Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gadis Bercadar CEO

Gadis Bercadar CEO

finairakara

5.0
Komentar
326
Penayangan
3
Bab

Kaifa tidak pernah menjadi anak kesayangan, padahal ia hanya ingin menjadi seperti anak perempuan lainnya. Disayang, dilindungi ketika dilecehkan. Tetapi, ia hanya menjatuhkan harapannya pada manusia. Kakak laki-lakinya yang seharusnya melindunginya malah hampir memperkosanya, ayahnya menjualnya demi melunasi utang, dan ibunya yang tidak peduli alias memilih diam. Ia rela menikah dengan bos di tempatnya bekerja sebagai asisten sekretaris pribadi CEO perusahaan asing.

Bab 1 Keluarga Impian Kaifa

Sepertinya terlalu muluk-muluk jika mengharapkan kehidupan nyaman dari orang lain. Karena seperti kata Ali bin Abi Thalib ra. bahwa paling pahit harapan itu memang berharap kepada manusia. Karena itu, menjadi manusia wajib bertanggung jawab atas kebahagiaannya masing-masing, bahkan memiliki suami pun yang menyempurnakan separuh agama belum tentu akan selalu bahagia. Kuncinya memang bersyukur dan ikhlas, karena tidak semua hal dalam hidup akan terjadi sesuai harapan.

"HEI! Kerja sana, masih di rumah aja!" teriak seorang pria berambut ikal cepak berkcamata dengan rokok di tangannya.

"Kaifa! Masak dulu! Aku laper buruan!" bentaknya untuk kedua kali yang tidak disambut siapa pun.

"Kaifa! Kamu tuli ha?! Buruan masak! Perempuan kok lelet, kamu dengar enggak sih!"

Perempuan berhijab keluar kamar dengan pakaian rapi untuk ke kampus, tetapi ia menuju dapur dengan diam tanpa bersuara. Tidak, perempuan yang mengenakan hijab biru wardah itu tidak bisu, tidak juga tuli seperti kata pria yang membentaknya sedari pagi.

"Nggih," jawabnya pelan yang mungkin tidak didengar oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Enggan menjawab apa pun karena ia tak ingin jawabannya menjadi penyebab keributan di pagi hari. Perempuan bernama lengkap Kaifa Zulfa Maharani itu tak ingin mood-nya semakin hancur karena pria yang merupakan kakak kandungnya.

Segera menuju dapur dan memasak kangkung yang ia petik dari kebun mungil di depan rumahnya. Kebun mungil yang diurusnya menjadi usahanya untuk menghemat uang belanja tiap harinya. Meski upaya penghematan yang utama ia lakukan adalah sering berpuasa. Waktu ia makan dalam satu minggu bisa dihitung dengan jari.

Setelah memasak, ia segera mengambil tasnya dan mengabari seorang kawan untuk berangkat ke kampus bersama. Tak lupa pula menggunakan cadar hitam yang setia ia pertahankan apa pun cibiran orang lain terhadapnya.

Kaifa tak punya kendaraan yang bisa digunakan, meski ia harus membayar cicilan motor setiap bulannya. Namun, ia tidak punya kesempatan untuk menaiki kendaraan yang ia bayar dengan jerih payahnya bekerja. Ia bersyukur karena memiliki teman satu kelas yang rumahnya sejalan dan bersedia membarenginya pergi-pulang ke kampus.

"Ibu, Kaifa berangkat ke kampus dulu. Tadi sudah masak cah kangkung sama goreng tempe," pamitnya pada ibunya, perempuan berusia setengah abad yang disayanginya. Ketika melihat kerut-kerut tanda penuaan di wajah ibunya, ia selalu berdoa agar ibunya diberikan umur panjang sehingga ia punya waktu berbakiti lebih lama.

Kaifa tersenyum dan menyambut tangan ibunya dengan ciuman takzhim.

"Assalammualaikum, Bu."

Namun, memang harapannya yang terlalu tinggi pada keluarganya, ia selalu terluka oleh harapannya sendiri. "Iya. Waalaikumussalam."

Perempuan bersurai hitam yang digelung itu menjawab Kaifa tanpa menatap putrinya. Sibuk dengan gawai di tangan dan sesekali tertawa, entah apa yang ditertawakannya. Kaifa hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya berangkat ke kampus.

"Kaifa!" panggil ibunya membuat Kaifa semringah. Sekilas ia berpikir apakah Ibunya akan tersenyum dan berkata untuk hati-hati di jalan, atau bahkan lebih dari itu. "Sudah masak belum buat Mas Adhi-mu? Katanya mau keluar sama temennya kasihan kalau belum sarapan."

Kaifa menelan ludahnya yang terasa sulit, rasanya lebih pahit daripada harus minum temulawak sekali teguk. Hatinya terus terluka oleh hal-hal kecil yang selalu ia dambakan, entah sejak kapan semua perlakuan itu mulai begitu terasa. Sampai ia melupakan memori masa kecil yang semakin hari semakin tertutupi dengan kenangan menyakitkan tak terelakkan.

Ia mengangguk, "iya Bu sudah masak kan tadi, cah kangkung sama tempe goreng."

"Enggak ada lauk yang lain tah? Belio kerupuk ya di warung depan."

Tanpa menunggu lama, selain karena temannya sudah menunggu, juga karena ia tak kuat menahan rasa kecewa. Karena jadwal kuliah paginya sudah mepet, ia tak bisa mengiyakan permintaan ibunya ini. Mungkin jika ia sendiri tak apa, tetapi kawannya tak boleh ikut menanggung hal yang tak seharusnya. Lagipula, Mas Adhi kan bisa berangkat ke warung untuk membeli kerupuk.

"Ini sudah ditunggu sama Putri Bu, sudah mau telat kasihan Putri kalau harus telat juga karena nungguin Kaifa."

Ibunya mendengkus dan mengangguk akhirnya tanpa berkata apapun. Kaifa akhirnya melanjutkan langkahnya yang sedikit tergesa. Di halaman rumah ketika melihat ayahnya sedang memandikan motor, Kaifa juga bermaksud menyalaminya. Belum juga mengulurkan tangan, tetapi ayahnya memilih untuk menyomot pisang goreng di piring di dekatnya. Ia juga melihat Mas Adhi yang sesekali mengobrol asyik dengan Ayah. Seperti ayah dan anak pada umumnya yang terlihat harmonis di pagi hari saling melempar canda dan tertawa bersama.

Akhirnya Kaifa berpamit dalam diam dan perlahan meninggalkan halaman rumahnya yang tak begitu luas, tetapi tak begitu sempit juga. Ia melihat Putri, teman satu kelasnya yang sudah tersenyum di atas motor menyambut Kaifa. Sembari mengenakan helm yang dipinjamnya dari Putri, keduanya lalu berangkat bersama. Salah satu rezeki yang sangat ia syukuri adalah ia memiliki teman sebaik Putri.

Di perjalanan, Putri terkadang mengajak berbincang terkait hal-hal yang membuatnya penasaran. Kadang hanya dijawab sebisanya oleh Kaifa, selain karena topiknya yang tak begitu ia pahami, atau juga karena suara Putri yang tidak begitu terdengar jelas di telinganya. Selebihnya Kaifa memilih diam untuk membiarkan Putri berkonsentrasi mengendarai motor.

"Fa, kamu sekarang masih cari kerja?" tanya temannya itu sembari melepas helm ketika sampai di parkiran kampus.

"Iya nih, kamu ada info lowongan enggak?" Kaifa membenarkan kerudungnya sekilas, memperhatikan apakah ada auratnya yang tersingkap karena di perjalanan tadi.

"Kemarin aku lihat di FB ada lowongan cari penulis artikel gitu, habis ini deh aku kirimin. Lumayan deh kayaknya daripada kamu harus jualan sampai tengah malam gitu," kata perempuan berhijab merah maroon yang berjalan bersampingan dengan Kaifa menuju ruang kelas jam pertama. "Kamu bisa sambil lanjut jualan online, nanti tak bantu promoin juga."

Kaifa mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju dengan penawaran temannya yang selalu memberikan dukungan untuknya. Ia tersenyum di balik cadar dan menggamit lengan Putri yang berjalan di depannya. "Boleh deh, aku bisa sesekali rebahan juga kan."

Mereka tertawa kecil mengiyakan ide tersebut, "tapi kayaknya kamu enggak mau kost aja gitu? Nanti sekamar sama aku deh, biar harganya lebih murah."

Sebenarnya sudah lama ide untuk menginap di kamar kost yang dekat dengan kampus terpikirkan olehnya, tetapi sampai detik ini tidak pernah ia lakukan karena tak diizinkan oleh orang tuanya. Meskipun begitu, beberapa kali meminta, karena ia ingin istirahat sebentar dan fokus merawat dirinya yang telah terluka sejak lama. Ingin ia berteriak minta tolong pada semua orang karena hidup yang tak adil terus membuatnya terluka dan kecewa.

Kaifa diam sejenak termangu, tetapi ia memilih tersenyum di balik cadarnya yang membuat matanya sedikit menyipit seperti bulan sabit.

"Nanti deh aku pikirin lagi sambil nunggu surat izin," jawabnya disusul dengan tawa yang sedikit dipaksa untuk menutupi kesedihannya. Akhirnya Putri pun tak bisa melakukan apa-apa dan hanya ikut tertawa bersama Kaifa. Meskipun pikiran tak menentu memenuhi kedua perempuan yang berusaha saling membantu itu.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku