi perawan tua, dan tidak menikah seumur hidup!" Teriakku pada Ibu-Ibu yang sedang sibuk memilih sayuran sambil bergosip. Mereka menoleh, lalu menatapku sinis.

"Emak, sudah, ayo kita masuk." Hilda mendorong kursi rodaku memasuki rumah.

Tolong maafkan Emak, Nak.

Bersambung

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku