Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Petak Umpet Joe

Petak Umpet Joe

Mahyan_Arthur

5.0
Komentar
65
Penayangan
7
Bab

[17+] Horror thriller Iqbal Albani. Seorang pekerja kantor yang setiap malam harus lembur karena tumpukan lembaran kerja. Hingga suatu waktu acara reuni SMA, ia lupa untuk menghadiri tepat waktu. Meira kekasihnya memberitahu kalau sekarang teman-temannya ingin mengenang masa SMA dengan mengunjungi bangunan asrama yang notebenya bagian dari sekolah. Namun hal-hal aneh mulai terjadi. Kejanggalan saat bermain petak umpet setan merubah segalanya. Semua diluar ekspetasi mereka. Sekarang mereka menghadapi masalah yang lebih serius. Jauh dan jauh lebih rumit. Akankah Iqbal berhasil mengatasinya? Atau memang semua ini hanya...

Bab 1 Iqbal Albani

"Ayahku berkata, jangan takut keliru berbuat apapun. Tapi ingat, apakah kekeliruanmu menyebabkan masalah bertambah baik atau buruk. Baik diri sendiri maupun orang lain."

***

Krrttt!! Krrtt!!

Suara ketikan terdengar nyaring dalam ruangan itu.

Pria berusia sekitar 23 tahunan masih mengenakan kemeja hitam dan dasi biru melintang di tubuhnya. Itu aku dan malam-malam gini masih saja sibuk ngetuet dengan komputer menyala. Tugas kantor yang semakin menumpuk membuatku rela lembur hanya untuk menyelesaikan berkas-berkas yang perlu cek ulang.

"Sial, padahal aku sudah melihatnya tiga kali, tapi masih ada yang kelewatan." Gumamku.

Mataku melirik satu dua lembar di sampingku, sedangkan tanganku masih sibuk memainkan keyboard komputer. Pukul sepuluh malam, dan aku masih terjebak di kantor.

Sendirian, dan memang selalu sendirian.

Well tadi belum kenalan. Kenalin namaku Iqbal. Iqbal Albani. Seorang pria yang secara jujur membenci hal-hal merepotkan. Sekali ia mengerjakan tanpa mood, begini hasilnya. Benar-benar merepotkan. Bicara tentang umur? Seperti yang dijelaskan di narasi awal, umurku kurang lebih segitu. Mewarisi kulit putih tampang khas Korea dari ibuku dan watak jawa dari ayahku. Siapapun pertama kali melihatku pasti mengira aku adalah oppa-oppa korea. Identik dengan jogetan maut membuat ciwi-ciwi di luar sana berteriak kegirangan, contohnya K-POP. Padahal juga nggak, toh aku lahir di Jawa. Hanya takdir yang mempertemukan kedua orang tuaku. Dan takdir juga yang memisahkan mereka dengan paksa meninggalkanku dengan adikku.

Nanti. Ada waktu di mana akan kuceritakan semuanya.

Lima menit berlalu.

Tidak, ini sudah sepuluh menit.

Masih tetap berkutat dengan jari jemari keyboard komputer. Mataku sedikit linglung akibat pantulan cahaya komputer.

"Jangkrik! Wes jam yamene iki (Jangkrik, udah jam segini.)" Aku menatap pojok kanan bawah layar Komputer, meraih salah satu kertas dan menandatangani sekilas. Merapikan kertas-kertas yang lain. Mulai beres-beres.

Namun siapas sangka tiba-tiba mataku menangkap seklibat bayangan melintas. Cepat. Sangat cepat hingga ekor penglihatanku memahaminya. Aku yakin itu sesuatu yang bergerak. Bentuknya tidak pasti, samar-samar tinggi dan tegap.

Aku langsung menoleh kanan kiri, mencoba memastikan.

Hampa, tidak ada siapapun. Hanya barisan kursi meja yang tertata rapi membentuk segi empat di sisi ruangan. Semua komputer mati, hanya komputer di mejaku saja masih menyala. Gelap, apalagi pojok ruangan dan jendela kantor yang tertutup tirai membuat ruangan terasa mencekam. Keadaan kembali hening. Sosok bayangan misterius tersebut berhasil lenyap bersama kegelapan yang remang-remang.

Ponselku berdering. Aku mengambil dan melihatnya.

Panggilan masuk dari Meira. Kekasihku.

Belum juga kata pembuka dariku, Meira langsung berteriak lumayan keras ketika panggilannya berhasil kuangkat.

"Kamu dimana!?" tanya Meira. Napasku masih tertahan hendak membalasnya.

"Ih, bikin kaget aja Meir, Sabar dulu atuh. Masih di kantor." Jawabku mulai merapikan meja kerja, memasukkan barang-barang ke dalam tas.

"Kamu nggak lupa kan, hari ini hari apa?"

Aku melirik tanggalan di meja, tanggal 9 mei hari sabtu.

"Sabtu." Kataku polos.

"Aduhh, bukannn, eh iya emang bener hari ini hari sabtu. Tapi ada acara penting kan. Jangan bilang kamu lupa!?" Meira mulai naik pitam. Aku tersenyum. Mulai lagi kebiasaanku menggodanya.

"Teman-teman udah di kafe Bal, banyak yang tanya kamu di mana. Cepat kemari. Acara Reuninya udah hampir selesai." Kata Meira dalam telpon sedikit lebih keras karena suara dalam kafe sedikit ramai. Aku mendengar satu dua orang bercakap-cakap lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang ada dipikiranku saat itu, yang jelas hari ini hari spesial. Dimana acara reuni SMA diadakan.

Aduh, kok iso aku lali lho. Aduh Bal, piye koe iki. (Aduh, kok bisa aku lupa lho, aduh Bal, gimana sih kamu ini) kataku dalam Hati.

"Aku dalam perjalanan sekarang. Baru aja selesai." Kataku buru-buru. Menuruni anak tangga, mematikan lampu ruangan sebelum benar-benar meninggalkannya. Saat selesai aku langusng masuk lift. Menekan tombol, dan turun ke lantai dasar.

"Jangan lama-lama. Aku lagi nungguin kamu loh." Kata Meira.

"Iya."

Aku menutup telpon.

Menghembuskan napas sebentar dan memejamkan mata. Aku teringat sebentar kenangan-kenangan semasa SMA dulu. Akmal, Zakky, Adlan, Ivan. Dll. Wajah mereka sepintas terlihat di dalam ingatanku. Begitu banyak memori masuk, tapi yang masih kuingat betul adalah semasa MOS. Saat itu pernah ada cekcok dengan kakak kelas. Merasa songong plus bikin emosi, kami akhirnya berantem. Sialnya, aku berujung berada di kantor BK awal masuk sekolah.

"Benar-benar kampret" gerutuku. Aku tersenyum mengingat kejadian itu.

Lift terbuka, aku melangkah keluar menuju parkiran mobil, kantor sudah sepi saat ini. Hanya satu dua mobil yang masih terparkir. Sisanya hanya hamparan beton sejauh mata memandang. Astaga benar-benar bikin merinding kalau lama-lama dengan 'mereka'. Mereka yang kumaksud adalah mereka penghuni kantor tak kasat mata.

Air menetes jatuh tepat mengenai wajahku. Sebelum masuk mobil, aku mendongak ke atas.

"Udah mau hujan?" kataku.

Ini gerimis. Hujan akan segera turun. Lekas aku buru-buru masuk ke dalam. Menyalakan mesin untuk segera meninggalkan area parkir.

"Lembur seperti biasa mas?" kata satpam menyapaku di ujung pintu keluar. Aku tersenyum ramah,

"Iya mas, biasa. Udah hujan jadi cepet-cepet mau pulang." Kataku asal. Padahal aku hendak menghadiri acara reuni SMA.

"Iya nih, hujannya sekarang mendadak banget yah, suka nggak tepat gitu." Satpam itu tertawa. Lalu menekan tombol guna mengangkat palang yang menghalangi mobilku, membuka gerbang.

Aku melajukan mobil setelah pamit secepat mungkin. Menyusuri jalan. Melintasi kegelapan.

Ponselku kembali berdering. Aku tidak bisa membukanya karena saat ini tengah mengemudikan mobil. Berberapa kilometer lagi aku akan sampai di kafe tempat reuni. Jalanan yang sepi membuatku mudah melesat dengan cepat. Aku melihat jam tanganku.

Pukul sebelas malam.

"Astaga, kukira nggak makan banyak waktu." Kataku.

Aku menarik napas. Entah kenapa detak jantungku melaju cepat secara bertahap. Dan apa ini. Air liurku tidak sengaja menetes tanpa kusadari. Ihhh, gilani(jijik)

Segera ku usap bibirku.

Sampai di depan kafe. Kuparkirkan mobilku segera. Bergegas masuk ke dalam menyapa teman-teman.

Tapi semuanya kosong. Tidak ada tanda-tanda kumpul reuni. Hanya pengunjung biasa datang bersama pasangannya memesan dua gelas Ice taro latte. Aku berdiri kebingungan, "Ini bener nggak si tempatnya? jangan-jangan salah."

Salah seorang barista berjalan melewatiku. Aku menahannya, bertanya apakah ada rombongan yang datang ke sini untuk acara reuni. Barista itu berkata, "kalau acara reuni kurang tahu saya mas. Kalau rombongan emang iya tadi ada."

"Iya itu maksud saya."

Barista itu lalu menunjuk meja yang digunakan. Memang ada berberapa bekas piring yang ditumpuk, gelas dan tisu yang berserakan. Acara makan-makan. Pesta sudah selesai. Sekarang meja itu sedang dibersikan barista lain.

Aku melewatkan acara reuni SMA. Acara spesial.

" Apa yang sudah kulakukan." Aku masih berdiri tidak percaya. Menelan kebodohan diri sendiri.

Mereka sudah kembali pulang.

Dsstt!! Dssstt!!

Lagi-lagi suara dering ponselku. Aku membukanya. Sebuah pesan masuk.

Dari Meira. Aduh, mungkin kali ini ia akan marah-marah karena aku tidak hadir di acara penting ini.

Yowis lah, rapopo. (Udahlah gak masalah) batinku.

Bal, udah sampai mana?aku telpon tapi nggak diangkat, acara reuni sudah selesai, kita ingin lanjutin acara dengan mengunjungi asrama sekolah. Entah apa yang mereka rencanakan, alasannya mereka ingin mengenang kembali masa-masa SMA. Awalnya aku nggak setuju dan mau pulang. Tapi Nawal memaksaku. Katanya kapan lagi bisa ngumpul bareng setelah lima tahun. Aku takut Bal, cepatlah datang kemari. Aku ingin kamu di sini.

Malam-malam gini ke asrama sekolah? Batinku.

"Buat apa coba."

Aku sedikit kurang setuju dengan alasan ini. Biar bagaimanapun ke asrama sekolah rame-rame bukanlah tindakan yang lazim. Apalagi saat malam.

Aku langsung kembali ke mobil tancap gas pergi menyusul.

Berkali-kali aku mencoba menghubungi Meira. Tapi tak kunjung diangkat, aku mulai gelisah atas apa yang mereka pikirkan malam ini. Kupikir hanya acara makan-makan canda gurau, selesai. Berikutnya pulang. Ini sebaliknya,

Aku menambah kecepatan mobilku.

Gemerlap lalu lintas malam. Kendaraan masih melaju kencang. Toko-toko masih buka. Tapi entah mengapa pemandangan sekitar tampak terasa mengganjal. Jalanan yang basah karena rintik hujan, pepohonan yang terhayun kanan kiri karena angin seakan mengatakan ada sesuatu yang tidak biasa terjadi malam ini. Tenagaku habis. Lelah sekali rasanya malam ini. Satu dua kali aku menguap. Kantukku menyerang. Padahal diluar dingin. Seharusnya rasa kantukku tertahan oleh dinginnya malam.

Entahlah, kulonggarkan ikatan dasi, mengatur napas kembali.

Ponselku berdering kembali.

Aku melihatnya sekilas.

Pesan masuk. Mungkin dari Meira.

Dengan perasaan hati-hati aku membuka ponsel, kecepatan mobilku kukurangi aku terpaksa melakukan hal berbahaya ini.

Sudah sampai mana? Aku nunggu lama banget Bal, kamu udah baca pesanku kan. Mereka mau main sesuatu katanya. Semacam permainan pemanggil arwah. Akmal yang mengusulkan. Ia membacakan aturan mainnya, larangan, dan cara menyelesaikannya. Cepatlah. Mereka sekarang udah mau ngelakuin semacam 'ritual' gitu. Aku mulai cemas terjadi apa-apa setelah kami menuliskan nama satu persatu disobekan kertas. Kami sekarang di gedung asrama Bal.

Aku selesai membacanya

"Iki piye to, maksude. Duh kah. Aneh-aneh ae bengi-bengi ngene. (Ini gimana sih, maksudnya lho, bikin ulah aneh saja malam-malam gini.)" gumamku

Jaraknya sedikit lagi. Tidak terlalu jauh, tapi masih menghabiskan waktu.

Kulirik jam tanganku lagi. 23.45

"Masih sempat." Kataku.

Dulu asrama sekolahku adalah bagian terluar dari area sekolah. Gedung itu sudah tidak terpakai dikarenakan sistem belajar yang semula berasrama ditiadakan karena berberapa kasus mengerikan. Jaraknya yang lumayan juga jadi salah satu faktor para siswa luar kota enggan menempati bangunan tersebut, kebanyakan lebih memilih kos dekat bangunan sekolah, hanya terpaut beberapa meter dari gerbang utama, alhasil asrama tersebut menjadi bangunan tak terpakai. Terbengkalai begitu saja. Itu terjadi sebelum aku masuk SMA.

Entahlah, mengapa pihak sekolah tidak memanfaatkannya untuk keperluan lain. Menurut desas desus yang beredar. Tempat itu sudah berbau mistis sebelum kawasan tersebut dibangun. Banyak kejadian di sana, setelah dibangun, pernah ada satu kasus siswa tentang bolos sekolah dengan cara lompat pagar belakang. Saat melewati jalan asrama. Ia mendapati banyak siswa tengah menempati gedung asrama tersebut. Padahal pihak sekolah belum mengizinkan gedung tersebut dihuni oleh siapapun. Yang ia lihat justru sebaliknya. Awalnya ia menganggap salah lihat, tapi saat seseorang menyapanya dari lantai dua, dia menyadari kalau yang ia lihat adalah nyata adanya. Meski orang tersebut tidak ia kenal. Ia bersikap senatural mungkin. Berjalan menjauh dari gedung tersebut. Pergi meninggalkan lokasi.

Masih baru. Gedung asrama kelihatan mengagumkan. Tidak ditumbuhi tumbuhan liar seperti gedung terbengkalai lainnya. Warna cat dinding yang sempurna membuat siapapun berpikir di dalam gedung tersebut tidak mungkin menyimpan misteri menyeramkan.

Namun, berberapa meter setelah melewati gedung asrama. Tidak terdengar suara aktifitas apapun dari arah gedung tersebut. Siswa tersebut menoleh karena penasaran. Benar sesuai dugaannya, gedung itu kembali menjadi gedung tanpa penghuni. Bayangan mata yang ia kira gedung baru dengan warna menyala sekarang menjadi gedung kusam penuh retak dengan tanaman liar merambat dinding. Bahkan berberapa kaca jendela jelas-jelas pecah, balkon yang sepi dengan kawat-kawat menghiasi area atas.

Ini jelas aneh. Sebelumnya tidak begini.

Menyadari dirinya mengalami hal mistis, dengan cepat dia berlari sekuat tenaga menjauh dari gedung asrama.

Puncaknya, ketika siswa tersebut menceritakan pengalaman itu ke temannya, keesokan harinya ia menghilang secara misterius. Si ibu berpikir kalau anaknya sudah pergi ke sekolah, tapi hingga malam hari sang anak tak kunjung pulang. Si Ibu mencoba menelpon wali kelas sang anak. Wali kelas menjawab bahwa sang anak tidak masuk sekolah hari ini. Kendati mulai cemas, sang ibu malah menganggap enteng kepergian sang anak. Dia sudah menyiapkan hukuman saat sang anak pulang nanti. Namun, seminggu berlalu tidak ada kabar sama sekali tentang si anak ini berada. Tidak masuk sekolah, dan tidak kembali ke rumah.

Hilang begitu saja. Seperti ditelan bumi. Seperti tenggalam di dalam samudera.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku