Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Obsessed With You

Obsessed With You

Butterfly

5.0
Komentar
216
Penayangan
9
Bab

Ketika mendapati pria yang ia cintai bermalam dengan sang kakak di hotel membuat Cindy tak lagi percaya dengan yang namanya cinta. Dengan tekad bulat ia pergi meninggalkan Indonesia membawa luka dan dendam dalam hatinya. 5 tahun berlalu Cindy kembali ke tempat asal dan ditampar kenyataan bahwa pria yang selama ini masih menghantui hidupnya kini telah menikah dengan kakaknya. Namun, saat Cindy bertekad tak ingin memiliki hubungan apa pun dengan pria itu, sebuah perjanjian konyol yang tak sengaja ia tandatangani di sebuah club malam membuat hidupnya dikuasai penuh oleh Devano Adiputra, pria yang ia hindari selama ini.

Bab 1 Oh Damn Darling!

"Emira! Cindy! Cepat kita kedatangan tamu penting!"

Ica memperingatkan anak-anaknya untuk segera bersiap sebab ada tamu penting tak lama lagi bertandang ke rumah mereka. Ica tak ingin mendapat citra buruk jadi dia ingin kedua anaknya tampil perfect apalagi Emira.

"Mira, kamu pakai baju yang tadi kita beli, ya." Ica mengingatkan.

Emira memasang wajah ceria, lekas masuk ke kamar memeriksa tote bag berisi pakaian cantik agak terbuka, sungguh cantik sekali. Cindy yang melihat baju kakaknya dari luar kamar berbalik menghadap mamanya.

"Baju Cindy, Ma?" todong Cindy antusias.

Ica menepis tangan Cindy kasar, "Kamu pakai baju lama aja, jangan kira aku tidak tahu Mas Wijaya sering membelikanmu baju diam-diam." Ica mendorong dahi Cindy dengan telunjuk.

Gadis itu hanya bisa menunduk dalam, mengangguk saja saat mamanya menitahkan masuk dan bersiap. Cindy kembali ke kamarnya, menatap sekeliling berhenti tepat di lemari.

"Papa memang sering beliin Cindy baju, Ma. Cuma bajunya selalu diambil Kak Emira," keluh Cindy dengan mata berkaca-kaca. Dia memang tidak bisa berbuat banyak karena posisinya hanya anak tiri di rumah megah ini.

Segera ia berlari ke kamar mandi, berusaha untuk tidak menangis. Cindy membasuh wajah, mengambil handuk dan mandi sambil berpikir kira-kira baju apa yang akan ia kenakan nanti. Cindy menepis rasa sedihnya karena sikap pilih kasih sang Mama, diberi tempat tinggal hingga detik ini saja Cindy sudah bersyukur.

"Cindy ke mana kamu? Bantu mama di dapur!"

"Tapi Ma, Cindy belum selesai siap-siap!" Cindy balas berteriak dari kamar.

Ica mendengkus kesal, anak tidak berguna ini memang lemban sekali kerjanya.

"Makanya dari tadi siap-siap."

"Kan Mama baru ngasih tau tiga puluh menit lalu," elak Cindy keluar dari kamar tergesa melewati Ica yang tengah berkecak pinggang siap mencerocos.

Sebelum menuruni tangga, Cindy melirik pintu kamar Emira tertutup rapat tanda gadis di dalamnya masih sibuk berias diri sedangkan dia malah harus repot mengurus makanan dan minuman untuk tamu nanti. Cindy mengeluh dalam hati tapi dia tetap tersenyum tipis.

"Ma, Mbok ke mana? Harusnya 'kan yang urus ini Mbok," tanya Cindy menuju wastafel lalu mencuci tangan, mengambil bahan makanan dan memotongnya.

"Mbok sudah mama suruh pulang."

"Oh."

Cindy serius dengan masakannya. Dia mengerjakan semua dengan perfect. Bakat masak yang ada pada diri ibunya dulu turun ke Cindy, sayang sekali ibunya meninggalkan dunia sebelum bisa merasakan masakan buatan putri cantiknya. Mengingat itu Cindy hanya bisa tersenyum pahit, ia juga ingin pelukan hangat yang biasa didapatkan Emira. Mama tirinya terbilang jarang memeluk Cindy, bahkan bisa dihitung berapa kali.

Usai masak Cindy mengambil buah-buahan, menyulap semuanya menjadi jus yang segar. Dia menata rapi di meja besar tempat biasa mereka makan, Cindy mengambil pot panjang terbuat dari kaca kemudian berlari kecil ke taman belakang, Cindy tersenyum melihat bunga-bunga yang ia rawat selama ini telah tumbuh indah nan harum.

Cindy memetik mawar putih paling cantik. Dia menaruh mawar ke dalam pot yang telah diisi air lalu pot itu diletakkan di tengah-tengah meja. Cindy menepuk-nepuk tangannya, bangga melihat hasil kerjanya selama lebih kurang satu jam setengah.

Gadis cantik berponi tipis itu melirik jam di dinding. Sepertinya memakai make up tipis masih sempat. Cindy melesat kembali ke kamar dan mengganti bajunya karena sudah terkena cipratan minyak dan agak basah.

Pilihan jatuh kepada dress putih selutut pemberian papanya saat ulang tahunnya seminggu lalu. Cindy mengambil alat make up, mulai memoles wajahnya yang cantik. Menambahkan lipstik merah tipis-tipis ke bibir, tak lupa blush on agar wajahnya tidak pucat.

"You're so beautifull Cindy." Gadis cantik dengan rambut tergerai rapi itu menunjuk cermin sambil terkikik geli. Tampaknya dia lupa satu setengah jam lalu diperlakukan kurang adil oleh mama tirinya.

Deru mesin mobil terdengar dari halaman. Cindy beranjak dari kursi berjalan menuju jendela, melihat siapa kira-kira yang datang.

"Oh kayaknya ini deh tamu yang Papa sama Mama tunggu." Cindy tersenyum cerah dan berlari kecil keluar dari kamar.

Tampaknya Emira lebih dulu turun. Cindy hanya menggelengkan kepalanya, menuruni anak tangga perlahan agar tak terjatuh.

Sedangkan di pintu masuk Wijaya dan istrinya tengah menyambut kedatangan sepasang suami-istri dan seorang pria tegap. Emira dengan lagak genitnya mengulurkan tangan ingin bersalaman. Pria itu mengabaikan tangan Emira dan memilih masuk mengikuti orangtuanya dari belakang.

"Cih sombong banget," decih Emira sambil menutup pintu.

"Maaf ya, Di, rumahku begini adanya," ujar Wijaya merendah.

Adiputra, lelaki paruh baya yang sudah lama berteman akrab dengan Wijaya menanggapinya dengan tawa kecil.

"Rumahmu besar Jaya."

Sedangkan Ica mengajak istri Adiputra melihat-lihat koleksi antik rumahnya. Mereka berdua tampak cocok dengan selera yang sama-sama tinggi.

Emira masih berusaha mendekati anak teman papanya tetapi pria ini seolah menjaga jarak darinya. Emira merengut kesal sambil melipat tangan memandang punggung tegap si pria dari belakang.

"Kak Em tamunya udah da ...."

Pria tampan itu berbalik menatap seorang gadis ayu yang tengah menuruni anak tangga dengan anggunnya, gadis cantik itu tampak mungil dibaluti dress putih selutut dan pansus dengan warna yang sama.

"Tang," sambung Cindy mengerjap.

Mata keduanya terpaku satu sama lain, waktu seakan berhenti beberapa detik ketika bibir keduanya tak sadar membentuk senyum sabit. Mata Cindy makin sipit karena senyumnya terlampau lebar.

"Devano, ke sini Nak."

Pria tampan yang dipanggil Devano itu segera memutuskan kontak mata. Cindy agak kecewa tapi dia segera menormalkan ekspresi. Baru sadar dia tersenyum lebar layaknya orang bodoh sejak tadi.

Cindy menuruni undukan tangga terakhir. Ikut bergabung di meja makan yang sudah diisi tamu papanya. Cindy, Devano dan Emira duduk bersebelahan, di depan mereka Ica dan Wanda-ibu Devano-tengah berbincang soal tas branded yang baru keluar minggu lalu. Wijaya dan Adiputra duduk berseberangan sambil membincangkan keadaan perusahaan masing-masing.

Cindy merasa hawa dingin menyerang tengkuk, merinding sekali rasanya duduk di sebelah orang tampan seperti Devano. Cindy menormalkan ekspresi sesekali menggigit bibir gugup.

"Kak." Emira menoleh dengan alis naik sebelah seolah bertanya apa.

"Aduh gimana ya ngomongnya." Cindy menggaruk tengkuknya meski tak gatal, "Maaf, Kak Devano boleh duduk di sini? Trus Kak Emira duduk di kursi Kak Devano biar Cindy yang duduk di kursi Kak Emira," pintanya dengan suara pelan.

Tanpa sadar Devano menarik sudut bibirnya menahan geli, apa gadis ini tak suka duduk bersebelahan dengannya?

"Kenapa?" Ini adalah kata pertama yang Devano ucapkan, sedari tadi dia diam saja. "Kamu tidak nyaman duduk di sebelah saya?" tanyanya dengan nada mengintimidasi.

Cindy menggeleng cepat, "Engga kok, Kak. Anuu emmm Cindy agak ... aduh gimana jelasinnya."

"Cindy jangan norak deh," tegur Emira tak suka, Cindy langsung menunduk sedangkan Devano melirik tak suka pada Emira.

"Maaf ya Kak Dev, Cindy emang gitu anaknya," sambung Emira memasang wajah manis. Devano tak mengindahkan ucapan Emira.

"Saya membuatmu tidak nyaman?" tanya Devano penuh selidik, Cindy makin menunduk sungkan.

"Enggak kok, Kak. Gak jadi pindah, Cindy tetep di sini." Cindy mengangkat kepala menunjukkan senyum canggung yang dibalas senyum miring Devano, melihat itu Cindy kembali menunduk sambil menggigit bibirnya gugup.

Devano mencondongkan tubuhnya ke Cindy. "Say hi to me, Baby," bisiknya sambil meniup pelan telinga gadis di sebelahnya. Devano cukup senang melihat pipi blushing Cindy.

"Kalian bicara apa? Wah sepertinya kalian mulai dekat," ledek Wijaya diikuti gelak tawa Adi.

"Sepertinya mereka cocok ya, Wi." Adi melirik putranya. Devano balas melirik sambil mengangguk entah kode apa.

"Iya cocok, tapi putriku ini masih kecil sekali Di, putramu sudah dewasa bisa cekcok terus mereka, yang satu dewasa yang satu-"

"Kekanak-kanakan," potong Emira tak sopan, dia membanting pelan alat makannya, padahal sejak awal dia yang excited.

Cindy menunduk dalam melihat tatapan Emira dan Ica. Dia merasa bersalah tanpa sebab, Cindy tahu kakak tirinya ini pasti tertarik pada pria di sebelahnya. Cindy sudah berusaha menghindar tapi Devano punya banyak kata untuk tetap membuatnya diam di tempat.

Tangannya digenggam oleh tangan besar di bawah meja. Cindy melirik Devano yang bersikap santai mendengarkan ocehan di depan. Cindy mendadak sesak napas saat jemari besar agak kasar Devano menyelip di antara jemarinya.

'Kenapa pria ini?' batin Cindy bingung, ingin menarik tangannya urung saat Devano melirik tajam. 'Apa-apaan kok dia yang marah sih,' sambungnya masih membatin. Cindy merengut kesal berjuang keras melepas genggaman Devano.

"Nyebelin banget," keluh Cindy pelan.

"Wah masakannya enak, siapa yang masak?" tanya Wanda antusias, mencicipi tiap hidangan di meja makan, ia tersenyum merasakan perpaduan sempurna masakan di depannya.

Cindy nyengir siap membuka suara, "Cin-"

"Emira yang memasak ini, enak, 'kan? Dia memang pandai memasak," potong Ica mengerling kesal pada anak tirinya, hampir saja citra Emira buruk dibuatnya.

"Hebat sekali kamu Emira, Tante suka masakan kamu." Wanda menatap Emira berbinar, tatapannya berpindah ke gadis yang duduk di sebelah kanan putranya, "Kamu bisa memasak gadis manis?"

"Cindy bi-"

"Bisanya cuma keluyuran ngabisin uang anak itu, tiap malam Emira harus menunggunya di depan pintu karena takut terkunci saat pulang larut," potong Ica lagi. Dia benar-benar tak memberi kesempatan Cindy mendapat muka di depan Wanda.

"Tapi itu kebalikannya, Ma," lirih Cindy menunduk dalam.

Mana pernah dia keluar malam apalagi minum-minum keluyuran sana sini. Cindy tahu betul papanya selalu memantau. Malah Emira yang sering ke bar, pulang larut menyiksa Cindy yang harus duduk di depan pintu menunggu Emira pulang.

Devano melirik tangan kanan Cindy, ada bekas luka kecil di jari telunjuknya. Dari situ Devano bisa menyimpulkan drama yang diciptakan dua manusia tak tahu diri di depannya tapi Devano diam saja. Dia mengusap punggung tangan kiri Cindi dengan ibu jarinya, tangan mereka masih bertaut di bawah meja tanpa ada siapa pun yang tahu kecuali mereka.

Cindy melirik Devano, memaksakan senyum meski tipis. Devano melepas genggamannya. Piring Devano masih kosong Cindy berinisiatif mengautkan nasi untuk pria di sebelahnya ini.

"Kakak mau lauk apa?" Cindy menyodorkan nasi dengan porsi sedang, Devano mengangguk pertanda porsinya cukup.

"Terserah kamu saja." Devano mengambil HP di saku.

"Sini biar kakak aja Cin, jangan sok rajin, biasanya juga angkat kaki tiduran di sofa," sindir Emira merampas paksa piring di tangan Cindy.

Cindy menghela napas berat berusaha sabar, gadis itu mengatur emosinya sebaik mungkin, jangan sampai dia kelepasan membuat orangtuanya malu walau sebenarnya di sini dia yang dipermalukan. Cindy menatap papanya, lelaki paruh baya itu hanya bisa mengangguk pasrah menenangkan putrinya.

"Jangan tambahkan daging kambing, saya alergi itu," tegur Devano ketika Emira hendak mengautkan daging untuknya. "Caramu mengambil lauk kaku sekali, apa sudah terbiasa disediakan orang lain?" sindir Devano tanpa melirik Emira.

"Devan," tegur Wanda. "Maaf ya, Devano memang agak ceplas-ceplos anaknya," sambungnya tak enak hati.

Semua orang asyik berbicara hanya Cindy yang fokus mengunyah makanan. Dia tersenyum bangga ketika makanan masuk ke mulut, sesekali Cindy menganggukkan kepalanya menikmati tiap kunyahan.

Devano hanya menimpali sesekali sedangkan Emira bertingkah seolah ia tahu banyak hal tentang bisnis, berbeda jelas dengan Cindy yang sibuk dengan dunianya sendiri. Pria tampan dengan stelan jas putih itu melirik Cindy sesekali tersenyum tipis.

Tiba-tiba Devano menggeleng, 'Astaga Devan, apa yang kamu pikirkan.'

Devano melirik Cindy lagi, 'Dia manis, sangat manis. Aku seperti pernah melihatnya tapi di mana?'

Merasa diperhatikan Cindy menoleh, tatapan mereka bertemu kembali. Kali ini Devano betah menatap mata jernih Cindy, mata yang menyorot teduh dan polos itu sedikit mengguncang hati Devano. Pria itu mengedip sekali, Cindy memiringkan kepalanya dengan alis bertaut, wajahnya imut sekali.

"Why are you cute babe?" Devano berujar pelan, sangat pelan sampai Cindy tidak bisa mendengarnya.

Gadis itu memutus kontak mata, fokus lagi ke makanannya sedangkan Emira sedari tadi bicara panjang lebar seakan ia paham betul topik yang tengah dibahas, kadang gadis itu memotong ucapan Winda bahkan menyangkal ucapan Adi. Devano hanya menggedikkan bahu acuh saat sang Papa menatapnya.

"Emira, kamu ga mau ajak Devano keliling? Di belakang ada taman loh," kode Ica agar anaknya bisa selangkah lebih ke depan.

Devano menggeleng, "Saya akan pergi dengan dia." Telunjuk Devano mengarah ke Cindy.

Mata gadis itu membulat sempurna, Devano menarik pergelangan tangan kiri Cindy membawanya ke wastafel untuk cuci tangan. Cindy menurut saja tanpa banyak bicara karena sejujurnya dia bingung dengan perilaku pria ini.

"Kak kan Mama nyuruh Kak Emira."

"Saya maunya sama kamu." Devano menebar senyum tipisnya lalu menarik Cindy menjauh dari meja makan.

"Ishhh Kakak kok suka banget megang-megang tangan aku," protes Cindy lucu.

"Kamu mau tahu alasannya?"

"Mau."

Devano berbalik lalu mengangkat tangan Cindy yang masih ada di genggaman. "Karena lembut," akunya.

"Masa iya? Padahal Cindy sering nyuci piring loh Kak, perdana nih ada yang bilang tangan Cindy lembut hahaha." Cindy tertawa lepas.

"Umur Kakak berapa?" Cindy menarik tangannya tapi Devano tetap menggenggam tak ada niatan melepaskan.

"Kenapa bertanya?" Devano melambatkan langkah membiarkan Cindy berjalan selangkah lebih dulu darinya.

"Pengen tau aja, ga boleh ya?" Suaranya memelan.

"25 tahun, kamu?"

"Emmm, 19 tahun."

Devano tiba-tiba menarik pelan Cindy membuat gadis itu berhenti, "Berapa usiamu?"

Wajah Cindy berubah tegang tatkala Devano makin mendekat, "Se-sembilan belas."

"Oh damn darling!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku