Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
196
Penayangan
15
Bab

Akibat perceraian kedua orangtuanya. Suara, yang masih berusia 12 tahun harus tinggal sendirian di sebuah rumah tua yang sudah lama kosong. Karena, ibunya harus bekerja demi menyambung hidup, serta untuk biaya pendidikannya. Sedangkan, sang ayah, yang sebenarnya adalah ayah tiri, terus mengancam sang ibu. Sehingga, Suara lah yang kena dampak menerima serangan gaib, dari mantan ayah tiri, dan juga menerima banyak gangguan dari penghuni rumah tua yang ditempatinya setiap malam. Lalu, apa tanggapan ibu, saat Suara mengadukan hal tersebut? Apakah sang ibu percaya? Atau, justru menganggap anak sudah gila? Akankah ada seseorang yang akan menolong Suara? Atau, ia harus berjuang sendiri demi dapat keluar dari masalahnya. Karena, sejak kecil hingga dewasa suara sudah diikuti oleh banyak bangsa lelembut. Serta, tanpa ia sadari, ia memiliki pendamping yang tak kasat mata.

Bab 1 TOILET SMPN 2

Sebenarnya, aku bukanlah murit yang bandel. Tapi, karena

teman-temanku suka membangkang dengan peraturan sekolahan yang ada, lambat laun akupun juga terbawa oleh mereka.

Seperti biasa. Di hari Kamis aku mengikuti kegiatan

extrakulikuler pencak silat, yang ada di SMP ku. Kegiatan dimulai pada jam satu. Tapi, jam satu kurang lima menit, aku malah memesan baso sama teman-temanku di kantin sekolahan.

Belum juga habis separo, baru makan satu butir pentol aja, kakak

pelatih sudah datang. Bingung pasti, antara mau dibuang atau dimakan.

Dibuang sayang mau dimakan panas banget.

Takut kena hukumuman suruh dowwer sampai dua kali putaran

lapangan sepak bola lagi, dengan mantap kutinggalkan tuh, makanan favorit sejuta umat. Aku bergegas ke kamar mandi wanita untuk ganti seragam pencak.

Karena sudah penuh, dan hanya ada satu kamar mandi yang tersisa, dan kabarnya, kamar mandi satu ini memang keramat tak boleh di masukki. Tapi, terpaksa

aku memasukkinya. Karena masih enneg dengan hukuman minggu lalu, aku sampe lemes dan muntah-muntah, si pelatih gak kasih ampun. Jadi, pura-pura aja gak

sanggup lagi, padahal males. 🤪

Mengenai kamar mandi keramat ini, kabarnya dulu, dulu banget

tepatnya kapan juga aku tidak tahu. Ada seorang siswi yang melahirkan di kamar mandi ini. Dan membuang bayinya yang masih hiddup ke dalam wc. Walau sempat

bingung juga, kulihat lubang wc segitu, terus, bayinya segede apa kok bisa bisa masuk? Apa mungkin dia lahiran premature?

Next. Tak lama kemudian, setelah bayi itu hanyut ke dalam

closet si ibu berteriak histeris. Keesokannya ditemukan sudah dalam keadaan tak bernyawa oleh penjaga sekolah. Sejak saat itu, banyak desas desus kalau di sekitar toilet itu angker. Banyak yang melihat penampakan seorang wanita

menggendong anak, kadang juga seorang anak yang berlari-lari sambil tertawa sendiri. (gak tau, waras apa tidak.)

Tidak terjadi masalah saat aku ganti baju di sana. Sampai

keluarpun juga tetap semua baik-baik saja. Padangan mata juga tidak berubah. Wajah teman ya, masih tetap dengan wajahnya masing-masing. Tidak berubah angker, apalagi horor.

Tapi, saat mendengarkan kakak Pembina marah pada kami yang

bandel tadi, tiba-tiba saja kok pengen ketawa. Mana gak bisa ditahan lagi,

padahal ga ada yang lucu, gak ingat kejadian lucu dan tidak ada yang

menggelitiki perut.

Akhirnya tertawa pun tak dapat dihindari. Aku tertawa ngakak

sampe jungkir balik saat latihan, jam istirahat pun juga masih ngakak. Jangan tanya bagaimana reaksi teman-teman. Apalagi para pelatih yang galaknya au ah… gak usah diceritain. takut yang bersangkutan keselek.

mereka marah besar padaku. Tapi, apa daya, aku tak bisa menghentikan tawaku sampai kegiatan berakhir. Jam lima sore, ya hanya aku tertawakan saja.

Karena aku ke sekolah naik angkutan umum, horror banget, kan kalau aku terus tertawa. Nanti yang ada dikira stress lagi. Padahal

waras, dan tertawa bukan mauku. Tapi, itu juga di luar kenadaliku.

Aku memberanikan diri meminta salah satu kakak pelatih yang

naik motor untuk mengantarkanku kembali ke kos-kosan. Ya, masih kelas satu SMP

bahkan aku dulu sudah jadi anak kos. Karena orang tua tinggal di luar kota.

"Mas, minta tolong dong. Perutku sakit, nih. Anterin aku

pulang, ya?" ucapku memohon.

Kulihat dari raut wajah mas Ahmad (nama samaran) juga santai

saja. Tidak keberatan.

"Ya sudah, ayo sini kuantar."

Akupun naik ke atas motor bebek dan masih saja tertawa.

Padahal ga ada yang lucu, sebenarnya aku juga lelah. Soal do'a, jangan tanya

lagi, ayat kursi, al-fatehah juga sudah kubaca berulang kali sampai kubayangkan

siksa kubur. Tapi, gak mempan.

Begitu motor yang kami naiki sudah keluar dari pagar

sekolah, tertawaku sudah berkurang tak separah sebelumnya. Terlebih setlah melewati taman bacaan yang letaknya kurang lebih limaratus meter dari sekolahanku, aku sudah bisa diam. Tinggal perut aja, rasanya kaya kram.

"Kok diam, gak ketawa lagi, Ra?" tanyanya, memulai percakapan.

"Gak," jawabku singkat. Karena lemes, perut juga sakit.

"Kamu kenapa sih, tadi itu kok tiba-tiba saja ketawa kek

orang kesurupan? Kamu sadar tidak sih tadi itu?"

Sepertinya dia mulai kepo dengan apa yang terjadi padaku.

Tapi, karena aku berfikir dia hanya ingin tahu saja, bukan peduli, ya sudahlah.

Diam lebih baik. Gak usah dijawab. Kalau pun dia ngambeg dan menurunkan aku di

sini. Tigaratus meter lagi juga sudah sampai di tempat tinggalku.

Ternyata dia cukup baik juga jadi orang. Dia tidak

menurunkanku di tengah jalan. Melainkan tepat di depan pagar rumahn yang aku

tinggali.

"Benar ini, kan rumah kamu?" tanyanya sambil melihatku yang

tiba-tiba saja diam. Mungkin dia sudah berfikir macam-macam tentangku. Tapi, aku ini normal tidak apa-apa. Cuma lemes saja.

"Iya, benar Mas. Makasih, ya?" ucapku dan langsung ngeloyong

begitu saja memasuki pagar dan membiarkan dia tetap di depan pagar tanpa kuajak

basa-basi mampir dulu. Aku takut, gimana kalau nanti dia mampir beneran? Yang

ada nanti malah dikira orang sekitar kami ngapa-ngapain lagi.

Oh, iya. Mas Ahmad itu salah satu pelatih yang baik dan sabar. Dia orangnya tinggi, besar berkulit putih matanya sipit. Kaya orang cina. Padahal, aslinya, aku gak tahu, belum pernah nanya. Dia masih sekolah, kalau tidak salah dia kelas dua SMK.

Dengan rasa jengah dan bosan aku menapakki tangga rumah dan

menaiki teras yang cukup tinggi. Kira-kira satu meteran. Selama dua bulan sudah aku menempati rumah tua ini. Rumahnya besar, memanjang ke samping seperti ada

dua ruang tamu dan dia pintu masuk, yang maha luas tapi, kamarnya sempit, hanya muat dimasuki satu

tempat tidur berukuran 200x140cm an dan satu meja kecil, yang bahkan untuk aku

belajar juga tidak muat dengan buku-bukuku, itu sudah cukup sesak. Khas sekali dengan bangunan

kuno.

Di rumah ini ada dua dapur. Yang bagian depan dapur digunakan untuk

memasak menggunakan kompor. Tempatnya juga luas banget, dan ke belakang lagi

ada pintu di sana ada tempat mencuci piring dari semen, dan dua buah tungku yang berjajar.

Jika kalian penasaran dengan kejadian aneh yang ada di sini,

yang tentunya kualami sendiri, jangan tanya. Banyak. Sampai aku sebagian besar lupa. Saking banyaknya.

Selain model rumahnya yang kuno, letak bangunan ini juga ke

dalam banget jauh dari jalan raya. Samping kebun yang luas dan belakang rumah ada rimbunan pohon bambu.

kiri kanan kebun. Jadi, kalau malam hari ya sunyi. Sekalipun Cuma serratus

limapuluh meter ke depan sudah jalan raya. Tapi, kalau malam ya gelap. Akan terasa jauh jika seandainya dikejar setan.

Aku juga heran, kenapa ibuku mencarikan aku tempat kok kaya

gini. Sebelumnya memang aku ngekos. Tapi, si pemilik kosnya julid. Skip aja,

terlalu sakit kalau diceritain. Jadi, dia memindahkanku di tempat ini. Tempat

yang sebenarnya lebih cocok untuk uji nyali daripada tempat untuk beristirahat kala lelah dari pulang sekolah.

Ku lempar tas ke atas kursi tua, dan aku segera masuk ke

dalam kamar yang hanya ditutup dengan kelambu warna kuning dan menghempaskan

badanku di atas kasur kapuk yang ditutupi dengan sprei batik. Adem dan nyaman memang. Tapi, tak bisa kuteruskan. Atau, aku malah ketiduran, karena ini juga sebentar lagi sudah magrib.

Dengan lngkah berat dan malas kulangkahkan kakiku yang

tearasa berat ini menuju kamar mandi. Ya, badan sakit semua karena walau

keadaan tak sadar dan terus tertawa para pelatih tetap melatihku dengan keras tadi. Tapi, ada keanehan. Biasanya orang yang tertawa itu lemah. Cuma, aku tadi bisa menang saat adu gulat.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh All1110

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku