Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
1.9K
Penayangan
10
Bab

"Ayo cerai, Nona Hanzie!" "Sebentar lagi, tunggu rencanaku selesai." "Hm, selingkuhanku pasti lelah menunggu." *** Yutaka dan Arabella menikah karena alasan klise bernama perjodohan. Tapi, di balik itu semua, si pria playboy dan perempuan karir itu sudah membuat perjanjian sebelum menikah. Salah satu perjanjiannya, yakni pernikahan mereka yang hanya akan bertahan sampai enam bulan. Sayangnya, karena tinggal bersama, Yuta dan Ara mulai memakan omongan mereka sendiri. Benih-benih cinta tumbuh meski terhalang gengsi dan komitmen mereka sendiri. Di saat Ara sudah berniat mengakui perasaannya, masa lalu Yuta hadir dan mengacaukan keadaan. Terlebih, tempo pernikahan mereka yang sudah habis membuat Yuta bimbang. Akankah mereka berpisah seperti yang selama ini keduanya harapkan?

Bab 1 Pria Menyebalkan

"Enggak usah bohong lagi deh, Kak!"

Gadis berambut sepinggang dengan poni rata itu, menyorot sang Kakak sinis sembari bersedekap dada dan mengembungkan pipi sebal. Masih berdiri di tempat parkir mobil, Axel menghela napas berat.

"Lagian ... kalau Kakak bilang ini acara pertemuan keluarga, Kakak nggak yakin kamu bakal mau ikut," jelas pria dengan tuxedo hitam itu penuh sesal.

"Kak Axel tau aku nggak akan mau, terus kenapa tetep diajak ke sini dengan alasan pekerjaan kayak tadi?" tanya Arabella Belinda Hanzie--- perempuan dengan dress putih selutut itu yang mendengkus semakin sebal.

"Iya, Ara. Maaf, tapi ini perintah Mama. Dia bilang Kakak harus bisa bawa kamu ke acara pertemuan keluarga ini gimanapun caranya," tutur Axel mencoba mencairkan kemarahan sang Adik.

"Yasudah deh, bukan salah Kak Axel juga, 'kan. Sana masuk! Ntar aku nyusul kok." Ara menitah dengan nada suara melunak.

Axel tersenyum senang berikutnya mengangguk dan masuk ke dalam. Ara memandang kepergian sang Kakak dari pelataran tempat parkir dalam diam. Dalam hati bertanya-tanya kenapa Mamanya sampai se'keukeuh' tadi ingin membawanya ke acara ini.

"Yaudahlah masuk aja, jarang-jarang 'kan diajak ke acara beginian. Biasanya dilupain," gumam Ara sembari melangkah memasuki pintu utama rumah berinterior megah dan besar tersebut.

Ara mengernyit bingung begitu menemukan wajah-wajah asing di sekitarnya kecuali sang Mama dan Adik perempuannya---Luna.

"Dia, Azura?" tanya seorang pria tua yang sepertinya teman Mama Ara.

"Iya, Dev. Dia Arabella Belinda Hanzie, putri sulungku." Azura menjawab sembari tersenyum manis. Berbanding terbalik sekali dengan ekspresinya ketika di rumah saat menatap Ara.

"Sini duduk, Sayang. Perkenalkan, dia Devardo Suryantara, teman Mama dan Almarhum Papa-mu dulu."

Ara rasanya ingin terbahak mendengar kalimat sok manis Azura padanya. Selama ini, tidak pernah perempuan itu memanggilnya semanis dan selembut ini.

"Namamu indah sekali," puji Pak Devardo begitu Ara menyalami punggung tangannya.

"Luna, Kak Axel dimana?" tanya Ara berbisik.

"Cari saja sendiri, kenapa malah nanya aku?" sahut gadis berambut agak pirang itu terdengar menyebalkan.

Ara mendengus.

"Kenapa, Ara?" tanya Pak Devardo menyadari raut sebal perempuan dengan poni rata itu.

"Mau ketemu Kak Axel dulu, Pak. Dia dimana, ya?" tanya Ara sopan.

"Oh, dia di kolam belakang. Lagi sama temen-temennya yang lain dan Yuta, putra saya."

"Boleh ke sana?" Ara meminta izin.

"Tentu saja boleh, silahkan." Pak Devardo tersenyum ramah.

Berikutnya, Ara melangkah pergi. Begitu sampai di dekat kolam, Ara bergidik ngeri. Dia tidak bisa berenang. Jadi, kolam bukanlah hal yang keren di matanya.

"Kak Axel mana sih?" tanya Ara sebal. Tidak kunjung menemukan batang hidung pria yang tadi menyeretnya ke rumah ini.

"Kamu siapa?"

Terkejut dengan suara dari belakangnya, Ara hampir saja terjerembab ke kolam kalau saja sebuah tangan kekar tidak menarik lengannya.

"E-eh ...."

"Makannya kalau berdiri itu jangan di pinggir kolam!" tegur pria yang tadi mengagetkan Ara datar. Berbanding terbalik dengan pria yang tadi menolongnya, wajahnya tampak cemas.

Ara masih setia menetralkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Dia tidak bisa membayangkan jika tadi dia terjatuh ke dalam kolam.

"Kamu nggak papa?" tanya pria yang tadi menolongnya khawatir.

Ara tidak menjawab, tapi bola mata hitam legamnya menyorot tidak bersahabat pada pria yang tadi mengagetkannya.

"Kalau tau saya berdiri di pinggir kolam begitu, ya jangan ngagetin dong!" teriaknya murka. Matanya menyorot tajam pria dengan manik cokelat terang di depannya.

"Lah kok nyalahin saya? Lagipula saya nggak ngagetin, kamu-nya saja yang kagetan." Pria dengan kemeja putih itu menyahut tak mau kalah.

"Kamu ini nggak ada sopan santunnya sekali, ya. Sudah hampir bikin orang jatuh, malah enggak minta maaf." Ara semakin menyahut kesal.

Pria yang tadi menolong Ara kontan berdiri di tengah-tengah kedua orang yang masih saling menyorot sinis itu. Mencoba menengahi pertengkaran mereka.

"Eh sudah-sudah, masak jadi debat sih? Kamu anaknya Bu Azura, 'kan?" Ara menjawab dengan mengangguk.

"Saya mewakili teman saya, minta maaf ya, Nona Hanzie. Daripada meladeni teman saya berdebat, lebih baik kita gabung ke ruang tengah, soalnya Pak Devardo sudah manggil." Pria tadi berucap bijak.

Ara menghela napas berat; mencoba mengontrol emosinya. Dengan suara yang lebih melunak tapi tetap menyorot pria yang tadi terlibat adu mulut dengannya, gadis berponi rata itu menyahut,

"bukan salah kamu, nggak perlu minta maaf. Yasudah saya mau cari Kakak saya dulu."

Ara melenggang pergi. Meninggalkan helaan lega Aldo--- cowok yang tadi menengahi dan dengusan sebal Yuta yang belum puas berdebat dengan Ara.

"Mau ditaruh di mana harga diri saya sama kamu? Saya nggak pernah ngalah ya, sama perempuan. Dan kamu seenaknya malah mintain maaf saya ke perempuan jelek itu!" omel pria dengan mata agak sipit itu sebal.

"Berdebat sama perempuan itu nggak ribet. Cukup bilang 'iya, saya yang salah' pasti kelar urusannya. Lagipula dia cantik, saya keberatan kalau kamu panggil dia jelek," sahut Aldo sembari terkekeh.

"Yasudah, ambil saja kalau kamu suka. Lagipula siapa yang bakal mau sama perempuan cerewet seperti dia?"

Aldo menggeleng-geleng geli. Seorang Yutaka Hikaru Suryantara memang bukan jenis pria yang bakal mau ditindas atau mengalah demi perempuan. Karena baginya, perempuan hanya mainan. Bukan hal yang patut dilindungi apalagi dihormati setinggi itu.

Tinggal sendiri semenjak duduk di bangku kelas 10 SMA membuat pria itu dituntut mandiri dan di umur yang ke 25 tahun ini, harus mengurus perusahaan sang Papa sendiri.

Berbanding terbalik sekali dengan Aldo yang sejak kecil masih tidak bisa dan mau tinggal terpisah dari orang tuanya meski usianya sama dengan Yuta. Pria itu bahkan baru menggeluti dunia bisnis beberapa tahun terakhir. Itupun karena paksaan Yuta karena Pak Rayn Wijaya hanya memiliki penerus tunggal bernama Aldo Putra Wijaya.

Dalam hati, Aldo mengagumi segala kemampuan dan skill sang sahabat dalam dunia kerja mereka. Tapi untuk urusan hati, Yuta bukan orang yang benar-benar mampu mengerti arti 'cinta' bagi Aldo.

Pria itu telah banyak melewati masa-masa sulit hingga hatinya beku seperti batu. Akan sangat sulit untuk Yuta menemukan orang yang benar-benar dicintainya jika kebiasaan memainkan perasaan perempuan masih pria blasteran Indonesia-Jepang itu lakukan.

****

Di ruang tengah, seluruh keluarga besar dikumpulkan. Katanya, ada sebuah hal penting yang ingin disampaikan Pak Devardo terkait putranya--- Yutaka.

Lalu, Ara mungkin berpikir untuk pulang sebelum masuk rumah ini jika tahu yang rupanya mereka bahas adalah tentang perjodohan pria yang tadi sempat diajaknya berdebat dengan salah satu putri keluarga Hanzie.

Ara mungkin tidak akan lebih terkejut jika sadar kalau Luna adalah orang yang akan dijodohkan dengan pria menyebalkan itu. Tapi, begitu namanya disebut sang Mama, gadis itu kontan melotot tidak terima.

"Bagaimana, Ara? Kamu setuju 'kan, dengan perjodohan ini?" tanya Pak Devardo menatapnya penuh harap.

Baru saja akan menolak, tatapan menghunus Azura membuat perempuan itu memejamkan mata.

"Boleh ... saya mikir dulu, Pak?" tanya Ara ragu.

"Tentu saja boleh, saya kasih kamu waktu satu minggu. Biar sekalian satu minggu itu kalian; kamu sama Yuta pendekatan dulu." Pak Devardo menyahut semangat.

Ara mengangguk canggung. Melirik pada pria yang bakal jadi calon suaminya, pria itu malah menyeringai sinis padanya. Dan tatapan itu, membuat Ara merinding. Seolah itu adalah alarm tanda bahaya bahwa hal tidak menyenangkan akan terjadi dalam waktu dekat.

Ara menghela napas berat. Kenapa pria itu tidak menolak perjodohan ini saja? Soalnya, Ara tidak akan mampu melakukannya. Dia tidak berani melawan perintah sang Mama.

Tapi, kenapa seringaian Yuta seolah menunjukkan pria itu begitu bahagia bakal menikah dengannya?

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Writer Gaje

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku